spirit
Mod
Selama lebih dari 800 tahun, ribuan keluarga telah tinggal di dalam benteng gurun pasir megah itu di negara bagian India, Rajasthan.
Terletak di kawasan terpencil di tepi barat negara bagian India, Rajasthan, yang dikelilingi gurun Thar, benteng Jaisalmer dari abad pertengahan berdiri kokoh setinggi 20 lantai di atas lanskap berpasir layaknya istana pasir emas.
Dibangun mulai tahun 1156, benteng batu pasir itu berdiri di atas bukit segitiga, lengkap dengan tiga lapis dinding, empat gerbang megah dan 99 menara.
Bersama dengan lima benteng megah lainnya di Rajasthan, Jaisalmer merupakan situs Warisan Dunia Unesco, di mana warna madu mencolok dari batu pasir kuning yang digunakan untuk membangunnya telah mengilhami namanya, si Kota Emas.
Meski demikian, benteng itu lebih dari sekadar landmark bersejarah atau karya arsitektur penting: lebih dari 800 tahun setelah dibangun, sekitar 2.000 hingga 4.000 keturunan penduduk asli kastil itu masih terus hidup di balik tembok benteng tanpa dipungut biaya sewa, karena leluhur mereka diberi tanah tersebut oleh raja-raja setempat sebagai imbalan atas jasa mereka bagi kerajaan.
Saat ini, Jaisalmer bukan hanya menjadi benteng kuno terakhir yang masih dihuni di India, tetapi juga berfungsi sebagai monumen hidup, di mana kehidupan di sana berlangsung di antara jalan-jalan sempit dan halaman yang penuh sesak, mirip yang terjadi pada abad ke-12 lalu.
Keluarga Vimal Kumar Gopa telah tinggal di dalam benteng itu selama lebih dari 700 tahun, di mana pria 44 tahun itu mengelola galeri tekstil dari rumah kecil Kundpada-nya.
Secara historis, lingkungan itu hanya menjadi rumah bagi anggota kasta pemuka Brahmana, yang dulu bekerja sebagai guru dan penasihat raja-raja setempat yang memerintah Jaisalmer dari abad ke-12 hingga sekitar pertengahan tahun 1900-an, lantas diberi tempat tinggal di dalam benteng.
Kini, tujuh abad dan 23 generasi kemudian, keluarga besar Brahmana Gopa memiliki 42 rumah di balik tembok-tembok kuno itu.
Di dalam benteng, orang-orang yang memiliki nama keluarga yang sama biasanya berasal dari satu keluarga dan tinggal di lingkungan yang sama," ujar Gopa.
Selain para Brahmana, komunitas dominan lainnya yang juga tinggal di dalam benteng Jaisalmer adalah Rajputs, klan pejuang Hindu India utara yang bertanggung jawab atas keselamatan kota yang mengelilingi benteng itu, juga keselamatan benteng itu sendiri.
Menurut Gopa, nama belakang penghuni juga menunjukkan kasta keluarga mereka di masa lampau; Purohit dan Vyas adalah nama-nama Brahmana lainnya, sedangkan nama-nama Rajput di antaranya Bhatti, Rathore atau Chauhan.
"Keluarga saya telah tinggal di sini selama lebih dari 400 tahun," kata Jitendra Purohit, pedagang di salah satu toko kerajinan tangan yang terselip di jalur sempit benteng. "Sudah berapa generasi? Saya tidak tahu, tapi ini satu-satunya rumah yang kami tahu."
Akar keluarga Gopa dan Purohit yang luar biasa cukup umum di dalam kastil Jaisalmer. Bahkan, saat berhenti untuk mengobrol dengan para pemilik toko dan penduduk yang sedang duduk-duduk di luar rumah mereka, saya mendengar cerita yang sama berulang-ulang: kebanyakan dari mereka dilahirkan di sini dan masih bekerja di sini.
Beberapa dari mereka mengubah sebagian rumah mereka menjadi toko, kafe, atau wisma untuk mendapat penghasilan dalam beberapa dekade terakhir.
Jaisalmer didirikan pada abad ke-12 oleh pemimpin lokal bernama Rawal Jaisal, yang memberi nama kota itu. Antara abad ke-16 dan ke-18, kerajaan berkembang menjadi perhentian penting di jalur perdagangan Jalur Sutra yang menghubungkan Eropa dengan China, melalui India, Afghanistan, Turki dan Mesir.
Karavan para saudagar dan pedagang dari Timur, yang sarat dengan tumpukan sutra, batu mulia, rempah-rempah, teh dan aroma opium yang tersisa di belakang mereka, akan berhenti di salah satu penginapan kecil dengan halaman terbuka di Jaisalmer untuk mencari makanan, minuman dan tempat bermalam.
Penguasa setempat makmur berkat kehadiran para pelancong, pedagang kota yang kaya lantas membangun rumah-rumah besar (dikenal dengan nama havelis), kuil dan penginapan, baik di dalam maupun di luar dinding benteng Jaisalmer.
Ratusan tahun kemudian, satu-satunya sisa peninggalan penting Jalur Sutra di daerah itu adalah desa-desa yang ditinggalkan, penanda batu dan benteng-benteng bobrok yang tersebar di lanskap gurun tandus itu.
Meski demikian, jalanan Kota Emas yang meliuk-liuk dengan dinding batu pasirnya masih memikat banyak pengunjung untuk datang menikmati hotel dan restorannya.
Angin gurun kini berhembus di sela berbus-bus turis dengan kamera ketimbang di antara para pedagang yang menunggangi unta mereka. Kota itu tetap merupakan sebuah kastil pasir luar biasa di mana bergenerasi-generasi penduduknya telah melayani pelancong selama berabad-abad.
Kini, benteng Jaisalmer dipenuhi toko teh dan kafe, penginapan dan rumah, serta kuil dan butik yang berjejalan satu sama lain. Penduduk setempat, khususnya mereka yang tinggal di balik benteng, terus mencari penghasilan dari keberadaan wisatawan.
Beberapa membuka restoran yang menyajikan hidangan mezze sederhana, sementara yang lain menjual tas tangan indah yang terbuat dari kulit unta.
Para penjaga toko memanggil mereka yang melintas untuk masuk dan melihat-lihat turban flamboyan yang dijajakan, permadani bersulam dan 'seprei Viagra ajaib' yang disebut-sebut bisa membuat subur. "Melihat-lihat tidak bayar, Nyonya," ujar salah satu pedagang dari kursi plastik di depan tokonya.
Meski ribuan pengunjung datang setiap harinya, benteng tersebut tetap menjadi komunitas yang erat. Di bagian luar banyak rumah, terpajang lukisan-lukisan ceria yang berisi pengumuman pernikahan penduduk benteng Jaisalmer yang akan datang.
Lukisan-lukisan itu menuliskan nama para mempelai pria dan pengantin wanita, berikut tanggal pernikahan, yang biasanya dibubuhkan di bawah simbol keberuntungan seperti sosok dewa gajah Ganesha, yang juga merupakan dewa dari permulaan yang baru. Menurut Gopa, tak perlu lagi surat undangan resmi di dalam komunitas kecil benteng itu.
"Seluruh benteng ini adalah satu keluarga," ujar Gopa. "Pembatasnya dimulai dan diakhiri dengan gerbang utama yang dikenal sebagai Akhrey Prol yang memisahkan kota dari kami. Baik pernikahan maupun kematian, kami semua datang untuk merayakannya."
Purohit juga menambahkan dengan berkata, "Beberapa tahun (lalu), ketika ibu saya terkena serangan jantung, baik saya maupun saudara saya sedang tidak berada di rumah, namun tetangga kami membawanya ke rumah sakit.
'Harmoni' inilah yang paling saya suka dari tinggal di sini, dan hal ini sudah berlangsung seperti demikian di komunitas kami selama berabad-abad."
Dari gerbang utama benteng, jalan berliku yang dikelilingi toko penjual perhiasan logam dan kerajinan tangan bermanik-manik menyapa para pelancong. Penduduk sekitar dengan sepeda motor dan oto-becaknya dengan hati-hati melintasi jalanan, mengklakson para pejalan kaki yang berseliweran.
Para perempuan Jaisalmer dalam balutan pakaian berwarna-warni dan rok bergelombang, serta kepala yang ditutupi kerudung dupatta cerah, membawa sesajen yang dipenuhi bunga-bunga segar dan bertangkai-tangkai dupa aromatik ke berbagai kuil di balik tembok benteng itu.
Salah satu jalur menanjak ke sebuah bukit kecil bermuara di alun-alun pusat Dusshera Chowk dan Baa Ri Haveli, sebuah rumah megah berusia 450 tahun yang kini menjadi museum yang memamerkan berbagai artefak dari kehidupan sehari-hari kawasan benteng sejak abad ke-15 hingga kini.
Melintasi lusinan kamar mungil yang dipenuhi pajangan koin yang coak, peta kuno, foto sepia yang memudar, peralatan masak, turban berhiasan dan berbagai peninggalan masa lalu lainnya, yang paling membuat saya terpana adalah betapa banyaknya bagian dari sejarah tersebut yang masih terus hidup hingga sekarang di antara jalanan berliku di Jaisalmer.
Turban berwarna cerah, sama seperti yang pudar terpajang di museum, masih bisa ditemukan di kepala orang-orang Jaisalmer, sementara dapur-dapur tradisional masih menggunakan piring dan wajan kuningan dan perunggu.
Gopa menggambarkan bagaimana Holi (festival warna Hindu) dan Diwali (festival cahaya) dirayakan bersama-sama dengan cara yang sama seperti yang dilakukan sejak ratusan tahun lalu - seperti layaknya ritual ibadah harian di banyak kuil Hindu dan Jain di balik tembok Jaisalmer yang juga tetap sama selama ini.
Kini, museum itu menjadi bukti sejarah benteng Jaisalmer yang membanggakan, walaupun upaya untuk merestorasi bangunan kuno itu bukanlah hal gampang.
"Rumah megah itu sendiri sedang dalam keruntuhan," ungkap manajer museum, Rakesh Vyas, yang sudah tinggal di dalam Baa Ri Haveli sepanjang hidupnya dan merupakan keturunan langsung dari keluarga pemilik mansion tersebut.
Vyas menceritakan proses restorasi panjang dan telaten serta kompilasi artefak yang dipamerkan di sana. "Kami tidak didukung pemerintah atau siapa pun," ujarnya.
Kurangnya perhatian pemerintah sendiri tidak mengejutkan, tutur Gopa melanjutkan. Benteng itu kini menjadi monumen warisan yang dilindungi, bukan di bawah kontrol langsung pemerintah negara bagian ataupun pusat, melainkan di bawah Archaelogical Survey of India (ASI), badan pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap perlindungan dan konservasi kuil, benteng dan situs arkeologi India.
Dan meskipun ASI telah memerintahkan warga benteng untuk tidak menjual properti mereka kepada pihak luar atau pun mengubah wajah bangunan yang mereka miliki, dukungan finansial untuk perawatan benteng, khususnya area-area privatnya, belum mengalir.
Bukan hanya mansion-mansion saja, bentengnya sendiri kini terancam runtuh. Ia didirikan di atas batuan sedimen lunak dan dan memiliki sistem drainase kuno yang merembes langsung dan terus-menerus ke pondasi benteng selama bertahun-tahun. Semua itu diperburuk oleh aktivitas konstruksi dan perbaikan tak terkontrol di dalam lingkungan benteng sendiri, yang berarti banyak bagian dari tembok batu pasir itu yang sudah hancur.
Benteng megah itu mungkin telah melewati berbagai hal dan selamat dari berbagai serangan pasukan penjajah selama lebih dari delapan abad, namun masa depannya tidak pasti.
Seperti yang diungkapkan Gopa dengan sedikit prihatin, "Tentu saja kehidupan berubah bagi kita dengan banyak cara, tapi kami berharap, seperti halnya nenek moyang kami, bahwa anak-anak dan cucu-cucu kami tetap bisa tinggal di sini."
sumber