Megha
New member
Belajar Dari Tukang Kebun
Saya pernah bekerja di kawasan Salemba. Hampir semua orang di kantor itu saya kenal, mulai dari pegawai sampai tukang ojek yang mangkal di sebelah kantor. Bagi saya memahami karakter dari setiap orang itu mengasyikan, selain mendapat banyak teman juga dapat menyerap ilmu yang lebih banyak.
Obrolan-obrolan kecil bagi saya jauh lebih menginspirasi dibanding sekedar membaca buku karena ketika membaca buku, saya tidak bisa bertatap muka langsung dengan penulisnya. Dari sekian banyak karakter yang saya temui, seseorang yang bernama Pak Ipul menjadi salah satu teman saya menghabiskan secangkir kopi.
Pak Ipul, dia adalah tukang kebun di tempat saya bekerja, berangkat Subuh dan pulang Magrib. Dandanannya sederhana tetapi memiliki pemikiran luar biasa bahkan ketika bercanda pun pemikirannya sangat berbobot. Dia sangat menikmati pekerjaan yang dimilikinya.
Senja tiba dan petang menyeruduk begitu saja, dingin mulai mengeroyok dan kebisingan kota Jakarta berlalu saja. Seperti biasa saya mengajaknya ngobrol santai.
“Pak, ngopi dulu.” Ucap saya agak keras.
Dia mendekat dengan atribut senyum tulus di pipinya.
“Udah pulang nih? Mau di jemput supir saya nggak?'' Ujarnya dengan gaya bercanda seolah-olah orang kaya.
***
Sudah beberapa menit saya berbincang-bincang dengan Pak Ipul, dari dalam otak saya yang paling nakal terbersit pikiran untuk mencoba meledeknya,
“Pak, miskin sudah berapa lama? Kok masih betah?", ledek saya sambil menepuk bahunya.
“Haha, jangan salah ya. Miskin-miskin gini dulunya banyak yang naksir, hehe”. Kembali dia berucap dengan gaya bercandanya sembari menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap.
Kemudian suasana menggiring kami pada pembicaraan yang lebih serius. Dia menceritakan masa mudanya dengan panjang lebar mengenai petualangan hidupnya yang sudah malang melintang kesana-kemari, bahwasanya dia juga memiliki sebuah mimpi besar untuk menjadi orang kaya. Kini usianya tak muda lagi bahkan saya sering memanggilnya dengan sebutan Pak Tua.
“Saya sering berdoa dan berusaha supaya kelak saya bisa menjadi orang kaya karena menjadi kaya itu sudah suatu keharusan. Kalau kita tak menginginkan untuk menjadi orang kaya berarti kita itu berdosa, apalagi tak pernah berdoa menjadi kaya. Karena yang punya semuanya itu kan yang diatas, kalau kita sudah merasa cukup nyaman dan tidak ingin jadi orang kaya berarti kita sombong donk? Tapi saya bersyukur.”
Begitulah petuah sederhananya, maklum bukan orang sekolahan namun esensi dari ucapan itu seperti menyelami lautan hakikat. Dari pengalaman saya pun demikian. Biasanya orang-orang yang punya pemikiran besar itu justru bicaranya sederhana meski isinya sangat rumit. Berbeda dengan orang yang punya pola piki yang biasa-biasa saja tapi sok intelek, bicaranya terlalu rumit padahal hanya membahas suatu hal yang sangat sederhana.
Kalau soal nasib itu Tuhan yang menentukan setidaknya ada pelajaran yang bisa kita petik. Dengan usianya yang cukup tua ditambah lagi keadaan fisiknya yang sakit-sakitan tapi harus membiayai hidup istri serta anak yang masih kecil, namun hingga detik ini saya belum pernah mendengar dia mengeluh. Mungkin benar bahwa orang-orang dengan penuh keikhlasan itu menganggap setiap cobaan dan ujian adalah kenikmatan, jadi nikmati aja.
Terakhir sebelum pulang saya bertanya lagi pada Pak ipul dengan wajah saya yang sok dramatis:
“Jadi Pak Ipul gimana? Masih punya tekat untuk mewujudkan semua mimpi-mimpi yang belum terwujud?”
“Tentu saja.” jawabnya dengan sirat senyum di pipinya.
Ternyata tidak ada kata terlambat untuk bermimpi, karena sesuatu yang dahsyat di masa mendatang itu bisa lahir dari tangan siapapun.
Written by Hadi Santosa
Supported by JobsDB.com