nurcahyo
New member
Atasi Defisit Energi Listrik, Indonesia Bisa Gunakan Biomass Sampah
JAKARTA (Media): Indonesia bisa memanfaatkan biomass dari sampah perkotaan, tandan kelapa sawit, sekam padi, ampas tebu, dan potongan kayu yang jumlahnya melimpah untuk mengatasi defisit energi listrik di masa mendatang. Potensi sumber listrik dari biomass itu bisa mencapai 50 ribu megawatt.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT Agus Rusyana Hoetman menyatakan hal tersebut di sela-sela Workshop Internasional Biomass dan Teknologi Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Fosil yang Ramah Lingkungan, di Jakarta, kemarin.
Menurut Agus, pemanfaatan biomass sebagai sumber listrik saat ini sudah tidak mengalami kendala, karena sudah muncul banyak teknologi pembangkit listrik yang mampu mengubah biomass menjadi sumber listrik.
"Kapasitas pembangkit listrik biomass juga sudah banyak yang mencapai di atas satu megawatt sehingga bisa menjadi sumber listrik bagi pabrik dan ribuan rumah," katanya.
Lebih lanjut, Agus menyatakan pemanfaatan energi biomass sebagai sumber listrik jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan pemanfaatan bahan bakar fosil, seperti solar dan batu bara. "Penerapan biomass sebagai sumber listrik sudah sesuai dengan mekanisme pembangunan bersih dan berkurangnya jumlah emisi."
Indonesia sendiri, lanjut Agus, sangat potensial memanfaatkan biomass sebagai sumber energi listrik yang selama ini kurang dimanfaatkan. Menurutnya, sampah perkotaan, tandan kosong kelapa sawit, sekam padi, ampas tebu, dan potongan kayu sangat melimpah, tetapi karena tidak dimanfaatkan justru sering menjadi problem, sebab hanya dipandang sebagai sampah.
RUU Persampahan
Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah merampungkan naskah akademis RUU Persampahan dan tinggal menunggu izin prakarsa presiden untuk menyusun RUU tersebut. UU tentang sampah nantinya diharapkan dapat mereformasi manajemen persampahan yang selama ini banyak menimbulkan konflik.
Kepala Bidang Urusan Limbah Padat KLH Wiryono K menyatakan hal tersebut di Jakarta, Senin (12/1), menanggapi masih seringnya konflik pengelolaan sampah perkotaan, seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini.
Menurut Wiryono, konsep penanganan sampah di kota-kota besar di Indonesia masih mengacu pada penanganan timbunan sampah. Akibatnya untuk mengatasi masalah sampah, sebagian besar pemerintah daerah hanya mendirikan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
"Akibatnya sampah terus menumpuk secara tidak terkendali dan lama-kelamaan menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan yang parah. Lebih parah lagi jika tidak ada daerah yang mau dijadikan tempat pembuangan akhir sampah, maka persoalan sampah menjadi semakin rumit," katanya.
Karena itu agar persoalan sampah bisa diatasi, lanjut Wiryono, sudah saatnya konsep pencegahan timbulan sampah mulai diterapkan. Dengan konsep itu masyarakat didorong untuk membuang sampah sesedikit mungkin.
Selain perlunya perubahan konsep penanganan sampah, dalam naskah akademis RUU itu dibahas juga perlunya kelembagaan yang jelas tentang siapa yang bertanggung jawab menangani sampah dan siapa yang mengawasi.
Selama ini, tutur Wiryono, yang bertanggung jawab menangani sampah adalah Dinas Kebersihan. Namun lembaga yang mengawasi Dinas Kebersihan tidak ada. Akibatnya kerja Dinas Kebersihan menjadi tidak maksimal.
Sementara itu, Tetsuro Fujitsuka, Penasihat Kebijakan Lingkungan Japan International Corporation Agency (JICA) menyatakan langkah yang harus dilakukan masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam menangani masalah sampah adalah mengaplikasikan konsep mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang sampah.
"Untuk negara-negara seperti Jepang, sampah tidak dianggap barang yang tidak berguna, tetapi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan kembali," katanya.
