nizhami
New member
Pada tahun 1522 Jorge d'Alboquerque, gubernur Malaka, mengutus Henrique Leme dengan hadiah-hadiah yang diperlukan kepada raja Sunda, Raja Samiam namanya, untuk menjalin hubungan dagang dengan dia. Tiba di pelabuhan Sunda, Henrique Leme diterima dengan baik oleh raja yang mempunyai kepentingan untuk bersahabat dengan orang-orang Portugis, baik untuk mendapatkan bantuan dari mereka dalam perjuangannya terhadap orang Mor (maksudnya orang-orang Islam), maupun untuk kepentingan perdagangan. Pada tanggal 21 Agustus 1522 diadakanlah suatu perjanjian: raja Sunda memberikan izin kepada orang-orang Portugis untuk membangun sebuah benteng; raja akan memberikan kepada mereka berkapal-kapal lada sebanyak mereka inginkan, sebagai tukaran barang‑barang yang diperlukan oleh negeri itu; lain dari itu sebagai pernyataan persahabatan, dari hari mereka mulai membangun benteng itu, raja akan menghadiahkan setiap tahun 1.000 karung lada, yaitu 351 sentenar, kepada raja Portugal. Dari pihak anak negeri, yang menjadi saksi perjanjian itu adalah Mandari Tada, Tamungo Sangue de Pate dan Bengar, syahbandar Sunda. Kepada ketiga orang ini, yang menjadi orang‑orang terutama dalam negeri itu, raja memberikan perintah supaya menunjukkan kepada Henrique Leme tempat bagi benteng itu dan bagi tugu peringatan guna menguatkan perjanjian itu. Dengan suatu pesta besar, baik dari pihak orang Portugis maupun dari pihak anak negeri, tugu batu itu dibangun pada muara sungai sebelah kanan di sebuah tempat yang disebut Calapa. Membangun sebuah tugu peringatan merupakan suatu kebiasaan bagi orang‑orang Portugis, setelah mereka menduduki sebuah daerah yang baru mereka temukan. Dari perjanjian itu dibuat dua helai turunan, satu untuk Samiam, dan satu, yang juga ditandatangani oleh raja, untuk Leme. Setelah selesai satu dan lainnya, dan kedua belah pihak telah bertukar‑tukaran hadiah, kembalilah Leme ke Malaka. Jorge d'Alboquerque dengan segera mengirimkan kabar kepada raja Portugal tentang apa yang telah dilakukannya, yang menurut pandangannya untuk kepentingan Malaka, tanpa meminta izin terlebih dulu dari raja. Raja Portugal menerima baik hal itu, dan ketika pada tahun 1524 wakil raja, Conde Almirante (yaitu Vasco da Gama), akan berangkat ke India, ia memberikan perintah kepadanya untuk membangun benteng itu dengan segera di bawah pimpinan Francisco de Sa, yang turut bersama dengan dia. Akan tetapi wakil raja itu dengan segera meninggal dunia dan penggantinya, Henrique de Menezes, mengangkat Francisco de Sa menjadi panglima Goa. Ketika Lopo Vaz de Sampaio memegang pemerintahan (yaitu pada permulaan 1526), Francisco de Sa dipecat, karena kewajibannya adalah sesuatu yang lain. la menyuruh persiapkan sebuah armada, yang terdiri dari dua buah galyun, sebuah gale, sebuah galeota, sebuah camuella, dan sebuah brigantin. Dengan kapal‑kapal ini Francisco de Sa berangkat.
Di tengah pelayaran ia menyatukan diri dengan Pero Mascarenhas yang sedang dalam perjalanan menyerang Bintang,[1] dan baru setelah ekspedisi itu berakhir (yakni akhir 1526) ia terus ke Sunda. Oleh karena topan, kapal brigantin di bawah Duarte Coelho tercerai dari kapal‑kapal lainnya dan terkandas di pelabuhan Calapa. Awak‑kapal awak‑kapalnya dibunuhi oleh orang‑orang Mor (Islam) yang berkuasa di sana sejak beberapa hari, setelah mereka merebut kota itu dari tangan raja kafir, sahabat orang‑orang Portugis. Orang Mor yang merebut kota itu adalah seorang dari keturunan rendah, namanya Faletehan ‑ sekali‑sekali Falatehan ‑ dan dari kelahiran Pasai di Sumatra. Ketika orang‑orang Portugis merebut kota ini (yaitu tahun 1521), ia pergi ke Mekah, dan di sana selama dua atau tiga tahun melakukan telaah‑telaah keagamaan; setelah itu ia kembali lagi ke Pasai. Karena melihat daerah itu tidak sesuai baginya untuk menyiarkan Islam oleh karena adanya benteng Portugis di situ, ia pergi ke Japara dan mengaku sebagai kadi Nabi Muhammad. la meng‑Islam‑kan raja dan banyak orang lainnya. Bahkan ia mendapat seorang adik raja sebagai isteri. Dari sana ia berangkat dengan izin raja ke "Bantam, stad van Sunda" (Banten, kota Sunda) untuk melanjutkan pekerjaan peng‑Islam‑annya. la diterima dengan baik. Kepala pemerintahan kota masuk Islam dan memberikan kepadanya fasilitas-fasilitas yang perlu untuk menyiarkan agamanya lebih lanjut.
