gupy15
Mod
Babak Baru Riset Sel Punca
TPG IMAGES
/
Rabu, 4 Februari 2009 | 16:06 WIB
Oleh Evy Rachmawati
Setelah sekitar delapan tahun diboikot secara politik, para ilmuwan di Amerika Serikat mendapat lampu hijau untuk kembali mengembangkan riset sel punca embrionik. Meski dibayangi masalah etika, hal ini menimbulkan harapan akan adanya temuan baru.
Pesatnya perkembangan penelitian sel punca, khususnya embrionik, di AS mengalami masa suram saat pemerintahan Presiden George Bush. Karena dinilai tidak etis, Bush melarang pemerintah federal mendanai studi mengenai sel punca dari embrio manusia.
Namun, era pemboikotan politik terhadap aktivitas riset sel punca, khususnya embrionik, tidak lama lagi akan berakhir. Dalam kampanyenya, Presiden Barack Obama telah berjanji untuk mencabut larangan riset dan pemerintahannya mendukung penelitian sel punca.
Perubahan itu disambut gembira oleh para ilmuwan, termasuk Douglas Melton dari Universitas Harvard. Ia dan sejumlah ilmuwan lain yang memilih tetap bertahan di AS di bawah tekanan politik Bush secara gigih terus mengembangkan riset sel punca meski dibatasi ruang geraknya.
Tragedi menginspirasi
Inspirasi para ilmuwan untuk terus bersemangat mengembangkan riset sel punca bisa datang dari mana saja, termasuk tragedi. Dalam kasus Melton, kegigihannya dalam meneliti sel punca embrionik berawal dari penderitaan anaknya, Sam, saat berusia 6 bulan, yang didiagnosis terkena diabetes tipe satu.
Penyakit itu tak hanya mengubah kehidupan Sam semasa kanak-kanak, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Hampir setiap malam, Melton dan istrinya mengecek kadar gula dalam darah anaknya dan memberi Sam gula bila ternyata konsentrasinya terlalu rendah.
”Saya berpikir, tidak ada jalan untuk hidup, lalu saya putuskan untuk tidak hanya pasrah, tetapi harus berbuat sesuatu,” kata Melton kepada majalah Time.
Sebagai ahli biologi molekuler, Melton terus meneliti sel punca embrionik dengan dukungan dana dari para alumni Universitas Harvard, Harvard Stem Cell Institute (HSCI), dan beberapa lembaga swasta lainnya. Ia juga menghasilkan 70 sel baru dan mendistribusikan 3.000 kopi kepada para ilmuwan di seluruh dunia secara gratis.
Bahkan, pada tahun 2008, Kevin Eggan, kolega dari Melton di HSCI akhirnya menciptakan sel punca embrionik dari pasien tahun 2008. Dengan teknologi induced pluripotent stem cells (iPS cells), Melton dan rekannya berusaha melihat gambaran seluruh sel, tidak hanya sel punca, yang berpotensi sebagai terapi.
Disetujui
Pada 23 Januari 2009, Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (FDA) akhirnya menyetujui uji klinik terapi sel punca embrionik pada manusia. Meski otoritas setempat menyatakan hal itu tidak terkait perubahan konstelasi politik, kenyataannya perubahan kebijakan itu dilakukan setelah pelantikan Presiden Barack Obama.
Kejelasan mengenai uji klinik terapi sel punca untuk mengatasi nyeri pada tulang belakang baru-baru ini diumumkan Geron, perusahaan bioteknologi yang pertama kali mengajukan permohonan kepada FDA untuk memulai uji klinik itu. Semula, FDA menolak dan meminta lebih banyak data.
Direktur Eksekutif Geron Thomas Okarma menganggap keberatan dari pemerintahan semasa George W Bush berkuasa terhadap riset sel punca embrionik tidak berperan dalam penundaan persetujuan riset itu oleh FDA. Akan tetapi, pihak lain telah menduga persetujuan itu baru akan diberikan setelah pemerintahan baru mulai bekerja.
"Persetujuan itu terkait perubahan pemerintahan. Kemungkinan Pemerintahan Bush telah menekan FDA untuk menunda uji coba itu," kata Direktur Program Riset Sel Punca California Robert Klein. Persetujuan FDA itu baru keluar setelah lebih dari 10 tahun lalu sel punca embrionik pertama kali diisolasi di Universitas Wisconsin.
