nurcahyo
New member
AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2
. Makna laa ilaaha illallaah
Makna dari kalimat (laa ilaaha illallaah) adalah (laa ma’buda bi haqqin ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah menyebar luas. Kesalahan tersebut antara lain. [1]
[1]. Menafsirkan kalimat (laa ilaaha illallaah) dengan (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah), padahal makna tersebut rancu karena dapat berarti bahwa setiap yang diibadahi, baik dengan benar maupun salah, adalah Allah.
[2]. Menafsirkan kalimat (laa ilaaha illallaah) dengan (tidak ada pencipta kecuali Allah), padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat (laa ilaaha illallaah) dan penafsiran ini masih berupa Tauhid Rububiyyah saja sehingga belum cukup. Inilah yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
[3]. Menafsirkan kalimat (laa ilaaha illallaah) dengan (tidak ada hak untuk menghukumi kecuali hanya bagi Allah), padahal pengertian ini juga tidak cukup karena apabila mengesakan Allah dengan penga-kuan atas sifat Allah Yang Mahakuasa saja lalu berdo’a kepada selain-Nya atau menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar.
[C]. Syarat-Syarat laa ilaaha illallaah
Syarat PertamaAl-‘Ilmu/ Mengetahui)
Yaitu mengetahui arti dari kalimat (laa ilaaha illallaah).
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah...” [Muhammad: 19]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
“Melainkan mereka yang mengakui kebenaran, sedang mereka orang-orang yang mengetahui.” [Az-Zukh-ruf: 86]
Yang dimaksud dengan “mengakui kebenaran” adalah kebenaran kalimat laa ilaaha illallaah. Sedangkan maksud dari “sedang mereka orang-orang yang mengerti” adalah mengerti dengan hati mereka tentang apa yang diucapkan dengan lisan.
Dalam hadits yang shahih dari Shahabat ‘Utsman z bahwasanya Rasulullah j bersabda:
“Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia masuk Surga.” [2]
Syarat Kedua: (Al-Yaqiin/Meyakini)
Yaitu yakin serta benar-benar memahami kalimat laa ilaaha illallaah tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, mereka itulah orang-orang yang benar.” [Al-Hujuraat: 15]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“... Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah utusan Allah, tidaklah seorang hamba menjumpai Allah (dalam keadaan) tidak ragu-ragu terhadap kedua (syahadat)nya itu, melainkan ia masuk Surga.” [3]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
“... Pergilah dengan sandalku ini, maka siapa saja yang engkau temui di belakang kebun ini yang ia bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak di-ibadahi dengan benar selain Allah, dengan hati yang meyakininya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan masuk Surga.”
Maka, syarat untuk masuk Surga bagi orang yang mengucapkannya adalah hatinya harus yakin dengannya (kalimat Tauhid) serta tidak ragu-ragu terhadapnya. Apabila syarat tersebut tidak ada maka yang disyaratkan (masyrut) juga tidak ada.[4]
Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata.
“Yakin adalah iman secara keseluruhan, dan sabar adalah sebagian dari iman.” [5]
Tidak ada keraguan lagi bahwasanya orang yang yakin dengan makna laa ilaaha illallaah, seluruh anggota tubuhnya akan patuh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla yang tiada sekutu bagi-Nya, dan akan mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata:
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan dan kefahaman.” [6]
Syarat Ketiga: (Al-Ikhlash/Ikhlas)
Yaitu memurnikan amal perbuatan dari segala kotoran-kotoran syirik, dan mengikhlaskan segala macam ibadah hanya kepada Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“... Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...” [Az-Zumar: 2-3]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya...” [Al-Bayyinah: 5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah secara ikhlas dari hati atau jiwanya.” [7]
Syarat Keempat: (Ash-Shidq/Jujur)
Maksudnya mengucapkan kalimat ini dengan jujur disertai pembenaran oleh hatinya. Barangsiapa lisannya mengucapkan namun hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,’ padahal sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” [Al-Baqarah: 8-10]
Juga firman Allah Azza wa Jalla tentang orang munafik.
“... Mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah...’” [Munaafiquun: 1]
Kemudian Allah Azza wa Jalla mendustakan mereka dengan firman-Nya.
