spirit
Mod
Demam drama Korea telah mewabah selama beberapa tahun terakhir. Dengan pesatnya perkembangan teknologi, akses untuk menyaksikan salah satu produk gelombang Korea (Hallyu) ini pun menjadi lebih mudah.
Konten drama Korea yang biasanya hanya terdiri dari 16 sampai 20 episode tak jarang membuat pemirsa ingin mengikuti kisahnya sampai akhir secara maraton (binge-watching). Alhasil, segala cara dilakukan, mulai dari menonton semalam suntuk, menyaksikan lewat ponsel genggam di transportasi umum, hingga memanfaatkan waktu libur.
Kebiasaan tersebut bukan tak mungkin dapat menimbulkan dampak negatif bila dilakukan secara berlebihan. Misalnya, pada apa yang dialami seorang perempuan asal Nanjing, China yang hampir buta karena menonton drama Korea, 2016 lalu. Dia harus memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit setelah kedua matanya memerah dan perih.
Kondisi itu ia rasakan usai menyaksikan drama Korea selama 18 jam tanpa henti di akhir pekan. China Daily melaporkan bahwa selama kurun waktu tersebut, perempuan itu tak melakukan apapun selain makan dan tidur sejenak dan terpaku ke layar tablet miliknya untuk menyaksikan 16 episode seri Cheese In The Trap dan dua episode Descendants of The Sun.
Sebelumnya, pada 2014, QQ.com memberitakan bahwa seorang perempuan di Wuhan, China menderita serangan jantung setelah menonton drama Korea My Love From Another Star hingga larut malam.
perempuan di Wuhan, China menderita serangan jantung setelah menonton drama Korea My Love From Another Star hingga larut malam.Perempuan di Wuhan, China menderita serangan jantung setelah menonton drama Korea 'My Love From Another Star' hingga larut malam. (dok. SBS)
Keberadaan drama Korea bukan hanya berdampak pada perorangan saja, tapi juga budaya di suatu negara. Misalnya, China diketahui sempat melarang masuknya konten-konten hiburan dari Korea Selatan karena dianggap membawa dampak buruk bagi masyarakatnya.
Kala itu, sejumlah masyarakat pun menilai bahwa kehadiran konten hiburan dari Negeri Ginseng menggeser karya negara mereka sendiri.
"Saya melihat akhir-akhir ini banyak drama kita diproduksi untuk pasar China yang berdampak pada lemahnya plot. Jika ada, pelarangan Hallyu [oleh China] mungkin akan mengembalikan kualitas produksi drama kita," ujar salah satu netizen Korea, seperti dikutip dari kotak komentar XPortsnews via Naver.
Pelarangan itu terjadi pada akhir 2016 dan berlangsung sekitar setahun selanjutnya. Meski tidak secara resmi ada pernyataan larangan tersebut telah dicabut, tapi beberapa tayangan hiburan Korea Selatan kembali hadir sejak pertengahan 2017, dikutip Huffington Post.
Sedangkan di Korea Utara, yang diketahui menutup segala budaya luar untuk masuk, dilaporkan mengeksekusi mati 80 orang pada 2013 dan mayoritasnya dituduh karena menonton drama Korea Selatan yang diselundupkan ke sana.
Melansir Independent, kehadiran drama Korsel dianggap mampu mengguncang rezim Korea Utara. Pemerintah Korea Utara pun mengkhawatirkan bahwa drama Korea bukan sekadar menjadi kesenangan sederhana saja, tapi justru mempengaruhi kesadaran dan pemikiran sosial.
Di Indonesia sendiri, meski tidak ada kasus ekstrem tapi drama Korea pun telah mewabah. Berdasarkan pengamatan CNNIndonesia.com, tak jarang ditemukan pengguna transportasi umum yang mengisi waktu dalam perjalanan mereka dengan menyaksikan serial drama Korea kesayangan.
Menurut Psikolog Mira Amir, kondisi tersebut adalah wajar karena pada dasarnya hiburan menjadi salah satu kebutuhan bagi tiap manusia. Hanya saja, yang berbahaya jika itu telah menjadi suatu bentuk candu.
"Hiburan itu bentuknya macam-macam ya, ada seni, mainan, atau olahraga. Dan itu perlu waktu yang seimbang dengan istirahat serta produktivitas pekerjaan. Kalau buat enggak tidur 24 jam, enggak makan, itu kegiatan yang bermasalah," paparnya saat dihubungi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
'It's Okay, That's Love' merupakan salah satu drama yang paling digemari secara global. (dok. SBS)
Lebih lanjut, Mira menyampaikan bahwa perilaku kecanduan akan suatu hal, termasuk menyaksikan drama Korea, ada kemungkinan disebabkan oleh hormon dopamine, salah satu zat kimia di otak (neurotransmiter) yang berperan mempengaruhi emosi, gerakan, sensasi kesenangan dan rasa sakit.
"Dalam batasan tertentu cukup menyehatkan, tapi kemudian jika tidak terkontrol justru membentuk perilaku kecanduan," katanya.
Dia kemudian mengaitkan bahwa dalam konteks drama Korea ini kondisi tersebut terjadi karena ada daya tarik dan unsur kedekatan.
"Biasanya yang paling mudah, apa yang disaksikan orang dari drama Korea karena pemainnya cakap, suasananya dibangun menyenangkan, dan itu mengaktifkan stimulasi ke hormonnya. Afeksi emosionalnya meningkat, karena dilibatkan secara emosi," paparnya.
"Ketika emosi ditampilkan [dalam drama], dia [penonton] merasa itu menjadi representasi dari dirinya. Permasalahan di drama seolah jadi perpanjangan dirinya," tambah Mira.
Mira berpandangan, efek tersebut terjadi karena kemungkinan penonton tertentu mengalami konflik, namun tidak mendapat solusi yang konkret dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang rendah.
Karenanya, menyaksikan konten yang membuat penonton tertentu itu merasa senang menjadi sebuah pelarian. Mereka seolah dapat menemukan kondisi ideal yang diharapkan dengan apa yang disaksikan dalam layar.
"Hal-hal romantis [dalam serial drama] biasanya yang dihadirkan, seperti Dilan pun itu fenomenal, lucu juga digombalin ya. Tahu itu bohong, tapi lucu. Karena rutinitas yang mereka jalani, faktanya tidak semanis cerita," ujarnya.
Yang terburuk, kata Mira, adalah jika sudah tidak dapat memisahkan diri dari kondisi dalam serial drama dengan kehidupan nyata. Padahal, seharusnya setelah menyaksikan tontonan seperti drama Korea itu ada kewajiban lain yang perlu dilakukan, sederhananya seperti makan dan tidur.
Untuk itu, agar tidak terjebak atas kebiasaan yang menyebabkan kecanduan pada suatu tontonan atau kegiatan apapun, Mira menyarankan untuk memiliki batasan sejak awal.
"Misalnya, 'Saya hanya akan menonton sekian lama.' Buat batasan waktunya dan selalu miliki kontrol terhadap apa yang kita lakukan," ujarnya.