Sebelumnya, Presiden Obama telah berjanji untuk merevisi kebijakan Bush yang menolak membiayai riset sel punca embrionik. Meski demikian, sebagaimana dikutip kantor berita Associated Press, pemerintahan Obama menyatakan tidak pernah menekan FDA agar memberi izin studi baru itu.
Faktanya, meski proyek sel punca telah memenuhi syarat untuk didanai pemerintahan Bush, tapi tidak ada kucuran dana federal untuk riset terapi eksperimental tersebut.
Uji coba itu akan melibatkan 8-10 penderita nyeri tulang belakang. Sel-sel punca embrionik akan diinjeksi ke dalam tulang belakang pada punggung di lokasi yang sakit 7-14 hari setelah luka diobati. Oleh karena, ada bukti bahwa terapi itu tidak akan bekerja dengan baik bila nyeri itu telah terlalu lama terjadi.
Hal itu akan dilakukan di empat sampai tujuh pusat kesehatan di Amerika Serikat. Pada studi dengan hewan coba yang mendapat satu kali injeksi, sel-sel akan mengalami proses pematangan dan memperbaiki kerusakan pada syaraf.
”Studi itu untuk menguji keamanan prosedur ini, tetapi tim dokter juga akan melihat apa ada tanda-tanda perbaikan seperti kembalinya kemampuan gerakan kaki,” kata Okarma sebagaimana dikutip International Herald Tribune. Apa pun hasilnya, studi itu akan menandai babak baru berlanjutnya sejarah riset sel punca embrionik di Amerika Serikat.
Etika
Sejauh ini, sel punca merupakan hasil riset dasar bidang biologi yang kemudian membawa terobosan besar bidang kedokteran. Sel punca adalah sel tidak terdiferensiasi yang bisa memperbanyak diri untuk menghasilkan sel punca lainnya. Berdasarkan asalnya, sel punca dibedakan atas sel punca embrionik dan sel punca dewasa.
Sel punca embrionik adalah sel tunas yang diisolasi dari bagian inner cell mass (ICM) blastosis dan bisa berdeferensiasi jadi semua jenis sel.
Adapun sel punca dewasa adalah sel tunas yang diisolasi dari jaringan dewasa seperti sumsum tulang atau darah, dan dapat memperbanyak diri, tetapi kemampuan diferensiasinya terbatas jadi jenis sel tertentu.
Karena sel-sel itu bisa jadi beragam sel dalam tubuh, secara teoritis sel punca bisa menyediakan jaringan untuk mengganti sel-sel yang rusak dalam terapi diabetes, jantung, dan penyakit lain atau dikenal sebagai terapi regeneratif.
Sel punca dewasa dianggap kurang optimal hasilnya dibanding sel punca embrionik dalam hal tipe jaringan yang dapat dibentuk. Akan tetapi, riset sel punca embrionik menimbulkan kontroversi karena embrio harus dihancurkan bila hendak diambil sel puncanya.
Bila penggunaan blastosis tidak memungkinkan, teknologi yang dapat membantu penyediaan sel punca embrionik adalah transfer inti sel atau kloning. Namun, transfer inti sel atau kemampuan menghasilkan embrio tanpa lewat fertilisasi ini masih menimbulkan kontroversi.
Awal ditemukan
Kekuatan tersembunyi dalam setiap tubuh manusia itu tidak akan diketahui sampai tahun 1963, ketika peneliti dari Kanada Ernest McCulloch dan James Till untuk pertama kali membuktikan keberadaan sel punca di dalam darah.
Dalam uji laboratorium, mencit yang jadi hewan coba dirusak sel-sel kekebalan tubuh mereka dan diinjeksi sel punca dari sumsum tulang.
Hasilnya, ada pertumbuhan sel pada setiap bagian yang diinjeksi. Kemudian, tahun 1998 isolasi sel punca embrionik pertama kali dilakukan James Thomson di Universitas Wisconsin-Madison.
Umur embrionik yang digunakan adalah satu minggu. Tak lama kemudian, kelompok lain di Universitas John Hopkins juga berhasil mengisolasi sel punca embrionik dari embrio manusia umur 5-9 minggu.
Pada Oktober 2007, Mario Capecchi, Martin Evans, dan Oliver Smithies meraih Hadiah Nobel Kedokteran untuk riset mereka mengubah gen-gen tertentu pada mencit memakai sel punca embrio hewan itu.