“... Dan Allah mengetahui bahwa engkau adalah Rasul-Nya dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” [Munaafiquun: 1]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allah mengharamkannya masuk Neraka.” [8]
Syarat Kelima: (Al-Mahabbah/Cinta)
Maksudnya mencintai kalimat tauhid ini, mencintai yang terkandung di dalamnya dan segala sesuatu yang ditunjukkan atasnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah....” [Al-Baqarah: 165]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“Tiga perkara, apabila terdapat pada diri seseorang maka dia akan mendapat kelezatan iman: (1) apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) mencintai seseorang semata-mata karena Allah, (3) membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia benci di-campakkan ke dalam api.” [9]
Syarat Keenam: (al-Inqiyad/Tunduk dan patuh).
Seorang muslim harus tunduk dan patuh terhadap apa-apa yang ditunjukkan oleh kalimat laa ilaaha illallaah, hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengamalkan syari’at-syari’at-Nya, beriman dengan-Nya, dan berkeyakinan bahwasanya hal itu adalah haq.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Dan kembalilah kamu kepada Rabb-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” [Az-Zumar: 54]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” [An-Nisaa': 125]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.
“Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” [Luqman: 22]
Syarat Ketujuh: (al-Qabul/Menerima)
Yaitu menerima kandungan dan konsekuensi dari kalimat syahadat ini, menyembah Allah Azza wa Jalla semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Barangsiapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan mentaati, maka ia termasuk dari orang-orang yang difirmankan Allah Azza wa Jalla.
“Sesungguhnya dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah)’ mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?’” [Ash-Shaaffaat: 35-36]
Ini seperti halnya penyembah kubur di zaman ini. Mereka mengikrarkan, “Laa ilaaha illallaah,” tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan mereka terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna: “Laa ilaaha illallaah.”
[D]. Rukun laa ilaaha illallaah
Kalimat (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
[1]. (an-Nafyu/mengingkari), yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala
[2]. (al-Itsbat/menetapkan), yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“... Barangsiapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang sangat kokoh yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka yang tetap dalam kesesatan. Maka ber-jalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-Rasul).” [An-Nahl: 36]
[E]. Kesyirikan dan Bahayanya
Jika bentuk-bentuk ibadah yang Allah syari’atkan dipalingkan dari Allah Azza wa Jalla atau secara bersamaan ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla dan juga kepada selain-Nya, maka inilah yang disebut dengan kesyirikan.
Di antara bentuk-bentuk kesyirikan yang masih diyakini oleh sebagian kaum Muslimin antara lain:
[1]. Meminta suatu maslahat atau dijauhkan dari mudharat (bahaya) kepada kuburan Nabi, habib, wali, kyai dan lainnya, bernadzar dan menyembelih hewan untuk mereka.
[2].Mempercayai dan mendatangi dukun, paranormal, tukang sihir, orang pintar, tukang ramal dan yang sepertinya dan meminta perlindungan kepada jin.
[3]. Mempercayai jimat, tongkat, tangkal, susuk kekuatan, pusaka, barang sakti, ramalan bintang, dan lainnya.
[4]. Mempercayai dan menggunakan jampi-jampi, pelet, guna-guna dan lain-lain.
Syirik merupakan kemaksiatan yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan dosa yang paling besar, yang tidak akan diampuni Allah Azza wa Jalla, jika pelaku syirik mati di atas syirik dan tidak bertaubat.
Orang yang berbuat syirik adalah orang paling sesat, paling zhalim di muka bumi ini.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“… Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqman: 13]
“Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa': 48]
Firman Allah Azza wa Jalla
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mem-persekutukan (sesuatu) dengan Dia (syirik), dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An-Nisaa': 116]
[F]. Akibat Orang yang Berbuat Syirik
Menurut ayat di atas (QS. An-Nisaa': 116) menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak taubat.
Orang yang berbuat syirik tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya.
Orang yang berbuat syirik tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Orang yang berbuat syirik diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk masuk Surga. Sebagaimana firman-Nya:
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]
Orang yang berbuat syirik akan terhapus pahala amal-amal kebajikan yang pernah dilakukannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“...Seandainya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka ker-jakan.” [Al-An’aam: 88]
[G]. Pengertian Syahadat: “Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam' [10]
Makna dari syahadat: “Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam” adalah:
[a]. mentaati apa-apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan.
Firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]
. membenarkan apa-apa yang beliau j sampaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya...” [Al-Hadiid: 28]
[c].menjauhkan diri dari apa-apa yang beliau j larang.
Allah Ta’ala berfirman
“ ... Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...” [Al-Hasyr: 7]
[d].tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan.
Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut apa yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kita wajib ittiba’ kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa salam
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah men-cintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan (hal. 39-40)
[2].HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu
[3]. HR. Muslim (no. 27) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[4]. HR. Muslim (no. 31) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[5]. HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan pasti. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Riwayat ini dimaushulkan (disambungkan) oleh Imam ath-Thabrani, dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud, dengan sanad yang shahih.” (Fat-hul Baari (I/48)).
[6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (I/48) menyatakan bahwa sanadnya shahih.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 99, 6570) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32) dari hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 16, 21, 6041) dan Muslim (no. 43 (67)) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dan lafazh ini milik Muslim.
[10]. Lihat Syarh al-Ushuul ats-Tsalaatsah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (hal. 75).
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan 2/2
. Makna laa ilaaha illallaah
Makna dari kalimat (laa ilaaha illallaah) adalah (laa ma’buda bi haqqin ilallaah), tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala
Ada beberapa penafsiran yang salah tentang makna kalimat (laa ilaaha illallaah) dan kesalahan tersebut telah menyebar luas. Kesalahan tersebut antara lain. [1]
[1]. Menafsirkan kalimat (laa ilaaha illallaah) dengan (tidak ada yang diibadahi kecuali Allah), padahal makna tersebut rancu karena dapat berarti bahwa setiap yang diibadahi, baik dengan benar maupun salah, adalah Allah.
[2]. Menafsirkan kalimat (laa ilaaha illallaah) dengan (tidak ada pencipta kecuali Allah), padahal makna tersebut merupakan bagian dari makna kalimat (laa ilaaha illallaah) dan penafsiran ini masih berupa Tauhid Rububiyyah saja sehingga belum cukup. Inilah yang diyakini juga oleh orang-orang musyrik.
[3]. Menafsirkan kalimat (laa ilaaha illallaah) dengan (tidak ada hak untuk menghukumi kecuali hanya bagi Allah), padahal pengertian ini juga tidak cukup karena apabila mengesakan Allah dengan penga-kuan atas sifat Allah Yang Mahakuasa saja lalu berdo’a kepada selain-Nya atau menyimpangkan tujuan ibadah kepada sesuatu selain-Nya, maka hal ini belum termasuk definisi yang benar.
[C]. Syarat-Syarat laa ilaaha illallaah
Syarat PertamaAl-‘Ilmu/ Mengetahui)
Yaitu mengetahui arti dari kalimat (laa ilaaha illallaah).
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah...” [Muhammad: 19]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
“Melainkan mereka yang mengakui kebenaran, sedang mereka orang-orang yang mengetahui.” [Az-Zukh-ruf: 86]
Yang dimaksud dengan “mengakui kebenaran” adalah kebenaran kalimat laa ilaaha illallaah. Sedangkan maksud dari “sedang mereka orang-orang yang mengerti” adalah mengerti dengan hati mereka tentang apa yang diucapkan dengan lisan.
Dalam hadits yang shahih dari Shahabat ‘Utsman z bahwasanya Rasulullah j bersabda:
“Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, maka ia masuk Surga.” [2]
Syarat Kedua: (Al-Yaqiin/Meyakini)
Yaitu yakin serta benar-benar memahami kalimat laa ilaaha illallaah tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya, mereka itulah orang-orang yang benar.” [Al-Hujuraat: 15]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“... Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwasanya aku (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) adalah utusan Allah, tidaklah seorang hamba menjumpai Allah (dalam keadaan) tidak ragu-ragu terhadap kedua (syahadat)nya itu, melainkan ia masuk Surga.” [3]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda.
“... Pergilah dengan sandalku ini, maka siapa saja yang engkau temui di belakang kebun ini yang ia bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak di-ibadahi dengan benar selain Allah, dengan hati yang meyakininya, maka berikanlah kabar gembira kepadanya dengan masuk Surga.”