Sumber : Media Indonesia
JAKARTA (Media): Indonesia bisa memanfaatkan biomass dari sampah perkotaan, tandan kelapa sawit, sekam padi, ampas tebu, dan potongan kayu yang jumlahnya melimpah untuk mengatasi defisit energi listrik di masa mendatang. Potensi sumber listrik dari biomass itu bisa mencapai 50 ribu megawatt.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Laboratorium Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT Agus Rusyana Hoetman menyatakan hal tersebut di sela-sela Workshop Internasional Biomass dan Teknologi Pembangkit Listrik Berbahan Bakar Fosil yang Ramah Lingkungan, di Jakarta, kemarin.
Menurut Agus, pemanfaatan biomass sebagai sumber listrik saat ini sudah tidak mengalami kendala, karena sudah muncul banyak teknologi pembangkit listrik yang mampu mengubah biomass menjadi sumber listrik.
"Kapasitas pembangkit listrik biomass juga sudah banyak yang mencapai di atas satu megawatt sehingga bisa menjadi sumber listrik bagi pabrik dan ribuan rumah," katanya.
Lebih lanjut, Agus menyatakan pemanfaatan energi biomass sebagai sumber listrik jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan pemanfaatan bahan bakar fosil, seperti solar dan batu bara. "Penerapan biomass sebagai sumber listrik sudah sesuai dengan mekanisme pembangunan bersih dan berkurangnya jumlah emisi."
Indonesia sendiri, lanjut Agus, sangat potensial memanfaatkan biomass sebagai sumber energi listrik yang selama ini kurang dimanfaatkan. Menurutnya, sampah perkotaan, tandan kosong kelapa sawit, sekam padi, ampas tebu, dan potongan kayu sangat melimpah, tetapi karena tidak dimanfaatkan justru sering menjadi problem, sebab hanya dipandang sebagai sampah.
RUU Persampahan
Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah merampungkan naskah akademis RUU Persampahan dan tinggal menunggu izin prakarsa presiden untuk menyusun RUU tersebut. UU tentang sampah nantinya diharapkan dapat mereformasi manajemen persampahan yang selama ini banyak menimbulkan konflik.
Kepala Bidang Urusan Limbah Padat KLH Wiryono K menyatakan hal tersebut di Jakarta, Senin (12/1), menanggapi masih seringnya konflik pengelolaan sampah perkotaan, seperti yang terjadi di Jakarta baru-baru ini.
Menurut Wiryono, konsep penanganan sampah di kota-kota besar di Indonesia masih mengacu pada penanganan timbunan sampah. Akibatnya untuk mengatasi masalah sampah, sebagian besar pemerintah daerah hanya mendirikan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.
"Akibatnya sampah terus menumpuk secara tidak terkendali dan lama-kelamaan menimbulkan persoalan sosial dan lingkungan yang parah. Lebih parah lagi jika tidak ada daerah yang mau dijadikan tempat pembuangan akhir sampah, maka persoalan sampah menjadi semakin rumit," katanya.
Karena itu agar persoalan sampah bisa diatasi, lanjut Wiryono, sudah saatnya konsep pencegahan timbulan sampah mulai diterapkan. Dengan konsep itu masyarakat didorong untuk membuang sampah sesedikit mungkin.
Selain perlunya perubahan konsep penanganan sampah, dalam naskah akademis RUU itu dibahas juga perlunya kelembagaan yang jelas tentang siapa yang bertanggung jawab menangani sampah dan siapa yang mengawasi.
Selama ini, tutur Wiryono, yang bertanggung jawab menangani sampah adalah Dinas Kebersihan. Namun lembaga yang mengawasi Dinas Kebersihan tidak ada. Akibatnya kerja Dinas Kebersihan menjadi tidak maksimal.
Sementara itu, Tetsuro Fujitsuka, Penasihat Kebijakan Lingkungan Japan International Corporation Agency (JICA) menyatakan langkah yang harus dilakukan masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam menangani masalah sampah adalah mengaplikasikan konsep mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang sampah.
"Untuk negara-negara seperti Jepang, sampah tidak dianggap barang yang tidak berguna, tetapi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan kembali," katanya.
Sumber : Media Indonesia