Sayangnya sejak tahun 2005, riset bidang sel punca embrionik di AS tidak lagi dibiayai anggaran federal karena diboikot Presiden George W Bush yang terpilih lagi tahun 2004. Alasan yang dikemukakan adalah alasan etika.
Hal ini didukung kalangan Kristen dan Katolik yang fanatik di AS yang menganggap embrio manusia tidak sepatutnya digunakan untuk eksperimen dan dihancurkan.
Keputusan itu membuat banyak ilmuwan hengkang dari AS dan pindah ke Inggris, Singapura, dan China di mana pemerintah setempat menerima aktivitas penelitian mereka.
Para ilmuwan lain yang tetap bertahan di AS kurang mendapat dukungan dana dari pihak swasta untuk meneliti sel punca embrionik.
Di tengah kontroversi itu, tahun 2004, peneliti Korea Selatan Hwang Woo Suk mengumumkan telah menghasilkan sel punca embrionik pertama kali dari orang sehat dengan memakai metode kloning.
Berita ini sempat menggemparkan dunia, tetapi belakangan terbukti hal itu adalah kebohongan dan diakui Hwang sebagai kesalahan fatal.
Pada November 2007, berita gembira datang dari Jepang saat dua ilmuwan Jepang, Shinya Yamanaka dan Kazutoshi Takahashi, serta James Thomson secara terpisah mengumumkan keberhasilan mereka menciptakan aneka jenis sel somatik dari sel punca hasil pemrograman ulang sel somatik dari sel-sel kulit manusia.
Temuan ini merupakan terobosan besar dalam terapi regeneratif tanpa dibebani masalah etik karena tidak memakai sel-sel punca dari pembiakan embrio. Saat ini, banyak negara, seperti Italia dan Swiss, melarang penelitian sel punca embrionik dan kloning pada manusia.
Demi kesembuhan para penderita berbagai penyakit yang selama ini kehilangan harapan hidup, sejumlah negara di dunia kini berlomba-lomba mengembangkan uji klinik sel punca.
Tentunya, dalam menjalankan risetnya, peneliti harus mematuhi berbagai aturan atau batasan yang berlaku secara nasional dan internasional yang di dalamnya pun terdapat unsur-unsur etika.*
Sumber : Kompas Cetak
TPG IMAGES
/
Rabu, 4 Februari 2009 | 16:06 WIB
Oleh Evy Rachmawati
Setelah sekitar delapan tahun diboikot secara politik, para ilmuwan di Amerika Serikat mendapat lampu hijau untuk kembali mengembangkan riset sel punca embrionik. Meski dibayangi masalah etika, hal ini menimbulkan harapan akan adanya temuan baru.
Pesatnya perkembangan penelitian sel punca, khususnya embrionik, di AS mengalami masa suram saat pemerintahan Presiden George Bush. Karena dinilai tidak etis, Bush melarang pemerintah federal mendanai studi mengenai sel punca dari embrio manusia.
Namun, era pemboikotan politik terhadap aktivitas riset sel punca, khususnya embrionik, tidak lama lagi akan berakhir. Dalam kampanyenya, Presiden Barack Obama telah berjanji untuk mencabut larangan riset dan pemerintahannya mendukung penelitian sel punca.
Perubahan itu disambut gembira oleh para ilmuwan, termasuk Douglas Melton dari Universitas Harvard. Ia dan sejumlah ilmuwan lain yang memilih tetap bertahan di AS di bawah tekanan politik Bush secara gigih terus mengembangkan riset sel punca meski dibatasi ruang geraknya.
Tragedi menginspirasi
Inspirasi para ilmuwan untuk terus bersemangat mengembangkan riset sel punca bisa datang dari mana saja, termasuk tragedi. Dalam kasus Melton, kegigihannya dalam meneliti sel punca embrionik berawal dari penderitaan anaknya, Sam, saat berusia 6 bulan, yang didiagnosis terkena diabetes tipe satu.
Penyakit itu tak hanya mengubah kehidupan Sam semasa kanak-kanak, tetapi juga seluruh anggota keluarganya. Hampir setiap malam, Melton dan istrinya mengecek kadar gula dalam darah anaknya dan memberi Sam gula bila ternyata konsentrasinya terlalu rendah.
”Saya berpikir, tidak ada jalan untuk hidup, lalu saya putuskan untuk tidak hanya pasrah, tetapi harus berbuat sesuatu,” kata Melton kepada majalah Time.