Maka, syarat untuk masuk Surga bagi orang yang mengucapkannya adalah hatinya harus yakin dengannya (kalimat Tauhid) serta tidak ragu-ragu terhadapnya. Apabila syarat tersebut tidak ada maka yang disyaratkan (masyrut) juga tidak ada.[4]
Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata.
“Yakin adalah iman secara keseluruhan, dan sabar adalah sebagian dari iman.” [5]
Tidak ada keraguan lagi bahwasanya orang yang yakin dengan makna laa ilaaha illallaah, seluruh anggota tubuhnya akan patuh beribadah kepada Allah Azza wa Jalla yang tiada sekutu bagi-Nya, dan akan mentaati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu berkata:
“Ya Allah, tambahkanlah kepada kami keimanan, keyakinan dan kefahaman.” [6]
Syarat Ketiga: (Al-Ikhlash/Ikhlas)
Yaitu memurnikan amal perbuatan dari segala kotoran-kotoran syirik, dan mengikhlaskan segala macam ibadah hanya kepada Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“... Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)...” [Az-Zumar: 2-3]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya...” [Al-Bayyinah: 5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“Orang yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari Kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaaha illallaah secara ikhlas dari hati atau jiwanya.” [7]
Syarat Keempat: (Ash-Shidq/Jujur)
Maksudnya mengucapkan kalimat ini dengan jujur disertai pembenaran oleh hatinya. Barangsiapa lisannya mengucapkan namun hatinya mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Dan di antara manusia ada yang berkata: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,’ padahal sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” [Al-Baqarah: 8-10]
Juga firman Allah Azza wa Jalla tentang orang munafik.
“... Mereka berkata, ‘Kami bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah...’” [Munaafiquun: 1]
Kemudian Allah Azza wa Jalla mendustakan mereka dengan firman-Nya.
“... Dan Allah mengetahui bahwa engkau adalah Rasul-Nya dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” [Munaafiquun: 1]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allah mengharamkannya masuk Neraka.” [8]
Syarat Kelima: (Al-Mahabbah/Cinta)
Maksudnya mencintai kalimat tauhid ini, mencintai yang terkandung di dalamnya dan segala sesuatu yang ditunjukkan atasnya.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah, dan orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah....” [Al-Baqarah: 165]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“Tiga perkara, apabila terdapat pada diri seseorang maka dia akan mendapat kelezatan iman: (1) apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, (2) mencintai seseorang semata-mata karena Allah, (3) membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia benci di-campakkan ke dalam api.” [9]
Syarat Keenam: (al-Inqiyad/Tunduk dan patuh).
Seorang muslim harus tunduk dan patuh terhadap apa-apa yang ditunjukkan oleh kalimat laa ilaaha illallaah, hanya beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, mengamalkan syari’at-syari’at-Nya, beriman dengan-Nya, dan berkeyakinan bahwasanya hal itu adalah haq.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Dan kembalilah kamu kepada Rabb-mu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” [Az-Zumar: 54]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.” [An-Nisaa': 125]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.
“Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” [Luqman: 22]
Syarat Ketujuh: (al-Qabul/Menerima)
Yaitu menerima kandungan dan konsekuensi dari kalimat syahadat ini, menyembah Allah Azza wa Jalla semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Barangsiapa yang mengucapkan, tetapi tidak menerima dan mentaati, maka ia termasuk dari orang-orang yang difirmankan Allah Azza wa Jalla.
“Sesungguhnya dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah)’ mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena seorang penyair gila?’” [Ash-Shaaffaat: 35-36]
Ini seperti halnya penyembah kubur di zaman ini. Mereka mengikrarkan, “Laa ilaaha illallaah,” tetapi tidak mau meninggalkan penyembahan mereka terhadap kuburan. Dengan demikian berarti mereka belum menerima makna: “Laa ilaaha illallaah.”
