Kalina
Moderator
Paparan Pemerintah di DPR
JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengungkapkan kebutuhan dana untuk menanggulangi semburan lumpur Lapindo. Dalam rapat kerja dan rapat konsultasi pemerintah dengan Komisi V DPR di Jakarta kemarin, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebutkan, biaya untuk relokasi infrastruktur dan upaya permanen untuk mengatasi semburan lumpur mencapai Rp 7,6 triliun.
Dana sebesar itu, menurut Djoko, tidak termasuk angka ganti rugi dampak sosial yang ditanggung PT Lapindo Brantas, perusahaan Grup Bakrie pemicu bencana, sebesar Rp 3,8 triliun.
Djoko memerinci, Rp 3,4 triliun dari total dana Rp 7,6 triliun itu digunakan untuk membangun dan mengoperasikan kanal untuk membuang lumpur ke Selat Madura. Sisanya, Rp 4,2 triliun, akan digunakan untuk merelokasi infrastruktur jalan tol dan arteri, pipa gas, dan rel kereta api.
"Dibutuhkan Rp 700 miliar untuk merelokasi jalan tol Gempol-Porong, jalan arteri Rp 300 miliar, dan biaya pembebasan lahan dengan panjang 11 kilometer dan lebar 110 meter sebesar Rp 600 miliar," terang Djoko.
Rapat yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono itu dihadiri enam menteri. Selain menteri PU, hadir juga Menko Perekonomian Boediono, Menhub Hatta Rajasa, Menpera Yusuf Asyari, Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menkeu Sri Mulyani.
Djoko memaparkan, untuk mengalirkan lumpur yang menyembur permanen, dibutuhkan kanal sepanjang 17 kilometer. Pembangunan kanal yang akan mengalirkan lumpur ke Selat Madura itu menelan dana Rp 612 miliar. "Karena semburan tak bisa diprediksi kapan berhenti, diperkirakan butuh dana Rp 70 miliar per tahun untuk mengalirkan lumpur. Dana itu harus tetap keluar selama lumpur belum berhenti," terangnya.
Pemerintah juga membutuhkan dana Rp 60 miliar untuk perbaikan pipa distribusi gas dalam jangka menengah, pembuatan desain teknis Rp 4,5 miliar, dan pembuatan tanggul permanen Rp 300 miliar. "Saya mengutip angka-angka itu dari dari Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo," ujarnya.
Perhitungan dana yang dibutuhkan itu, lanjut Djoko, juga belum termasuk biaya akibat kerugian gangguan pada saluran udara tegangan ekstratinggi (sutet), air minum, dan gas.
Bila pemerintah memutuskan untuk mengambil alih tanggung jawab dari Lapindo Brantas, kata Djoko, kebutuhan itu harus ditanggung dengan dana APBN. "Kalau sekarang nggak bisa take over, karena menurut Perpres (No. 13/2006) apa pun yang terjadi harus menjadi tanggung jawab Lapindo," paparnya.
Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menambahkan, nilai kerugian pemerintah masih mungkin bertambah. Sebab, dampak lanjutan seperti opportunity loss belum dihitung. Bappenas baru akan menerjunkan tim penilai (assesment) untuk menghitung opportunity loss sebelum berakhirnya masa tugas Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur pada 8 Maret mendatang. "Semua angka itu hanya perkiraan sementara," ungkapnya.
Djoko menekankan, fokus pemerintah saat ini adalah mengurangi penderitaan masyarakat dan mengembalikan fungsi infrastuktur yang lumpuh. "Kami minta saran pada DPR karena DPR punya hak bujet. Pemerintah tidak bisa memutuskan sendiri tanpa dukungan DPR," lanjutnya.
Ketua DPR Agung Laksono menegaskan, masalah yang ditimbulkan Lapindo mendesak untuk segera ditangani karena tingginya kerugian ekonomi dan sosial. "Kami lihat di Jatim ongkos distribusi barang meningkat dan timbul masalah-masalah sosial. Bahkan, ada hambatan dalam arus barang, arus manusia, dan sebagainya. Kalau ini dibiarkan tanpa langkah-langkah cepat, akan ada komplikasi lain," katanya.