Sebagai ahli biologi molekuler, Melton terus meneliti sel punca embrionik dengan dukungan dana dari para alumni Universitas Harvard, Harvard Stem Cell Institute (HSCI), dan beberapa lembaga swasta lainnya. Ia juga menghasilkan 70 sel baru dan mendistribusikan 3.000 kopi kepada para ilmuwan di seluruh dunia secara gratis.
Bahkan, pada tahun 2008, Kevin Eggan, kolega dari Melton di HSCI akhirnya menciptakan sel punca embrionik dari pasien tahun 2008. Dengan teknologi induced pluripotent stem cells (iPS cells), Melton dan rekannya berusaha melihat gambaran seluruh sel, tidak hanya sel punca, yang berpotensi sebagai terapi.
Disetujui
Pada 23 Januari 2009, Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan (FDA) akhirnya menyetujui uji klinik terapi sel punca embrionik pada manusia. Meski otoritas setempat menyatakan hal itu tidak terkait perubahan konstelasi politik, kenyataannya perubahan kebijakan itu dilakukan setelah pelantikan Presiden Barack Obama.
Kejelasan mengenai uji klinik terapi sel punca untuk mengatasi nyeri pada tulang belakang baru-baru ini diumumkan Geron, perusahaan bioteknologi yang pertama kali mengajukan permohonan kepada FDA untuk memulai uji klinik itu. Semula, FDA menolak dan meminta lebih banyak data.
Direktur Eksekutif Geron Thomas Okarma menganggap keberatan dari pemerintahan semasa George W Bush berkuasa terhadap riset sel punca embrionik tidak berperan dalam penundaan persetujuan riset itu oleh FDA. Akan tetapi, pihak lain telah menduga persetujuan itu baru akan diberikan setelah pemerintahan baru mulai bekerja.
"Persetujuan itu terkait perubahan pemerintahan. Kemungkinan Pemerintahan Bush telah menekan FDA untuk menunda uji coba itu," kata Direktur Program Riset Sel Punca California Robert Klein. Persetujuan FDA itu baru keluar setelah lebih dari 10 tahun lalu sel punca embrionik pertama kali diisolasi di Universitas Wisconsin.
Sebelumnya, Presiden Obama telah berjanji untuk merevisi kebijakan Bush yang menolak membiayai riset sel punca embrionik. Meski demikian, sebagaimana dikutip kantor berita Associated Press, pemerintahan Obama menyatakan tidak pernah menekan FDA agar memberi izin studi baru itu.
Faktanya, meski proyek sel punca telah memenuhi syarat untuk didanai pemerintahan Bush, tapi tidak ada kucuran dana federal untuk riset terapi eksperimental tersebut.
Uji coba itu akan melibatkan 8-10 penderita nyeri tulang belakang. Sel-sel punca embrionik akan diinjeksi ke dalam tulang belakang pada punggung di lokasi yang sakit 7-14 hari setelah luka diobati. Oleh karena, ada bukti bahwa terapi itu tidak akan bekerja dengan baik bila nyeri itu telah terlalu lama terjadi.
Hal itu akan dilakukan di empat sampai tujuh pusat kesehatan di Amerika Serikat. Pada studi dengan hewan coba yang mendapat satu kali injeksi, sel-sel akan mengalami proses pematangan dan memperbaiki kerusakan pada syaraf.
”Studi itu untuk menguji keamanan prosedur ini, tetapi tim dokter juga akan melihat apa ada tanda-tanda perbaikan seperti kembalinya kemampuan gerakan kaki,” kata Okarma sebagaimana dikutip International Herald Tribune. Apa pun hasilnya, studi itu akan menandai babak baru berlanjutnya sejarah riset sel punca embrionik di Amerika Serikat.
Etika
Sejauh ini, sel punca merupakan hasil riset dasar bidang biologi yang kemudian membawa terobosan besar bidang kedokteran. Sel punca adalah sel tidak terdiferensiasi yang bisa memperbanyak diri untuk menghasilkan sel punca lainnya. Berdasarkan asalnya, sel punca dibedakan atas sel punca embrionik dan sel punca dewasa.
Sel punca embrionik adalah sel tunas yang diisolasi dari bagian inner cell mass (ICM) blastosis dan bisa berdeferensiasi jadi semua jenis sel.
Adapun sel punca dewasa adalah sel tunas yang diisolasi dari jaringan dewasa seperti sumsum tulang atau darah, dan dapat memperbanyak diri, tetapi kemampuan diferensiasinya terbatas jadi jenis sel tertentu.