Faletehan yang melihat betapa baik keadaan untuk rencana-rencananya: sifat kota itu yang membantu, raja negeri yang berkediaman di pedalaman, meminta kepada iparnya, raja Japara, untuk mengirimkan isterinya dan beberapa pasukan kepadanya. Raja Japara mengabulkan permintaan ini dan mengirimkan 2.000 orang. Ketika tuan rumah Faletehan melihat orang‑orang Jawa, ia memberitahukannya kepada raja. Tetapi Faletehan bertindak dengan cerdasnya, hingga ia menjadi dan tetap menjadi tuan kota dan negeri itu. Oleh karena itu ketika Francisco de Sa tiba di pelabuhan Sunda, maka bukan saja tidak membicarakan pembangunan sebuah benteng, bahkan ia menderita beberapa kerugian karena Faletehan, sehingga ia, karena tidak siap untuk berperang, memutuskan untuk kembali ke Malaka[2].
Inilah uraian yang panjang lebar tentang pertemuan‑pertemuan pertama antara orang‑orang Portugis dengan Jawa Barat yang disebut mereka Sunda. Cerita ini berasal dari Barros. Kisah perjalanan Francisco de Sa disampaikan pula kepada kita oleh penulis‑penulis Portugis lainnya, yaitu Gastanheda, Correa, Couto, dan Francisco d'Andradat [3], tetapi dengan beberapa perbedaan, yang untuk tujuan kita tidak penting. Hanya di sini hendaklah diingatkan, bahwa Couto menempatkan peristiwa-peristiwa ekspedisi yang malang itu secara khilaf di Banten dan bukannya di Calapa, seperti yang dimaksud oleh penulis‑penulis yang lebih tua dengan "pelabuhan Sunda”,[4] dan menurut keempat orang pengarang ini, Samiam, sahabat orang Portugis, ketika itu telah meninggal dunia. Hal‑hal yang penting dari Barros tentang perjalanan Henrique Leme dibenarkan oleh perjanjian yang asli dengan Sangiang,[5] dan bagi kita hal ini memberikan kepercayaan besar kepada ceritanya yang selanjutnya tentang Sunda. Hanya nama‑nama anak negeri perlu mendapat koreksi. Tapi tidak semua nama dapat kita kembalikan kepada bentuk‑bentuk aslinya. Dalam perjanjian itu disebut sebagai para wakil Sangiang, "mandarin‑nya" (menteri) yang terutama, yang bernama "mandarym Padam Tumungo" (Tumenggung), dua orang mandarin lainnya, dengan nama Ssamgydepaty (Sang Adipati) dan Bemgar; dan syahbandar, Fabyam namanya, beserta banyak orang‑orang utama lainnya.
Terlebih dulu akan kita ikuti lebih lanjut cerita‑cerita Portugis [6] sebelum membandingkannya dengan cerita‑cerita anak negeri untuk melihat atau menarik kesimpulan‑kesimpulan dari perbandingan‑perbandingan.
Tentang kerajaan Sunda yang kecil, tetapi sedang berkembang itu, yang banyak mengeluarkan lada di mana rajanya mencari persahabatan dengan orang Portugis, telah dapat diceritakan oleh Barbosa (1516)[7] Barros pun mengatakan, bahwa setelah direbutnya Malaka oleh Alfonso d'Alboquerque pada tahun 1511, maka Sangiang Sunda sebagaimana juga raja‑raja Indonesia lainnya, mengadakan hubungan dengan orang Portugis. Dalam uraian umumnya tentang Sunda ia menceritakan kekhususan‑kekhususan yang berikut. Pedalamannya lebih bergunung‑gunung daripada pedalaman Jawa.[8] Pelabuhan‑pelabuhan yang terutama enam jumlahnya, yaitu Chiamo, Xacatra, yang juga disebut Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam, dengan pelabuhan‑pelabuhan mana orang Portugis mempunyai lalu‑lintas perdagangan[9] Ibukotanya disebut Daio dan terletak sedikit ke pedalaman. Ketika Henrique Leme mengunjungi pulau itu, kota itu mempunyai, menurut kepastian orang, 50.000 penduduk dan kerajaan itu mempunyai 100.000 orang tentara. Tetapi oleh karena peperangan dengan orang Mor, jumlah tersebut sangat berkurang. Negeri itu sangat kaya dengan bermacam‑macam makanan. Penduduknya tidak begitu suka kepada peperangan, tetapi hidupnya ditekankan kepada penyembahan dewa‑dewa mereka. Mereka banyak mempunyai kuil‑kuil untuk menyembah dewa‑dewa itu.
Mereka itu musuh-musuh besar orang‑orang Mor, lebih‑lebih setelah mereka ditaklukkan oleh seorang Sangue de Pate de Dama. Undang‑undang mereka membolehkan mereka menjual anak‑anak lelaki mereka. Wanita‑wanitanya tampak baik‑baik rupanya, dan mereka itu di kalangan tinggi sangat suci dalam hal kewanitaan, hal mana tidak terdapat pada lingkungan yang rendahan. Banyak bihara untuk para wanita yang ingin memegang teguh kesucian mereka, tetapi lebih didorong oleh alasan‑alasan mencari pujian ketimbang oleh alasan‑alasan kesalahan. Orang-orang kalangan tinggi menaruh puteri‑puteri mereka di dalam bihara, jika mereka tak dapat dikawinkan menurut keinginan mereka. Bagi wanita‑wanita dipandang suatu kehormatan, bahwa mereka, jika suami mereka meninggal dunia, turut mati bersama‑sama dengan sang suami. Tetapi jika mereka takut mati, maka masuklah mereka ke dalam bihara sebagai orang saleh. Pergantian mahkota turun dari bapak kepada anak laki-laki. Orang sangat bangga memakai senjata‑senjata yang diukir permai. Hasil terutama negeri itu adalah lada, yang jumlahnya setiap tahun lebih dari tiga puluh ribu sentenar.[10]
[1] Maksudnya, Bintan, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Riau (penyalin).
[2] Barros IV livr. I c.13.
[3] Fern. Lopez de Castanheda, Historia do descobrimento a conquista da India pelos Portugueses, VII cap. 26 dan 3; Gasp. Correa, Lendas da India, II halaman 727 dan III halaman 92‑93; Conto IV livr. III cap. 1; Francisco d'Andrada, Chronica do muyto alto a muyto poderoso Rey . . . Dom Jono o III, parte II cap. 7.
[4] Kesalahan Couto ini dapat dimaklumi. Ketika ia menulis karyanya bagian ini, yaitu pada tahun 1597 (Rouffaer dalam BKI, 6, VI halarnan 159) Banten telah mendesak Sunda ‑Kalapa dan pelabuhannya adalah Sunda (dengan penamaan ini dimaksudkan Banten, misalnya dalam D'eerste Boeck halaman 27 r). Nama Sunda Kalapa ketika itu sedikit banyak telah kuno, sekalipun tidak sama sekali tak dipakai lagi (lihat tentang S.K. Rouffaer dalam Enc. v. Ned. Indie IV halaman 17, kolom ke‑2 dan de Haan, II, halaman 158, nt. 2). Tempat itu dinamai kembali Jayakerta dan Surakarta atau Sulakarta.(bandingkan Brandes dalam TBG, XXXVH, halaman 425), nama yang terakhir adalah bentuk keliru oleh pengaruh r yang kedua, sedangkan kependekan Jakerta menjadi Jaketra. Nama‑nama itu boleh jadi ‑ ini tidak lebih dari hanya suatu dugaan saja ‑ berasal dari 1527, setelah direbutnya kota itu, benteng terutama Pajajaran, oleh Faletehan (jayakerta = kemenangan yang selesai, surakerta = keberanian yang berhasil, pahlawan).
[5] Dalam AIguns documentos do Archivo Nacional da Torre do Tombo acerca das navegagoes a conquistas portuguezas . . . halaman 460‑461.
[6] Di sini saya sampaikan terima kasih saya yang hangat kepada tuan Rouffaer bagi kesudiannya meminjamkan kepada saya untuk diperiksa catatan-catatannya tentang tempat‑tempat di Jawa Barat oleh penulis-penulis Portugis, catatan‑catatan yang merupakan tambahan dan pengawasan yang baik atas apa yang dicatat publikasi-publikasi yang dikenal, terutama publikasi‑publikasi Van Tiele.
[7] Barbosa, edisi tahun 1867, halaman 368.
[8] Barros memandang Sunda sebagai pulau yang berdiri sendiri.
[9] Yang terbanyak nama‑nama itu mudah dikenal kembali dan telah pula diidentifikasi oleh Veth (Jaya 1, halaman 278). Hanya dua nama, Chiamo dan Chiguide memberikan kesulitan. Yang pertama kelihatannya untuk Cimanuk, sebagai juga dikatakan Veth secara bertanya, dan yang kedua untuk Cikande, sebagaimana dikira‑kirakan oleh R.A, Kern (Ind. Gills 1906, halaman 688. Het Landefijk stelsel in het Bari tensche rijk). Tentang ibukota Daio lihat di bawah.
[10] Barros N livr. I c.12.