bahaya liberalisasi islam

popoi

New member
dari blog adian husaini

http://adianhusaini.blogspot.com/2007/10/proyek-liberalisasi-islam-di-indonesia.html
Proyek Liberalisasi Islan di IndonesiaOleh Adian Husaini
1. Pendahuluan
Liberalisasi
Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awa tahun 1970-an.
Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
Indonesia (HMI), Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya
dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, peristiwa-peristiwa tragis
susul-menyusul dan berlangsung secara liar, sulit dikendalikan lagi,
hingga kini.

Dengan mengadopsi gagasan Harvey Cox â€"melalui
bukunya The Secular City â€" Nurcholish Madjid membuka pintu masuk arus
sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam, menyusul kasus serupa dalam
tradisi Yahudi dan Kristen.

Bahwa sekularisasi adalah akibat
logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah. Menurut Cox, ada
tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas kepada
sekularisasi, yaitu: ‘disenchantment of nature’ yang dikaitkan dengan
penciptaan (Creation), ‘desacralization of politics’ dengan migrasi
besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan ‘deconsecration of
values’ dengan Perjanjian Sinai (Sinai Covenant).1

Jadi,
kata Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan
metafisika, pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia
kini. (Secularization is the liberation of man from religious and
metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other
worlds and towards this one). Karena sudah menjadi satu keharusan, kata
Cox, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab
sekularisasi merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible.
Maka, tugas kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi.
(Far from being something Christians should be against, secularization
represents an authentic consequence of biblical faith. Rather than
oppose it, the task of Christians should be to support and nourish it).2

Buku “The Secular City”
termasuk buku yang luar biasa. Edisi pertama buku ini dicetak tahun
1965. Buku Cox ini mencetuskan cause célèbre agama diluar jangkaan
pengarang dan penerbitnya sendiri. Buku ini merupakan ‘best-seller’ di
Amerika dengan lebih 200 ribu naskah terjual dalam masa kurang dari
setahun. Buku ini juga adalah karya utama yang menarik perhatian
masyarakat kepada isu sekularisasi. Menurut Dr. Marty, beberapa
kalangan menjadikan buku tersebut sebagai buku panduan, manual untuk
bebas lepas dari sembarang dongeng mitos dan agama. 3

Pengaruh buku ini ternyata juga melintasi batas negara dan agama. Di
Yogyakarta, sekelompok aktivis yang tergabung dalam Lingkaran Diskusi
Limited Group di bawah bimbingan Mukti Ali, sangat terpengaruh oleh
“The Secular City” nya Harvey Cox. Diantara sejumlah aktivis dalam
diskusi itu adalah Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan Ahmad Wahib.4
Tetapi, gagasan Cox ketika itu belum terlalu berkembang. Ahmad Wahib
hanya menulis catatan harian yang kemudian dikumpulkan dalam sebuah
buku selepas meninggalnya. Djohan Effendi pun tidak terlalu kuat
pengaruhnya.

Pengaruh Cox baru tampak jelas di Indonesia pada
pemikiran Nurcholish Madjid secara resmi meluncurkan gagasan
sekularisasinya dalam diskusi di Markas PB Pelajar Islam Indonesia
(PII) di Jakarta. Ketika itu, Nurcholish meluncurkan makalah berjudul
“Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”.
Dua puluh tahun kemudian, gagasan itu kemudian diperkuat lagi dengan
pidatonya di Taman Ismail Marzuki Jakarta, pada tanggal 21 Oktober
1992, yang dia beri judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan
Keagamaan di Indonesia”.

Seperti kita ketahui, arus sekularisasi
dan liberalisasi terus berlangsung begitu deras dalam berbagai sisi
kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan bahkan pemikiran keagamaan.
Kini, setelah 30 tahun berlangsung, arus besar itu semakin sulit
dikendalikan, dan berjalan semakin liar. Penyebaran paham "pluralisme
agama”, “dekonstruksi agama”, “dekonstruksi Kitab Suci”
dan sebagainya, kini justru berpusat di kampus-kampus dan organisasi
Islam â€" sebuah fenomena yang ‘khas Indonesia’. Paham-paham ini menusuk
jantung Islam dan merobohkan Islam dari pondasinya yang paling dasar.

Kaum
Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan
misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan
sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha
untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi
tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was
made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian
Church has to confront not only the rival claims of non-Christian
religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan
Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai
musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen
internasional.5

2. Dari tradisi Yahudi dan Kristen
Proses
liberalisasi sebenarnya terjadi pada berbagai bidang kehidupan, baik
bidang politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, dan sebagainya,
termasuk bidang agama. Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi,
sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara
resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan
liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan, agama
Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu “korban” liberalisasi dari
peradaban Barat. Agama Kristen mulai bersinar di Eropa ketika pada
tahun 313, Kaisar Konstantin mengeluarkan surat perintah (Edik) yang
isinya memberi kebebasan warga Romawi untuk memeluk agama Kristen.
Bahkan, pada tahun 380, Kristen dijadikan sbagai agama negara oleh
Kaisar Theodosius. Menurut Edik Theodosius, semua warga negara Romawi
diwajibkan menjadi anggota gereja Katolik. Agama-agama kafir dilarang.
Bahkan sekte-sekte Kristen di luar “gereja resmi” pun dilarang.

Dengan
berbagai keistimewaan yang dinikmatinya, Kristen kemudian menyebar ke
berbagai penjuru dunia, hingga kini jumlah pemeluknya mencapai sekitar
1,9 milyar jiwa, meskipun terbagi ke dalam sejumlah agama (Katolik,
Protestan, Orthodoks). Tapi, jika dicermati lebih jauh, perkembangan
gereja-gereja di Eropa â€" asal persebaran Kristen â€" cukup menyedihkan.
Sebuah buku yang ditulis Herlianto â€" seorang aktivis Kristen asal
Bandung â€" berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan
jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam
nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan “klenikisme”.

Di
Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama
Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja.
Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah
menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat
beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di
gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan
Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya
mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia,
yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap
minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja
yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar
3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat
Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan
kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat â€"
sebelum bersatu dengan Jerman Timur â€" terdapat 30.000 pendeta. Tetapi
jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di
Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang
(astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena
Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan
arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme,
dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung.
Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja
mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang
pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a
Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada
kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara
pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara
Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah
mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus
memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik
homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga
praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya.
Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti.
Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan”
umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol,
mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu
kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual
dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003,
para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk
mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen
yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama
mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Di
Indonesia, bahkan, di Fakultas Syariah IAIN Semarang, sejumlah
mahasiswanya juga melakukan tindakan yang sama, dengan apa yang telah
dilakukan kaum Yahudi dan Kristen. Ini bisa dibaca pada bagian
selanjutnya. Jadi, apa yang sudah terjadi pada kaum Yahudi dan Kristen
telah diikuti oleh sebagian kalangan kaum Muslim.

3. Program Liberalisasi Islam
Secara
sistematis, Liberalisasi Islam di Indonesia yang sudah dijalankan sejak
awal tahun 1970-an, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam ajaran
Islam, yaitu (1) liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham
Pluralisme Agama, (2) liberalisasi bidang syariah dengan melakukan
perubahan metodologi ijtihad, dan (3) liberalisasi konsep wahyu dengan
melakukan dekonstruksi terhadap al-Quran.