Karena sel-sel itu bisa jadi beragam sel dalam tubuh, secara teoritis sel punca bisa menyediakan jaringan untuk mengganti sel-sel yang rusak dalam terapi diabetes, jantung, dan penyakit lain atau dikenal sebagai terapi regeneratif.
Sel punca dewasa dianggap kurang optimal hasilnya dibanding sel punca embrionik dalam hal tipe jaringan yang dapat dibentuk. Akan tetapi, riset sel punca embrionik menimbulkan kontroversi karena embrio harus dihancurkan bila hendak diambil sel puncanya.
Bila penggunaan blastosis tidak memungkinkan, teknologi yang dapat membantu penyediaan sel punca embrionik adalah transfer inti sel atau kloning. Namun, transfer inti sel atau kemampuan menghasilkan embrio tanpa lewat fertilisasi ini masih menimbulkan kontroversi.
Awal ditemukan
Kekuatan tersembunyi dalam setiap tubuh manusia itu tidak akan diketahui sampai tahun 1963, ketika peneliti dari Kanada Ernest McCulloch dan James Till untuk pertama kali membuktikan keberadaan sel punca di dalam darah.
Dalam uji laboratorium, mencit yang jadi hewan coba dirusak sel-sel kekebalan tubuh mereka dan diinjeksi sel punca dari sumsum tulang.
Hasilnya, ada pertumbuhan sel pada setiap bagian yang diinjeksi. Kemudian, tahun 1998 isolasi sel punca embrionik pertama kali dilakukan James Thomson di Universitas Wisconsin-Madison.
Umur embrionik yang digunakan adalah satu minggu. Tak lama kemudian, kelompok lain di Universitas John Hopkins juga berhasil mengisolasi sel punca embrionik dari embrio manusia umur 5-9 minggu.
Pada Oktober 2007, Mario Capecchi, Martin Evans, dan Oliver Smithies meraih Hadiah Nobel Kedokteran untuk riset mereka mengubah gen-gen tertentu pada mencit memakai sel punca embrio hewan itu.
Sayangnya sejak tahun 2005, riset bidang sel punca embrionik di AS tidak lagi dibiayai anggaran federal karena diboikot Presiden George W Bush yang terpilih lagi tahun 2004. Alasan yang dikemukakan adalah alasan etika.
Hal ini didukung kalangan Kristen dan Katolik yang fanatik di AS yang menganggap embrio manusia tidak sepatutnya digunakan untuk eksperimen dan dihancurkan.
Keputusan itu membuat banyak ilmuwan hengkang dari AS dan pindah ke Inggris, Singapura, dan China di mana pemerintah setempat menerima aktivitas penelitian mereka.
Para ilmuwan lain yang tetap bertahan di AS kurang mendapat dukungan dana dari pihak swasta untuk meneliti sel punca embrionik.
Di tengah kontroversi itu, tahun 2004, peneliti Korea Selatan Hwang Woo Suk mengumumkan telah menghasilkan sel punca embrionik pertama kali dari orang sehat dengan memakai metode kloning.
Berita ini sempat menggemparkan dunia, tetapi belakangan terbukti hal itu adalah kebohongan dan diakui Hwang sebagai kesalahan fatal.
Pada November 2007, berita gembira datang dari Jepang saat dua ilmuwan Jepang, Shinya Yamanaka dan Kazutoshi Takahashi, serta James Thomson secara terpisah mengumumkan keberhasilan mereka menciptakan aneka jenis sel somatik dari sel punca hasil pemrograman ulang sel somatik dari sel-sel kulit manusia.
Temuan ini merupakan terobosan besar dalam terapi regeneratif tanpa dibebani masalah etik karena tidak memakai sel-sel punca dari pembiakan embrio. Saat ini, banyak negara, seperti Italia dan Swiss, melarang penelitian sel punca embrionik dan kloning pada manusia.
Demi kesembuhan para penderita berbagai penyakit yang selama ini kehilangan harapan hidup, sejumlah negara di dunia kini berlomba-lomba mengembangkan uji klinik sel punca.
Tentunya, dalam menjalankan risetnya, peneliti harus mematuhi berbagai aturan atau batasan yang berlaku secara nasional dan internasional yang di dalamnya pun terdapat unsur-unsur etika.*
Sumber : Kompas Cetak