Menjawab permintaan pemerintah, Agung mengatakan bahwa DPR tengah mempertimbangkan persetujuan pengambilalihan tanggung jawab pembenahan infrastruktur dari Lapindo. Kebutuhan dana Rp 7,6 triliun itu akan diambilkan dari relokasi anggaran APBN 2007.
Meski demikian, Agung menegaskan bahwa pemerintah dan DPR belum berencana meningkatkan status kawasan bencana menjadi bencana nasional. "Lebih jelasnya nanti setelah ada pembahasan dengan panitia anggaran. Kalau pembahasan bisa secepatnya dilakukan, ada kemungkinan bisa masuk APBNP 2007," tuturnya.
Menanggapi perincian dana untuk menanggulangi semburan lumpur itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak ada lagi ruang anggaran yang bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur, akibat luapan lumpur panas Lapindo Brantas. "Kalau hari ini saya ditanya, tidak ada sama sekali uangnya untuk Lapindo," ujarnya.
Menurut Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 memang ada pos anggaran lain-lain Rp 18 triliun dan pos anggaran bencana Rp 2 triliun. Tetapi, dua pos tersebut sudah ada kavling yang jelas sehingga tidak bisa diutak-atik. Kalau (anggaran untuk relokasi infrastruktur) itu mau dimasukkan sebagai tanggung jawab negara, hal tersebut harus menunggu Juni nanti dengan memasukkannya ke dalam APBN Perubahan 2007," kata Ani dengan nada tegas.
Itu pun, lanjut Ani, harus didahului suatu proses politik sah dan jelas mengenai penegasan status pembagian tanggung jawab antara pihak Lapindo Brantas dan pemerintah. "Harus ada keputusan presiden atau kesepakatan dengan dewan mengenai statusnya, baru nanti saya masukkan tengah tahun," jelasnya.
Jika statusnya sudah jelas, kata Ani, sesuai dengan mekanisme pembahasan anggaran yang baku, kementerian teknis segera membahas dengan komisi teknis, setelah itu Bappenas bersama menteri keuangan dengan komisi teknis (keuangan). Lalu, dirampungkan menteri keuangan dengan panitia anggaran untuk alokasi anggarannya.
JAKARTA - Pemerintah akhirnya mengungkapkan kebutuhan dana untuk menanggulangi semburan lumpur Lapindo. Dalam rapat kerja dan rapat konsultasi pemerintah dengan Komisi V DPR di Jakarta kemarin, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebutkan, biaya untuk relokasi infrastruktur dan upaya permanen untuk mengatasi semburan lumpur mencapai Rp 7,6 triliun.
Dana sebesar itu, menurut Djoko, tidak termasuk angka ganti rugi dampak sosial yang ditanggung PT Lapindo Brantas, perusahaan Grup Bakrie pemicu bencana, sebesar Rp 3,8 triliun.
Djoko memerinci, Rp 3,4 triliun dari total dana Rp 7,6 triliun itu digunakan untuk membangun dan mengoperasikan kanal untuk membuang lumpur ke Selat Madura. Sisanya, Rp 4,2 triliun, akan digunakan untuk merelokasi infrastruktur jalan tol dan arteri, pipa gas, dan rel kereta api.
"Dibutuhkan Rp 700 miliar untuk merelokasi jalan tol Gempol-Porong, jalan arteri Rp 300 miliar, dan biaya pembebasan lahan dengan panjang 11 kilometer dan lebar 110 meter sebesar Rp 600 miliar," terang Djoko.
Rapat yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono itu dihadiri enam menteri. Selain menteri PU, hadir juga Menko Perekonomian Boediono, Menhub Hatta Rajasa, Menpera Yusuf Asyari, Menteri PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, dan Menkeu Sri Mulyani.
Djoko memaparkan, untuk mengalirkan lumpur yang menyembur permanen, dibutuhkan kanal sepanjang 17 kilometer. Pembangunan kanal yang akan mengalirkan lumpur ke Selat Madura itu menelan dana Rp 612 miliar. "Karena semburan tak bisa diprediksi kapan berhenti, diperkirakan butuh dana Rp 70 miliar per tahun untuk mengalirkan lumpur. Dana itu harus tetap keluar selama lumpur belum berhenti," terangnya.
Pemerintah juga membutuhkan dana Rp 60 miliar untuk perbaikan pipa distribusi gas dalam jangka menengah, pembuatan desain teknis Rp 4,5 miliar, dan pembuatan tanggul permanen Rp 300 miliar. "Saya mengutip angka-angka itu dari dari Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo," ujarnya.
Perhitungan dana yang dibutuhkan itu, lanjut Djoko, juga belum termasuk biaya akibat kerugian gangguan pada saluran udara tegangan ekstratinggi (sutet), air minum, dan gas.
Bila pemerintah memutuskan untuk mengambil alih tanggung jawab dari Lapindo Brantas, kata Djoko, kebutuhan itu harus ditanggung dengan dana APBN. "Kalau sekarang nggak bisa take over, karena menurut Perpres (No. 13/2006) apa pun yang terjadi harus menjadi tanggung jawab Lapindo," paparnya.
Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menambahkan, nilai kerugian pemerintah masih mungkin bertambah. Sebab, dampak lanjutan seperti opportunity loss belum dihitung. Bappenas baru akan menerjunkan tim penilai (assesment) untuk menghitung opportunity loss sebelum berakhirnya masa tugas Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur pada 8 Maret mendatang. "Semua angka itu hanya perkiraan sementara," ungkapnya.
Djoko menekankan, fokus pemerintah saat ini adalah mengurangi penderitaan masyarakat dan mengembalikan fungsi infrastuktur yang lumpuh. "Kami minta saran pada DPR karena DPR punya hak bujet. Pemerintah tidak bisa memutuskan sendiri tanpa dukungan DPR," lanjutnya.
Ketua DPR Agung Laksono menegaskan, masalah yang ditimbulkan Lapindo mendesak untuk segera ditangani karena tingginya kerugian ekonomi dan sosial. "Kami lihat di Jatim ongkos distribusi barang meningkat dan timbul masalah-masalah sosial. Bahkan, ada hambatan dalam arus barang, arus manusia, dan sebagainya. Kalau ini dibiarkan tanpa langkah-langkah cepat, akan ada komplikasi lain," katanya.
Menjawab permintaan pemerintah, Agung mengatakan bahwa DPR tengah mempertimbangkan persetujuan pengambilalihan tanggung jawab pembenahan infrastruktur dari Lapindo. Kebutuhan dana Rp 7,6 triliun itu akan diambilkan dari relokasi anggaran APBN 2007.
Meski demikian, Agung menegaskan bahwa pemerintah dan DPR belum berencana meningkatkan status kawasan bencana menjadi bencana nasional. "Lebih jelasnya nanti setelah ada pembahasan dengan panitia anggaran. Kalau pembahasan bisa secepatnya dilakukan, ada kemungkinan bisa masuk APBNP 2007," tuturnya.
Menanggapi perincian dana untuk menanggulangi semburan lumpur itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tidak ada lagi ruang anggaran yang bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur di kawasan Sidoarjo, Jawa Timur, akibat luapan lumpur panas Lapindo Brantas. "Kalau hari ini saya ditanya, tidak ada sama sekali uangnya untuk Lapindo," ujarnya.
Menurut Ani, panggilan akrab Sri Mulyani, di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 memang ada pos anggaran lain-lain Rp 18 triliun dan pos anggaran bencana Rp 2 triliun. Tetapi, dua pos tersebut sudah ada kavling yang jelas sehingga tidak bisa diutak-atik. Kalau (anggaran untuk relokasi infrastruktur) itu mau dimasukkan sebagai tanggung jawab negara, hal tersebut harus menunggu Juni nanti dengan memasukkannya ke dalam APBN Perubahan 2007," kata Ani dengan nada tegas.
Itu pun, lanjut Ani, harus didahului suatu proses politik sah dan jelas mengenai penegasan status pembagian tanggung jawab antara pihak Lapindo Brantas dan pemerintah. "Harus ada keputusan presiden atau kesepakatan dengan dewan mengenai statusnya, baru nanti saya masukkan tengah tahun," jelasnya.
Jika statusnya sudah jelas, kata Ani, sesuai dengan mekanisme pembahasan anggaran yang baku, kementerian teknis segera membahas dengan komisi teknis, setelah itu Bappenas bersama menteri keuangan dengan komisi teknis (keuangan). Lalu, dirampungkan menteri keuangan dengan panitia anggaran untuk alokasi anggarannya.