Dalam disertasinya di
Monash University, Australia, Dr. Greg Barton, memberikan sejumlah
program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya
konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan
pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme
agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi
non-sektarian negara.6

Dari disertasi Barton tersebut
dapat diketahui, bahwa memang ada strategi dan program yang sistematis
dan metodologis dalam liberalisasi Islam di Indonesia. Penyebaran paham
Pluralisme Agama â€" yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern
â€"dilakukan dengan cara yang sangat masif, melalui berbagai saluran, dan
dukungan dana yang luar biasa. Dari program tersebut, ada tiga aspek
liberalisasi Islam yang sedang gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia.

3.1. Liberalisasi aqidah Islam
Liberalisasi
aqidah Islam dilakukan dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Paham
ini, pada dasarnya menyatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang
sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini,
semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama.
Atau, mereka menyatakan, bahwa agama adalah persepsi relatif terhadap
Tuhan yang mutlak, sehingga â€" karena kerelativannya â€" maka setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa agamanya
sendiri yang lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau
mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut
Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang
memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya
sendiri.7

Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah
sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendekiawan, dan para
pengasong ide-ide liberal. Berikut ini pernyataan-pernyataan mereka:
a. Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
“Semua
agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang
paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis:
“Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama
adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang
Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi,
tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan
religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama:
yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada
ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan
Kembali Pemahaman Islam”,)

Ide Ulil tentang agama ini berimbas
pada masalah hukum perkawinan antar-agama, yang akhirnya ditegaskan
kembali keharamannya oleh fatwa MUI. Dalam artikelnya di Kompas
(18/11/2002) tersebut, Ulil juga menyatakan: “Larangan kawin beda
agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam,
sudah tidak relevan lagi.”

b. Budhy Munawar Rahman,
penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia
(terbitan JIL), menulis, satu artikel berjudul “Basis Teologi
Persaudaraan Antar-Agama” (hal. 51-53). Di sini, ia mempromosikan
teologi pluralis. Ia menulis bahwa “Konsep teologi semacam ini
memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa pemeluk
agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan makna
“orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu,
sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman.”

Budhy
menyimpulkan, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam
penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa
pun yang beriman â€" tanpa harus melihat agamanya apa â€" adalah sama di
hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.” 8

c. Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta, menulis:
“Jika
semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan
yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah
jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga
ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan,
kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal
surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda
agama jadi mungkin.” 9

d. Prof. Dr. Nurcholish Madjid,
menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil.
Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama
lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya).
Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama
kita). Ketiga, sikap pluralis â€" yang bisa terekspresi dalam macam-macam
rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah
untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara
berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau
“Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.

Lalu,
tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada
dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah
yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang
belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia
merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama
sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat
roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari
berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level
esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama
lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level
esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.” 10

Nurcholish Madjid juga menulis:
“Jadi
Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah,
“Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin
dilawan atau diingkari.” 11

e. Dr. Alwi Shihab
menulis: “Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan
eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas
beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan.
Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan
dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme
keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak
membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.” 12

f. Sukidi,
alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan
paham Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004): “Dan,
konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan
agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru
bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun
seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme,
Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah
benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua
agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi,
seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari
satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan
orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali
bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang
tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan
menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali
bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai
hukum Tuhan.”

g. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen
Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: “Seorang fideis
Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur
shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain
yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian,
pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan
formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama
seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting
lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa
menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan
iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005)

h. Nuryamin Aini,
Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta: “Tapi ketika saya mengatakan agama saya
benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain
salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki.” 13

Yang
perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga
pendidikan Islam, adalah bahwa hampir seluruh LSM dan proyek yang
dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford
Foundation, adalah mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham
Pluralisme Agama. Itu misalnya bisa dilihat dalam artikel-artikel yang
diterbitkan oleh Jurnal Tashwirul Afkar (Diterbitkan oleh Lakpesdam NU
dan The Asia Foundation), dan Jurnal Tanwir (diterbitkan oleh Pusat
Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah dan The Asia Foundation). Mereka
bukan saja menyebarkan paham ini secara asongan, tetapi memiliki
program yang sistematis untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang
saat ini masih mereka anggap belum inklusif-pluralis.

Sebagai
contoh, Jurnal Tashwirul Afkar edisi No 11 tahun 2001, menampilkan
laporan utama berjudul “Menuju Pendidikan Islam Pluralis”. Di tulis
dalam Jurnal ini:

“Filosofi pendidikan Islam yang hanya
membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain
mesti mendapat kritik untuk selanjutnya dilakukan reorientasi. Konsep
iman-kafir, muslim-nonmuslim, dan baik-benar (truth claim), yang sangat
berpengaruh terhadap cara pandang Islam terhadap agama lain, mesti
dibongkar agar umat Islam tidak lagi menganggap agama lain sebagai
agama yang salah dan tidak ada jalan keselamatan. Jika cara pandangnya
bersifat eksklusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah
teologi eksklusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak
harmonisasi agama-agama, dan sikap tidak menghargai kebenaran agama
lain. Kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme
agama dalam pendidikan Islam akan membangkitkan sayap radikal Islam.” 14

Di Jurnal ini juga, Rektor UIN Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah
menulis: “Pendidikan agama semata-mata menekankan keselamatan individu
dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif
atau kurang begitu peka terhadap nasib, penderitaan, kesulitan yang
dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain. Hal demikian
bisa saja terjadi oleh karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa
orang atau kelompok yang tidak seiman atau tidak seagama adalah “lawan”
secara aqidah. 15

3.2. Relativisme kebenaran
Paham
Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme
iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan
menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan
Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra,
rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan
Ford Foundation:

“Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak,
dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika
akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan,
maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa
dielakkan.” 16

Di dalam buku yang sama, seorang bernama M. Khairul Muqtafa juga menulis:

“Penafsiran
atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan
demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu
tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama
kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik
kehidupan sosial sehari-hari.” 17

Si penulis juga mempromosikan apa yang disebutnya sebagai “Relativisme
epistemologis’’, yang dimaksudkannya sebagai :

‘’Pada
wilayah ini maka yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa kita
tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui
kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya, kebenaran yang
selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak. 18

Juga ada gagasan tentang ‘’Relativisme teleologis’’, yakni:

‘’Dalam
konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara
jalan-jalan kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak
selamanya dan musti harus melalui jalan ‘agama’, tapi juga bisa memakai
medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam kemudian
berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan
yang signifikan kecuali hanya situalistik simbolistik. Sedangkan
esensinya sama, yakni menuju kebenaran transendental.’’19

Paham
relativisme akal dan relativisme iman merupakan virus ganas semisal
virus HIV yang berpotensi menggerogoti daya tahan keimanan seseorang,
sebab dengan virus ini, maka seseorang menjadi tidak yakin dengan
kebenaran agamanya sendiri. Dari virus ini lahirlah sikap skeptis dan
agnostik yang senantiasa ragu dengan kebenaran yang dicapainya. Jika
seseorang sudah kehilangan keyakinan dalam hidupnya, maka hidupnya akan
terus diombang-ambingkan dengan berbagai ketidakpastian. Akar dari
nilai-nilai ini adalah paham sofisme di zaman Yunani kuno, yang
kemudian dikembangkan dalam sistem pendidikan di Barat. Itu bisa
dimengerti, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu,
sehingga berbagai peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan
pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu,
sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap
saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.

Di Indonesia,
karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’
(serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi
penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam
Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita
menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik
politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau
belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah
berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia
kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan
dan kebenaran abadi.