[D]. Rukun laa ilaaha illallaah
Kalimat (laa ilaaha illallaah) memiliki 2 rukun, yaitu;
[1]. (an-Nafyu/mengingkari), yaitu mengingkari (menafikan) semua yang disembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala
[2]. (al-Itsbat/menetapkan), yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla saja.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“... Barangsiapa yang kufur kepada thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada buhul (tali) yang sangat kokoh yang tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah: 256]
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thagut, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antara mereka yang tetap dalam kesesatan. Maka ber-jalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (Rasul-Rasul).” [An-Nahl: 36]
[E]. Kesyirikan dan Bahayanya
Jika bentuk-bentuk ibadah yang Allah syari’atkan dipalingkan dari Allah Azza wa Jalla atau secara bersamaan ditujukan kepada Allah Azza wa Jalla dan juga kepada selain-Nya, maka inilah yang disebut dengan kesyirikan.
Di antara bentuk-bentuk kesyirikan yang masih diyakini oleh sebagian kaum Muslimin antara lain:
[1]. Meminta suatu maslahat atau dijauhkan dari mudharat (bahaya) kepada kuburan Nabi, habib, wali, kyai dan lainnya, bernadzar dan menyembelih hewan untuk mereka.
[2].Mempercayai dan mendatangi dukun, paranormal, tukang sihir, orang pintar, tukang ramal dan yang sepertinya dan meminta perlindungan kepada jin.
[3]. Mempercayai jimat, tongkat, tangkal, susuk kekuatan, pusaka, barang sakti, ramalan bintang, dan lainnya.
[4]. Mempercayai dan menggunakan jampi-jampi, pelet, guna-guna dan lain-lain.
Syirik merupakan kemaksiatan yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan dosa yang paling besar, yang tidak akan diampuni Allah Azza wa Jalla, jika pelaku syirik mati di atas syirik dan tidak bertaubat.
Orang yang berbuat syirik adalah orang paling sesat, paling zhalim di muka bumi ini.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“… Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” [Luqman: 13]
“Sungguh Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa': 48]
Firman Allah Azza wa Jalla
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa mem-persekutukan (sesuatu) dengan Dia (syirik), dan Dia mengampuni dosa selain dari syirik bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An-Nisaa': 116]
[F]. Akibat Orang yang Berbuat Syirik
Menurut ayat di atas (QS. An-Nisaa': 116) menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni orang yang berbuat syirik, jika ia mati dalam kemusyrikannya dan tidak taubat.
Orang yang berbuat syirik tidak mengalami ketenangan dalam hidupnya.
Orang yang berbuat syirik tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam
Orang yang berbuat syirik diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk masuk Surga. Sebagaimana firman-Nya:
“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]
Orang yang berbuat syirik akan terhapus pahala amal-amal kebajikan yang pernah dilakukannya.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
“...Seandainya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka ker-jakan.” [Al-An’aam: 88]
[G]. Pengertian Syahadat: “Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam' [10]
Makna dari syahadat: “Muhammad Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam” adalah:
[a]. mentaati apa-apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam perintahkan.
Firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” [An-Nisaa': 13]
. membenarkan apa-apa yang beliau j sampaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya...” [Al-Hadiid: 28]
[c].menjauhkan diri dari apa-apa yang beliau j larang.
Allah Ta’ala berfirman
“ ... Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah...” [Al-Hasyr: 7]
[d].tidak beribadah kepada Allah melainkan dengan cara yang telah disyari’atkan.
Artinya, kita wajib beribadah kepada Allah menurut apa yang disyari’atkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, kita wajib ittiba’ kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa salam
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah men-cintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Ali ‘Imran: 31]
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 2]
_________
Foote Note
[1]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan (hal. 39-40)
[2].HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu 'anhu
[3]. HR. Muslim (no. 27) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[4]. HR. Muslim (no. 31) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu
[5]. HR. Al-Bukhari secara mu’allaq dan pasti. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Riwayat ini dimaushulkan (disambungkan) oleh Imam ath-Thabrani, dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud, dengan sanad yang shahih.” (Fat-hul Baari (I/48)).
[6]. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (I/48) menyatakan bahwa sanadnya shahih.
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 99, 6570) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32) dari hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu.
[9]. HR. Al-Bukhari (no. 16, 21, 6041) dan Muslim (no. 43 (67)) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu, dan lafazh ini milik Muslim.
[10]. Lihat Syarh al-Ushuul ats-Tsalaatsah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah (hal. 75).
Last edited: