Beras Jagung Naik 200 Persen

Kalina

Moderator
Banyaknya warga yang mencampur konsumsi berasnya dengan jagung, membuat harga beras jagung ikut-ikutan naik. Kenaikannya pun bisa mencapai 200 persen. Bahkan, harga katul jagung yang banyak dipakai campuran beras juga naik mencapai 150 persen.

Menurut B Suma, pedagang kelontong di Arjasa, sejak harga beras naik tak terkendali, harga beras jagung dan katul jagung ikut-ikutan naik. Kenaikannya pun berlipat-lipat. Beras jagung kini mencapai Rp 3.500 per kilogram. Padahal saat harga beras normal, beras jagung hanya Rp 1.500 per kilogram. Sedangkan katul jagung dari semula Rp 1.000 per kilogram, kini menjadi Rp 2.500 per kilogram.

"Beras jagung dan katul jagung sekarang naik, Mas," ujarnya kepada Erje kemarin. Kenaikan harga beras jagung dan katul jagung ini terjadi sejak harga beras naik. Karena yang mencari banyak sedangkan persediaan barangnya terbatas, terpaksa dia menaikkan harganya.

Menurut dia, pelangganya tidak saja mulai melirik beras jagung dan katul jagung. Tapi, juga menurunkan kualitas beras yang dimakan. Jika sebelumnya membeli beras kepala, kini membeli beras medium. Yang medium, beralih pada beras kualitas rendah. "Yang paling murang sekarang Rp 4.700. Itu pun berasnya banyak yang pecah," ungkapnya.

Terkait dengan harga beras yang kian melonjak, salah satu penyebabnya adalah faktor musim. Akibat molornya masa tanam, membuat masa panen ikut molor. "Akibatnya, persediaan gabah petani yang biasa dikonsumsi sendiri ikut habis. Maka petani pun sekarang ikut-ikutan membeli beras sehingga permintaan meningkat," kata Jumantoro, ketua Forum Komunikasi Petani Jember (FKPJ) kemarin.

Seharusnya, kata dia, masa tanam dimulai pada awal November tahun lalu. Tapi, akibat musim yang kacau, banyak petani yang baru memulai masa tanam pada akhir Desember atau awal Januari. Sehingga, Februari yang seharusnya mulai panen, kini belum ada petani yang panen.

"Penyebab mundurnya masa tanam itu karena persediaan air yang tidak ada akibat musim hujan yang juga terlambat," ungkapnya. Persoalan kesulitan air ini, menurut dia, setidaknya dialami oleh 80 persen wilayah di Jember.

Bahkan, Jumantoro memprediksi, masa tanam MH (musim hujan) kali ini akan terjadi penurunan produksi sekitar 30 persen. Selain ketersediaan air yang sempat menjadi kendala, pada masa pemumupukan awal padi sempat muncul persoalan pada distribusi pupuk.

Soal operasi pasar yang belum mampu meredam gejolak harga beras, mantan sekretaris KTNA Jember ini mengatakan, harus ada pembenahan pada manajemen operasi pasar. Sebelum dilakukan operasi pasar, perlu sosialisasi dan koordinasi antar instansi terkait. "Kalau perlu, toko-toko yang di pelosok bisa ikut membeli beras operasi pasar dengan batasan tertentu. Harga dan waktu pelaksaan operasi pasar juga perlu diperbaiki," paparnya.
 
Back
Top