Manusia-manusia yang hidup dalam alam
pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami
kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya
berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka
akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui
berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut,
yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan
manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah
keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada
kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang
jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran
yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan
menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah
menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:

“Maka pernahkah
kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah
mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan
kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan
meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya
petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
(QS 45:23).

Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah
merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini
menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya
sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah
mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk
dari perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire;
conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you,
oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than
slavery.” 20

Bukan hanya Iqbal yang melihat bencana
kehilangan keyakinan, sebagai bahaya besar bagi satu peradaban. Dengan
nada yang hampir sama dalam melihat peradaban Barat, Paus Benediktus
XVI juga mengingatkan bahaya relativisme bagi iman Katolik. Ia
menyatakan, bahwa Eropa kini sedang dalam bahaya besar, karena paham
relativisme iman yang mendalam. 21

Dalam bukunya,
The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen,
J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of
Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya
Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah
Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang
dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari
Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most
difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who
comes from the West, who understands the history and the culture of the
West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan
terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para
Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa
yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism”
in the West”. 22 Dalam pengantar bukunya, Reason,
Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo
menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan:
“relativism has become a dominant element in twentieth century
theology”. 23

Jadi, paham Pluralisme Agama memang
merupakan paham yang disebarkan untuk menghancurkan agama-agama yang
ada. Salah satu aliran dalam paham ini, yaitu aliran Transendentalisme
(Transendental Unity of Religion), berakar pada paham sinkretisme yang
disebarkan oleh Freemasonry. Maka, pada tahun 2005, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan, paham Pluralisme Agama
bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk
menganut paham tersebut. Tahun 2000, Vatikan mengeluarkan Dekrit
‘Dominus Jesus’ yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan
kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan
Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus. 24

Dari
kalangan Protestan, Pendeta Dr. Stevri Lumintang menulis buku yang
sangat serius dalam menjelaskan bahaya paham Pluralisme Agama bagi
agama-agama yang ada. Menurut Stevri, Teologi Abu-Abu adalah posisi
teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan
integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan
budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu
sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran
ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga
putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang
ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama
Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua
unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.

Bahkan, tulis Stevri Lumintang:

‘’…Theologia
abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba,
seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi
tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama
ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya
Pluralisme sedang menawarkan agama baru….’’ 25

Dalam
pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham
syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal,
Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan
diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain
Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti
termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan
dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan
dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya
anak. (QS 19:88-91).

Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam
sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep
yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan
ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai
perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai
wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir
dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham
persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat.

3.3. Liberalisasi al-Quran
Salah
satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di
Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan
Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian
“Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks
Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari
School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi
ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual
Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M.
Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological
Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis
terhadapTeks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New
Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville:
Abingdon Press, 1972).

Pesatnya studi kritis Bible itu telah
mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan
mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse
Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas
Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang
untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita
lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan
kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to
subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which
we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of
the Christian scriptures).”

Hampir satu abad lalu, para
orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan
bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak
pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu
banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di
Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus
didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang
mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu
juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok
agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.

Maka,
proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek
kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan
kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah
satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka
mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas
al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar
Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian
Jawa Pos, 11 Januari 2004: “Tapi, bagi saya, all scriptures are
miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).

Salah
satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam
upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa alQuran
Kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada
tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan
posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi
Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan
lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya
dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi
tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak.

Taufik
Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah
berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan:

“Uraian
dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas
proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa
proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik
dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam
mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas
bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis
Alquran.” 26

Taufik berusaha meyakinkan, bahwa
al-Quran saat ini masih bermasalah, tidak kritis, sehingga perlu diedit
lagi. Dosen itu pun menulis sebuah buku serius berjudul “Rekonstruksi
Sejarah al-Quran” yang juga meragukan keabsahan dan kesempurnaan Mushaf
Utsmani.27 Penulis buku ini mencoba meyakinkan bahwa mushaf
Utsmani masih bermasalah, dan tidak layak disucikan. Sayangnya, buku
ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Quraish Shihab, tanpa
memberikan kritik yang berarti. Dalam pengantarnya, Quraish menulis,
“Kasarnya, ada sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau
susunan ayat al-Quran dari surat al-Fatihah sampai surat al-Nas.”

Ada
lagi sebuah tesis master di Universitas Islam Negeri Yogyakarta (Dulu:
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ditulis oleh Aksin Wijaya, yang secara
terang-terangan juga menghujat Kitab Suci al-Quran. Tesis itu sudah
diterbitkan dalam sebuah buku berjudul: “Menggugat Otentisitas Wahyu
Tuhan”, dan diberi kata pengantar dua orang doktor dalam bidang studi
Islam, dosen di pasca sarjana UIN Yogyakarta. Di dalam buku ini,
misalnya, kita bisa menikmati hujatan terhadap al-Quran seperti
kata-kata berikut ini:

“Setelah kita kembalikan wacana Islam
Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegemoni budaya
Arab, kini saatnya, kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang
terperangkap dalam Mushaf Utsmani, dengan suatu metode dan pendekatan
baru yang lebih kreatif dan produktif. Tanpa menegasikan besarnya peran
yang dimainkan Mushaf Utsmani dalam mentransformasikan pesan Tuhan,
kita terlebih dulu menempatkan Mushaf Utsmani itu setara dengan
teks-teks lain. Dengan kata lain, Mushaf itu tidak sakral dan absolue,
melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan
Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian.
Karena itu, kini kita diperkekenankan bermain-main dengan Mushaf
tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi
perasaan dan pikiran kita.” 28

Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar
konsep dasar Islam tentang al-Quran:

“Sebagian
besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga
terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan).
Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari
ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari
seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya
lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini)
yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi
doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri
sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan
tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan
rekayasa.” 29

Pada bagian lain buku terbitan JIL
tersebut, ada juga yang menulis, bahwa ‘Al-Quran adalah perangkap
bangsa Quraisy’, seperti dinyatakan oleh Sumanto Al-Qurtubhy, alumnus
Fakultas Syariah IAIN Semarang:

“Di sinilah saya ingin menyebut
teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan Alquran
sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap”
bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman
sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu
berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab
lain.” 30

Sumanto pun secara terang-terangan menyatakan, bahwa al-Quran adalah
karangan Muhammad:

“Dengan
demikian, wahyu sebetulnya ada dua: “wahyu verbal” (“wahyu eksplisit”
dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non verbal”
(“wahyu implisit” berupa konteks sosial waktu itu). 31

Jadi,
di berbagai penerbitan mereka, kalangan liberal dan sejenisnya memang
sangat aktif dalam menyerang al-Quran, secara terang-terangan. Mereka
sedang tidak sekedar berwacana, tetapi aktif menyebarkan pemikiran yang
destruktif terhadap al-Quran. Itu bisa dilihat dalam buku-buku,
artikel, dan jurnal yang mereka terbitkan. Sebagai contoh, Jurnal
Justisia Fakultas Syariah, Edisi 23 Th XI, 2003, memuat tulisan yang
secara terang-terangan menyerang al-Quran dan sahabat Nabi Muhammad saw:

“Dalam
studi kritik Qur’an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik
historisitas Qur’an. Bahwa Qur’an kini sudah berupa teks yang ketika
hadir bukan bebas nilai dan tanpa konteks. Justru konteks Arab 14 abad
silam telah mengkonstruk Qur’an. Adalah Muhammad saw, seorang figur
yang saleh dan berhasil mentransformasikan nalar kritisnya dalam
berdialektika dengan realitas Arab. Namun, setelah Muhammad wafat,
generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif. Jangankan meniru
kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam memperjuangkan perubahan
realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad tampak kerdil dan hanya
mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu dikonstruk Muhammad. Dari
sekian banyak daftar ketidakkreatifan generasi pasca-Muhammad, yang
paling mencelakakan adalah pembukuan Qur’an dengan dialek Quraisy, oleh
Khalifah Usman Ibn Affan yang diikuti dengan klaim otoritas mushafnya
sebagai mushaf terabsah dan membakar (menghilangkan pengaruh)
mushaf-mushaf milik sahabat lain. Imbas dari sikap Usman yang tidak
kreatif ini adalah terjadinya militerisme nalar Islam untuk
tunduk/mensakralkan Qur’an produk Quraisy. Karenanya, wajar jika muncul
asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui
Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan
Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama
dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil
terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.” 32

Di
dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel
berjudul: “Kesucian Palsu Sebuah Kitab”. Maksudnya, al-Quran bukan
kitab suci, tetapi kitab suci yang palsu.

Penyerangan terhadap
al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat
menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di
lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara
yang menghujat al-Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi
Islam, yang hanya menjiplak dan mengulang-ulang lagu lama yang
beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini
tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi
kalangan orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal
‘ongkang-ongkang kaki’ (istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari
kalangan umat Islam sendiri yang aktif menyerang al-Quran. Bahkan,
kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar dan lebih
biadab dari para orientalis.

Cara yang lebih halus dan tampak
akademis dalam menyerang al-Quran juga dilakukan dengan mengembangkan
studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam.
Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr
Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah
banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal
dengan teorinya “al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi)
sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan
tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang dibanggakannya adalah
Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya
dengan judul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Buku Arkoun, Rethinking
Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian
Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” di Program Tafsir Hadits
Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam buku ini, Arkoun secara
terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendekiawan Muslim tidak mau
mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan
kritik terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir
pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di
Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi
Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu
tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. 33

Kaum
Muslim perlu merenungkan masalah ini dengan serius. Jika al-Quran dan
ilmu tafsir al-Quran dirusak dan dihancurkan, apa lagi yang tersisa
dari Islam?

3.4. Liberalisasi Syariat Islam
Inilah
aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan
dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qath’iy
dan pasti, dibongkar dan dibuat hukum baru yang dianggap sesuai dengan
perkembangan zaman. Seperti disebutkan oleh Dr. Greg Barton, salah satu
program liberalisasi Islam di Indonesia adalah ‘’kontekstualisasi
ijtihad’’. Para tokoh liberal biasanya memang menggunakan metode
‘kontekstualisasi’ sebagai salah satu mekanisme dalam merombak hukum
Islam. Sebagai contoh, salah satu hukum Islam yang banyak dijadikan
objek liberalisasi adalah hukum dalam bidang keluarga. Misalnya, dalam
masalah perkawinan antar-agama, khususnya antara Muslimah dengan
laki-laki non-Muslim.

Dalam sebuah tulisannya, Azyumardi Azra
menjelaskan metode kontekstualisasi yang dilakukan oleh gerakan
pembaruan Islam di Indonesia, yang dipelopori Nurcholish Madjid:

“Bila
didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang
terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat
untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang
kritis dan sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang
sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan
universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu penafsiran yang rasional
yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci
dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.” 34

Menjelaskan
pendapat Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra menulis, bahwa al-Quran
menunjukkan bahwa risalah Islam â€" disebabkan universalitasnya â€" adalah
selalu sesuai dengan lingkungan kultural apa pun, sebagaimana (pada
saat turunnya) hal itu telah disesuaikan dengan kepentingan lingkungan
semenanjung Arab. Karena itu, al-Quran harus selalu
dikontekstualisasikan dengan lingkungan budaya penganutnya, di mana dan
kapan saja.”

Kontekstualisasi para pembaru agama Islam ala
Nurcholish Madjid ini tidaklah sama dengan teori asbabun nuzul yang
dipahami oleh kaum Muslimin selama ini dalam bidang ushul fiqih.
Tetapi, Azyumardi Azra memberikan legitimasi dan pujian berlebihan
terhadap metode Nurcholish Madjid:

“Cak Nur berpegang kuat
kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris
dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar
berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan
dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah
apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara
melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman.” 35

Apa
yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang
mendalam oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali
tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah menulis tentang
metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa
hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak
gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk
menafsirkan al-Quran. 36 Misalnya, saat pidato di Taman
Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, Nurcholish mempromosikan pendapat yang
lemah tentang Ahlul Kitab, dengan mengataakan:

“Dan patut kita
camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana
dikutip ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak
terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan
jelas dalam al- Quran serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti
tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain
yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”

Pendapat Nurcholish ini
sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya, misalnya, oleh Dr.
Muhammad Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga
diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr. Azizan Sabjan, dalam
disertasinya di ISTAC, Malaysia. Namun, Nurcholish Madjid tidak peduli
dengan koreksi dan kritik, dan tidak pernah merevisi pendapatnya.
Prestasi kaum pembaru di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih
jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali
tidak apresiatif terhadap syariat. Bahkan, merusak dan
menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku
Fiqih Lintas Agama menulis:

“Soal pernikahan laki-laki
non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat
dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat
itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga
pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena
kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh
menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara
lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.”
37

Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya
kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali
tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer,
Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi
berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang telah terbukti sangat
destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Dengan alasan melakukan
kontekstualisasi, maka kaum liberal melakukan penghancuran dan
perombakan terhadap hukum-hukum Islam yang sudah pasti (qath’iy),
seperti hukum perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim.

Prof.
Musdah Mulia, tokoh feminis, juga melakukan perombakan terhadap hukum
perkawinan dengan alasan kontekstualisasi. Tapi, berbeda dengan buku
Fiqih Lintas Agama, yang menekankan faktor jumlah umat Islam sebagai
konteks yang harus dijadikan pertimbangan hukum, Musdah melihat konteks
“peperangan” sebagai hal yang harus dijadikan dasar penetapan hukum. Ia
menulis:

“Jika kita memahami konteks waktu turunnya ayat itu (QS
60:10. pen.), larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy
sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah
peperangan antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan
hubungan dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh
dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual.
Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud
tercabut dengan sendirinya.” 38

Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta, juga
membuat pernyataan yang menggugat hukum perkawinan antar-agama:

“Maka
dari itu, kita perlu meruntuhkan mitos fikih yang mendasari larangan
bagi perempuan muslim untuk menikah dengan laki-laki nonmuslim… Isu
yang paling mendasar dari larangan PBA (Perkawinan Beda Agama. Red)
adalah masalah sosial politik. Hanya saja, ketika yang berkembang
kemudian adalah logika agama, maka konteks sosial-politik munculnya
larangan PBA itu menjadi tenggelam oleh hegemoni cara berpikir
teologis.” 39

Entah kenapa, di Indonesia, yang
mayoritas Muslim, kaum Liberal berusaha keras untuk menghancurkan hukum
perkawinan antar-agama ini, seolah-olan ada kebutuhan mendesak kaum
Muslim harus kawin dengan non-Muslim. Ulil Abshar Abdalla, di Harian
Kompas edisi 18 November 2002, juga menulis: “Larangan kawin beda
agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam,
sudah tidak relevan lagi.” Bahkan, lebih maju lagi, Dr. Zainun Kamal,
dosen UIN Jakarta, kini tercatat sebagai ‘penghulu swasta’ yang
menikahkan puluhan â€" mungkin sekarang sudah ratusan â€" pasangan beda
agama.

Padahal, perlu dicatat, larangan muslimah menikah dengan
laki-laki non-Muslim sudah menjadi Ijma’ ulama dengan dalil-dalil yang
sangat meyakinkan (seperti QS 60: 10). Buku Ensiklopedi Ijma’ yang
diterjemahkan oleh KH Sahal Mahfudz juga menyebutkan bahwa soal ini
termasuk masalah Ijma’ yang tidak menimbulkan perbedaan di kalangan
kaum Muslim. Memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan:
“Perkawinan tidak sah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak,
dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap
muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat.”

Demikianlah
cara kaum liberal dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah
metodologi ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, ketimbang makna
teks itu sendiri. Gagasan-gagasan mereka bisa berlangsung sangat liar
tanpa batasan dan teori yang jelas. Mereka bisa menyusun teori konteks
itu sekehendak hati mereka. Itu bisa dilihat dalam Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam yang disusun oleh Tim Pangarusutamaan Gender
Departemen Agama â€" yang telah dibubarkan â€" garapan Prof. Dr. Musdah
Mulia dkk. Ada beberapa gagasan konsep hukum yang sangat kontroversial :

Pertama,
asas perkawinan adalah monogami (pasal 3 ayat 1), dan perkawinan di
luar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal
secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, batas umur calon suami atau calon
istri minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1). Ketiga, perkawinan beda agama
antara muslim atau muslimah dengan orang non muslim disahkan (pasal
54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri
(tanpa wali), asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun,
berakal sehat, dan rasyid/rasyidah. (pasal 7 ayat 2). Kelima,
ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri-suami atau sebaliknya
suami-istri. (pasal 9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh
wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki adalah
seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7(a)). Ketujuh, talak tidak
dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau
istri di depan Sidang Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian
waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3, bagian
Kewarisan). 40

Ketika hukum-hukum yang pasti
dirombak, maka terbukalah pintu untuk membongkar seluruh sistem nilai
dan hukum dalam Islam. Dari IAIN Yogyakarta, muncul nama Muhidin M.
Dahlan, yang menulis buku memoar berjudul “Tuhan Izinkan Aku Menjadi
Pelacur”, yang memuat kata-kata berikut:

“Pernikahan yang
dikatakan sebagai pembirokrasian seks ini, tak lain tak bukan adalah
lembaga yang berisi tong-tong sampah penampung sperma yang secara
anarkis telah membelah-belah manusia dengan klaim-klaim yang sangat
menyakitkan. Istilah pelacur dan anak haram pun muncul dari rezim ini.
Perempuan yang melakukan seks di luar lembaga ini dengan sangat kejam
diposisikan sebagai perempuan yang sangat hina, tuna, lacur, dan tak
pantas menyandang harga diri. Padahal, apa bedanya pelacur dengan
perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat
dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski
dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah
konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya.” 41

Dari
Fakultas Syariah IAIN Semarang, bahkan muncul gerakan legalisasi
perkawinan homoseksual. Mereka menerbitkan buku berjudul: Indahnya
Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum
Homoseksual. Buku ini adalah kumpulan artikel di Jurnal Justisia
Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25, Th XI, 2004. Dalam buku ini
ditulis strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan
perkawinan homoseksual di Indonesia:

“Bentuk riil gerakan yang
harus dibangun adalah (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu
dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2)
memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri
kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga
masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut
terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut
hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan
(tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum
homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang
mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” 42

Pada
bagian penutup buku tersebut, anak-anak fakultas Syariah IAIN Semarang
tersebut menulis kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya
oleh seorang Muslim pun:

“Hanya orang primitif saja yang melihat
perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi
kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk
melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa
proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.” Setelah
Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus
terhadap Islam. Di masa Perang Dingin, Komunisme dianggap sebagai musuh
utama, sehingga seringkali Barat bersama-sama dengan Islam menghadapi
komunisme, seperti yang terjadi di Afghanistan.
Tetapi, setelah komunis runtuh, Barat harus menetapkan musuh baru,
sebagai pengganti komunisme.

Maka,
para aktivis neo-konservatif (kalompok Kristen fundamentalis, Yahudi
sayap kanan, politisi Republik, dan ilmuwan neo-orientalis), berhasil
menjalankan agenda internasional pasca Perang Dingin. 43

4. Faktor Asing
Karena
Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam
dipandang sebagai isu politik potensial untuk meraih kekuasaan di
Barat, maka berbagai daya upaya dilakukan untuk ‘menjinakkan’ dan
melemahkan Islam. Salah satu program yang kini dilakukan adalah dengan
melakukan proyek liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan
dunia Islam lainnya. Proyek liberalisasi Islam ini tentu saja masih
menjadi bagian dari ‘tiga cara’ pengokohan hegemoni Barat di dunia
Islam, yaitu melalui program Kristenisasi, imperialisme modern, dan
orientalisme.

David E. Kaplan menulis, bahwa sekarang AS
menggelontorkan dana puluhan juta dollar dalam rangka kampenye untuk â€"
bukan hanya mengubah masyarakat Muslim â€" tetapi juga untuk mengubah
Islam itu sendiri. Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui
strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan
nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam.
Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai
radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam,
pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang
mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Washington is plowing tens of
millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim
societies but Islam itself…The white house has approved a classified
strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first time states
that the US has a national security interest in influencing what
happens within Islam… In at least two dozen countries, Washington has
quietly funded Islamic radio, tv shows, coursework in Muslim schools,
Muslim think tanks, political workshops, or other programs that promote
moderate Islam). 44

Salah satu LSM asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham
liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia
Foundation (TAF).
Untuk menanamkan paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di
kalangan Muslim Indonesia, TAF telah mendukung berbagai kelompok
berbasis Muslim sejak tahun 1970-an. TAF saat ini mendukung lebih dari
30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi basis
bagi sistem politik demokratis, non-kekerasan, dan toleransi beragama.
Dalam bidang pendidikan warga kewarganegaraan, HAM, dan rekonsiliasi
antar-komunitas, kesetaraan gender, dan dialog antar-agama, TAF juga
bekerjasama dengan LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai
katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu mencakup
training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam
Islam, pusat-pusat advokasi wanita, dan sebagainya. 45

Organisasi-organisasi di Indonesia yang diberikan pendanaan oleh The
Asia Foundation, diantaranya: - Yayasan Desantara (Pluralisme agama,
penerbit Majalah Syir’ah)
- Lembaga Studi Agama dan Demokrasii (Elsad) â€" (Pluralisme Agama dan
Demokrasi)
- Fahmina Institute - (Pluralisme Gender equality)
- Indonesia Center for Civic Education - Demokrasi
- International Center for Islam and Pluralism (ICIP) - (Pluralisme agama)
- Indonesia Conference on Religion and Peace â€" (ICRP) (Pluralisme
agama)
- Institut Arus Informasi (ISAI) â€" (Pluralisme dan Jurnalisme)
- Jaringan Islam Liberal (JIL) â€" (Liberalisasi Pemikiran)
- Paramadina â€" (Pluralisme agama)
- Pusat Studi Wanita â€" UIN - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) - (Gender equality)
- Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) â€" (Penerbitan buku-buku
pluralisme)
- Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama
(Pluralisme Agama, dekontsruksi syariah )
- Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme Agama)
- Dan puluhan LSM serta organisasi sejenis lainnya.

Kebijakan
untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah diungkapkan
oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. Dengan alasan membendung arus
terorisme, Donald Rumsfeld, pada 16 Oktober 2003, meluncurkan sebuah
memo:

“AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah
kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga
pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat
dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Harian
Republika, 3/12/2005).

Maka, dengan dukungan dana yang
besar-besaran, AS dan sekutunya, serta kaki tangannya di Indonesia,
berupa LSM-LSM asing, kemudian melakukan program perubahan dan
penghancuran pemikiran Islam secara besar-besaran. Secara moral, mereka
sebenarnya telah melakukan tindakan-tindakan yang sangat tidak
manusiawi dan tidak beradab. Di tengah kemiskinan dan pemiskinan
masyarakat Indonesia oleh kekuatan imperialisme global, mereka bukannya
menolong Indonesia untuk mengurangi beban utangnya, atau membantu
pengentasan kemiskinan dan kemajuan ekonomi, tetapi malah menyebarkan
racun paham Pluralisme Agama dan penghancuran syariat Islam, di
tengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Jika mereka memang
bermaksud baik, seharusnya, dana mereka itu digunakan untuk membantu
permodalan pedagang-pedagang kecil, mengurangi beban utang luar negeri,
beasiswa anak-anak miskin terlantar, pembangunan air bersih bagi pondok
pesantren, dan sebagainya, tanpa merusak aqidah dan keimanan kaum
Muslim. Jika Barat penghargai pluralitas dan perbedaan antar umat
manusia, mestinya mereka tidak memaksakan ideologi dan pandangan hidup
mereka kepada umat manusia. Mestinya mereka menghargai keberagaman dan
membiarkan umat Islam hidup dengan pandangan hidupnya dan syariatnya
sendiri. Tetapi, sayangnya, Barat saat ini terlalu ketakutan terhadap
Islam (Islamofobia), sehingga apa yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
asing agen Barat di Indonesia ini jauh lebih buruk dari apa yang
dikerjakan oleh Belanda dan VOC di masa lalu, yang tidak ikut campur
tangan dalam kurikulum pondok pesantren.

Tapi, sayangnya, ada
saja sebagian kalangan umat dan lembaga Islam yang terpengaruh oleh
iming-iming duniawi dari lembaga-lembaga asing yang sedang
bergentayangan mencari mangsa bersama para kaki tangannya di Indonesia.

5. Liberalisasi di Perguruan Tinggi Islam
Jika
Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan sebagainya menjadi pelopor
liberalisasi Islam di organisasi Islam dan masyarakat, maka Prof. Dr.
Harun Nasution melakukan liberalisasi Islam dari dalam kampus-kampus
Islam. Ketika menjadi rektor IAIN Ciputat, Harun mulai melakukan
gerakan yang serius dan sistematis untuk melakukan perubahan dalam
studi Islam. Ia mulai dari mengubah kurikulum IAIN.

Berdasarkan
hasil rapat rektor IAIN se-Indonesia pada Agustus 1973 di Ciumbuluit
Bandung, Departemen Agama RI memutuskan: buku “Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya” (IDBA) karya Prof. Dr. Harun Nasution
direkomendasikan sebagai buku wajib rujukan mata kuliah Pengantar Agama
Islam â€" mata kuliah komponen Institut yang wajib diambil oleh setiap
mahasiswa IAIN.

Harun Nasution sendiri mengakui ketika itu tidak
semua rektor menyetujuinya. Sejumlah rektor senior mentang keputusan
tersebut. Tapi, entah kenapa, keputusan itu tetap dijalankan oleh
pemerintah. Buku IDBA dijadikan buku rujukan dalam studi Islam. Karena
ada instruksi dari pemerintah (Depag) yang menjadi panaung dan
penanggung jawab IAIN-IAIN, maka materi dalam buku Harun Nasution itu
pun dijadikan bahan kuliah dan bahan ujian untuk perguruan swasta yang
menginduk kepada Departemen Agama.

Pada tanggal 3 Desember 1975,
Prof. HM Rasjidi, Menteri Agama pertama, sudah menulis laporan rahasia
kepada Menteri Agama dan beberapa eselon tertinggi di Depag. Dalam
bukunya, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, Prof. Rasjidi menceritakan isi suratnya:

“Laporan
Rahasia tersebut berisi kritik terhadap buku Sdr. Harun Nasution yang
berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Saya menjelaskan kritik
saya fasal demi fasal dan menunjukkan bahwa gambaran Dr. Harun tentang
Islam itu sangat berbahaya, dan saya mengharapkan agar Kementerian
Agama mengambil tindakan terhadap buku tersebut, yang oleh Kementerian
Agama dan Direktorat Perguruan Tinggi dijadikan sebagai buku wajib di
seluruh IAIN di Indonesia.” 46

Selama satu tahun
lebih surat Prof. Rasjidi tidak diperhatikan. Rasjidi akhirnya
mengambil jalan lain untuk mengingatkan Depag, IAIN, dan umat Islam
Indonesia pada umumnya. Setelah nasehatnya tidak diperhatikan, ia
menerbitkan kritiknya terhadap buku Harun tersebut. Maka, tahun 1977,
lahirlah buku Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tersebut.

Nasehat
Prof. Rasjidi sangat penting untuk direnungkan saat ini, mengingat buku
IDBA karya Harun Nasution itu memang penuh dengan berbagai kesalahan
fatal, baik secara ilmiah maupun kebenaran Islam. Misalnya, tentang
hadis Nabi Muhammad saw, Harun menulis : “Berlainan halnya dengan
Al-Quran, hadis tidak dikenal dicatat tidak dihafal di zaman Nabi…
Karena hadis tidak dihafal dan tidak dicatat dari sejak semula,
tidaklah dapat diketahui dengan pasti mana hadits yang betul-betul
berasal dari Nabi dan mana hadits yang dibuat-buat… tidak ada
kesepakatan kata antara umat Islam tentang keorisinilan semua hadis
dari Nabi.” 47

Sekilas saja mencermati kata-kata
Harun tersebut jelas sangat keliru, sebab banyak sahabat yang sejak
awal sudah mencatat dan menghafal hadis Nabi saw. Juga, tidak benar,
bahwa umat Islam tidak pernah bersepakat tentang otentisitas hadits
Nabi. Kata-kata Harun itu jelas hanya upaya meragu-ragukan hadis Nabi
sebagai pedoman kaum Muslim setelah al-Quran. Sebenarnya, tidaklah
benar, hadis Nabi sejak awal tidak dicatat oleh para sahabat. Prof.
Musthafa Azhami, dalam disertasinya di Cambridge, berjudul “Studies in
Early Hadith Literature” membuktikan proses pencatatan hadis sejak
zaman Nabi, disamping proses hafalannya.

Kesalahan yang sangat
fatal dari buku IDBA karya Harun adalah dalam menjelaskan tentang
agama-agama. Di sini, Harun menempatkan Islam sebagai agama yang
posisinya sama dengan agama-agama lain, sebagai evolving religion
(agama yang berevolusi). Padahal, Islam adalah satu-satunya agama
wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama
sejarah dan agama budaya (historical dan cultural religion). Harun
menyebut agama-agama monoteis â€" yang dia istilahkan juga sebagai ‘agama
tauhid’ â€" ada empat, yaitu Islam, Yahudi, Kristen, dan Hindu. Ketiga
agama pertama, kata Harun, merupakan satu rumpun. Agama Hindu tidak
termasuk dalam rumpun ini. Tetapi, Harun menambahkan, bahwa kemurnian
tauhid hanya dipelihara oleh Islam dan Yahudi. Tetapi kemurnian tauhid
agama Kristen dengan adanya faham Trinitas, sebagai diakui oleh
ahli-ahli perbandingan agama, sudah tidak terpelihara lagi.” 48

Apakah
benar agama Yahudi merupakan agama dengan tauhid murni sebagaimana
Islam? Jelas pendapat Harun itu sangat tidak benar. Kalau agama Yahudi
merupakan agama tauhid murni, mengapa dalam al-Quran dia dimasukkan
kategori kafir Ahlul Kitab? Kesimpulan Harun itu jelas sangat
mengada-ada. Sejak lama Prof. HM Rasjidi sudah memberikan kritik keras,
bahwa: “Uraian Dr. Harun Nasution yang terselubung uraian ilmiyah
sesungguhnya mengandung bahaya bagi generasi muda Islam yang ingin
dipudarkan keimanannya.” 49

Tetapi, kritik-kritik
tajam Prof. Rasjidi seperti itu tidak digubris oleh petinggi Depag dan
IAIN, sehingga selama 32 tahun, buku IDBA dijadikan buku wajib dalam
mata kuliah pengantar Studi Islam di perguruan-perguruan tinggi Islam
di Indonesia. Padahal, kesalahannya begitu jelas dan fatal. Malah,
bukannya bersikap kritis, banyak ilmuwan yang memuji-muji Harun
Nasution secara tidak proporsional.

Prof. Dr. Said Agil al-Munawwar, misalnya, menulis:

“Karena
itu, beliau perlu diteladani oleh para intelektual maupun generasi
berikutnya. Harun Nasution adalah sebagai salah seorang tokoh pembaru
diantara sedikit tokoh yang ada, ia termasuk tokoh sentral dalam
menyemaikan ide pembaruan bersama tokoh lainnya di Indonesia.
Tokoh-tokoh elitis kaum pembaru dimaksud diantaranya; Nurcholish
Madjid, Utomo Dananjaya, Usep Fathudin, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, M.
Dawam Rahardjo, Adi Sasono, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat,
Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Amien Rais dan Kuntowijoyo…Harun sangat
tepat disebut pemancang perubahan dalam tradisi akademik di lingkungan
perguruan tinggi Islam Indonesia. 50

Meskipun bukan
bidangnya, Prof. Malik Fadjar juga ikut-ikutan memberikan pujian
berlebihan dan tanpa sikap kritis terhadap Harun Nasution:

“Usaha
dan kerja keras Harun Nasution dalam pengembangan Islamic Studies di
Indonesia patut dihargai. Harun seyogianya dianugerahi sebagai tokoh
Islamic Studies di Indonesia.” 51

Secara kualitas
dan teknik penulisan ilmiah, buku IDBA Harun Nasution itu sebenarnya
juga sudah perlu direvisi total. Tapi, sekali lagi, kesalahan yang
fatal itu dibiarkan saja selama 30 tahun lebih. Jika buku yang isinya
mengandung ‘virus pemikiran’ itu diajarkan secara terus-menerus dalam
rentang begitu lama, bisa dipahami, jika kerusakan yang diakibatkan
‘virus’ itu sudah semakin parah dan menular ke mana-mana. Entah kenapa,
masalah yang serius dan separah ini sekian lama dibiarkan oleh
lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Setahu penulis, hingga kini, belum
ada lembaga Islam, khususnya perguruan tinggi Islam, yang secara resmi
meminta pemerintah menarik kembali buku IDBA Harun Nasution tersebut.

PENUTUP
Sebagai
penduduk sebuah negeri Muslim terbesar, umat Islam Indonesia saat ini
benar-benar sedang menghadapi ujian keimanan yang sangat berat. Di
tengah berbagai krisis dan keterpurukan, umat Islam Indonesia
direkayasa, dirusak, dan diserbu besar-besaran dengan paham-paham
syirik modern dan berbagai pemikiran liberal yang membongkar
habis-habisan sendi-sendi ajaran dan keyakinan umat Islam. Ironisnya,
ujung tombak dari penyebaran paham ini adalah para individu, tokoh,
cendekiawan, ulama, dan lembaga yang secara formal menyandang nama
Islam. Tentu saja ini tantangan yang sangat berat. Sebab, para ulama
dan cendekiawan yang seharusnya diamanahkan untuk menjaga agama, justru
banyak yang berbalik menjadi perusak agama. Inilah zaman fitnah, zaman
edan, zaman dimana yang haq dan yang bathil sudah bercampur aduk.

Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan:

“Yang
merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang
bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan
sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).

Juga sabda beliau saw:

“Termasuk
diantara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya
orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang
al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban).

Di tengah ujian berat
proyek liberalisasi Islam secara besar-besaran ini, kita berdoa,
mudah-mudahan tidak banyak kyai, ulama, cendekiawan, atau mahasiswa,
yang tergoda oleh berbagai bujukan dan tipuan duniawi yang ditujukan
untuk menghancurkan kekuatan Islam dari dalam. Pemikiran-pemikiran yang
destruktif terhadap Islam, saat ini sering dikemas dengan bungkusan
yang menarik dan dijajakan oleh pengasong-pengasong yang piawai dalam
bersilat-lidah dan tak jarang juga berhujjah dengan al-Quran.

Bisa
dikatakan, liberalisasi Islam di Indonesia, saat ini, adalah tantangan
yang terbesar yang dihadapi semua komponen umat Islam, baik pondok
pesantren, perguruan tinggi Islam, ormas Islam, lembaga ekonomi Islam,
maupun partai politik Islam. Sebab, liberalisasi Islam telah
menampakkan wajah yang sangat jelas dalam menghancurkan Islam dari
asasnya, baik aqidah Islam, al-Quran, maupun syariat Islam.

Tidak
ada cara lain untuk membentengi keimanan kita, keluarga kita, dan
jamaah kita, kecuali dengan meningkatkan ilmu-ilmu keislaman yang benar
dan memohon pertolongan kepada Allah SWT. “Ya Allah, tunjukkanlah yang
benar itu benar dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk
mengikutinya; dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil, dan berikanlah
kemampuan kepada kami untuk menghindarinya. Allahumma amin.” (Depok, 12
Ramadhan 1427 H).

Oleh: Adian Husaini, MA•
Adian Husaini,
Ph.D. Candidate di International Institute of Islamic Thought and
Civilizationâ€"International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM).
Aktivitas di Indonesia saat ini adalah sebagai Dosen Pasca Sarjana
Universitas Indonesia; Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).
Makalah ini (dalam format word) saya peroleh langsung dari penulis
selepas acara bedah buku “Terapi Kerasukan JIL” di Masjid Diponegoro
Komplek Balai Kota Yogyakarta Pada Tanggal 06 Mei 2007. FOOTNOTE
1
Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in
Theological Perspective, (New York: The Macmillan Company, 1967), hal.
19-32.

2 Harvey Cox, The Secular City, hal. 15.

3
Lihat Martin E. Marty, “ Does Secular Theology Have a Future” dalam
buku The Great Ideas Today, (New York: Encyclopaedia Britannica Inc,
1967).

4 Lihat, Karel Steenbrink, “Patterns of Muslim-Christian
Dialogue in Indonesia, 1965-1998”, dalam Jacques Waardenburg,
Muslim-Christian Perceptions of Dialogue Today, (Leuveneeters, 2000),
hal. 85. Steenbrink menggunakan redaksi “The book The Secular City by
Harvey Cox had a great impact in these young students.” Dalam Catatan
Hariannya, Ahmad Wahib menulis: “Sejauh yang aku amati selama ini,
agama terjadi telah kehilangan daya serap dalam masalah-masalah dunia.
Petunjuk-petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekularkan. Padahal,
sekularisasi ajaran-ajaran Tuhan mutlak bagi kita kalau kita tidak
ingin sekularistis.” Wahib adalah anak asuh Romo Willenborg dan Romo
H.C. Stolk SJ. Ketika itu ia sudah menyatakan dirinya sebagai penganut
pluralisme, sama dengan Romo Stolk. Wahib juga membahas tentang
sekularisme dan sekularisasi. (Lihat, Djohan Efendi & Ismet Natsir
Ahmad (ed), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib,
(Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute, 2003, cet ke-6), hal. 37-41, 79.
Tentang pengaruh Harvey Cox terhadap Nurcholish Madjid, lihat Greg
Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999).

5
Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki:
Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru,
Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan
anti-liberal. Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus
penting doktrin “Dominus Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan
menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus
Kristus.

6 Tahun 1999, disertasi Greg Barton diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan
Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).

7 Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York:
HarperSanFrancisco, 2002.

8
Lihat Artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan
Antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta:
JIL, 2002), hal. 51-53.

9 Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hal. 44.

10 Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix.

11 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. lxxvii.

12 Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama,
(Bandung: Mizan, 1997), hal. 108-109.

13 Lihat buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: JIL, 2005), hal. 223.

14
Khamami Zada, Membebaskan Pendidikan Islamari Eksklusivisme menuju
Inklusivisme dan Pluralisme, Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun
2001.

15 M. Amin Abdullah, Pengajaran Kalam dan Teologi di Era
Kemajemukan: Sebuah Tinjauan Materi dan Metode Pendidikan Agama, Jurnal
Tashwirul Afkar, edisi No 11 tahun 2001.

16 Sururin (ed), Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat
NU&Ford Foundation, 2005), hal. 150.

17 Ibid, hal. 58.

18 Ibid, hal. 58.

19 Ibid, hal. 58-59.

20 Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore:
Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 51,71-72.

21 Lihat, Libertus Jehani, Paus Benediktus XVI, Palang Pintu Iman
Katolik, (Jakarta: Sinondang Media, 2005), hal. 32.

22 John L. Allen, JR, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday,
2005), hal. 165-166.

23 Joseph Runzo, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press
Ltd, 1986), hal. 10.

24 Frans Magnis Suseno, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat
Majemuk, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004.

25 Lihat sinopsis buku Theologia Abu-abu, di www.gandummas.com;
dan buku Stevri Indra Lumintang, Theologia Abu-Abu Pluralisme Agama :
Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme Dalam Teologi Kristen Masa Kini
(Malang : Gandum Press, 2004), hal. 18-19.

26 Lihat, makalah
Taufik Adnan Amal berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, dalam buku Wajah
Liberal Islam di Indonesia” (Jakarta: JIL, 2002), hal. 78).

27 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran (Yogyakarta: FKBA,
2001).

28 Aksi Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (Yogyakarta:
Safiria Insania Press, 2004), hal. 123.

29
Luthfi Assyaukanie, “Merenungkan Sejarah Alquran”, dalam Abd. Muqsith
Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal,
2005), hal. 1.

30 Sumanto Al-Qurtubhy, “Membongkar Teks
Ambigu”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal,
(Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 17.

31 Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi
27/2005.

32
Dalam Jurnal Justisia, Edisi 23 Th XI/2003 ini bisa dibaca berbagai
artikel dengan judul-judul yang melecehkan al-Quran dan menghina para
sahabat Nabi Muhammad saw, seperti “Qur’an ‘Perangkap’ Bangsa Quraisy”
oleh M. Khalidul Adib Ach, “Pembukuan Qur’an oleh Usman: Sebuah Fakta
Kecelakaan Sejarah” oleh Tedi Kholiludin, “Kritik Ortodoksisme:
Mempertanyakan Ketidakkreativan Generasi Pasca Muhammad”, oleh Iman
Fadhilah el-Barbazzy ErHa, dan sebagainya.

33 Paparan lebih
jauh tentang masalah liberalisasi al-Quran di PerguruanTinggi Islam,
lihat, Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan
Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006).

34 Lihat, Pengantar Azyumardi
Azra untuk buku Dr. Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal,
(Jakarta: Paramadina, 2003), hal. xi.

35 Ibid, hal.xii.

36
Kritik yang komprehensif terhadap metodologi hermeneutika Fazlur Rahman
dilakukan oleh Ahmad Bazali bin Shafie dalam disertasinya di ISTAC-IIUM
Kuala Lumpur, yang berjudul “A Modernist Approach to the Quran: A
Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman.” Disertasi ini
disupervisi oleh Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud yang juga anak bimbing
langsung Fazlur Rahman di Chicago University. Berbeda dengan sejumlah
murid Fazlur Rahman lainnya, seperti Nurcholish Madjid dan A. Syafii
Ma’arif, Wan Mohd Nor mampu keluar dari bingkai pemikiran Rahman dan
mengkritik metodologi hermeneutika Fazlur Rahman untuk penafsiran
al-Quran. Sebuah buku yang cukup bagus dalam mengkritik metode liberal
dalam penafsiran al-Quran juga ditulis oleh pakar ushul Fiqih dari
Muhammadiyah, Prof. Asymuni Abdurrahman melalui bukunya yang berjudul
Memahami Makna Tekstual, Kontekstual, dan Liberal (Yogyakarta: Suara
Muhammadiyah, tanpa tahun).

37 Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, (Jakarta: Paramadina&The
Asia Foundation), 2004), hal. 164.

38 Musdah Mulia, Muslimah Reformis, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 63.

39 Lihat, buku Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam
Liberal, 2005), hal. 220-221.

40
Sejumlah pakar hukum Islam di Indonesia, seperti Prof. Dr. Huzaemah
Tahido Yanggo, MA, Prof. KH Ali Yafie, Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub,
MA, Neng Djubaidah SH, MHum, Prof. Dr. Zaitunah Subhan dan Prof. Dr.
Nabilah Lubis MA, telah memberikan kritik yang tajam terhadap CLD KHI
versi Musdah ini. (Lihat, Zaitunah Subhan dkk (ed), Membendung
Liberalisme, (Jakarta: Republika, 2004).

41 Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang
Muslimah, SriptaManent dan Melibas, 2005, cetakan ke-7.

42
Lihat buku Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan
Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan
Agama/eLSA, 2005), hal. 15.

43 Tentang strategi Barat dalam
menghadapi Islam pasca Perang Dingin, lihat, Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal,
(Jakarta: GIP, 2005).

44 David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005.

45 http://www.asiafoundation.org/Locations/indonesia.html
Website The Asia Foundation (www.asiafoundation.org) sampai dengan 24
Maret 2006, masih menulis tajuk pembukanya dengan kata-kata: “REFORMASI
PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.”

46 HM Rasjidi, Koreksi
terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya’, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal 13.

47 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI
Press, cet. ke-6, 1986), Jld 1, hal. 29.

48 Ibid, hal. 15-22.

49 HM Rasjidi, op.cit, hal. 24.

50 Abdul Halim (ed), Teologi Islam Rasional, (Ciputat Press, 2005),
hal. xvi-xvii.

51 Ibid, back cover.

--- End forwarded message ---
 
Back
Top