Dari satu pohon pisang, kita dapat memanfaatkan seluruh bagiannya untuk berbagai keperluan. Mulai dari ujung daun hingga akar. Namun pernahkah terfikirkan, jika serat pohon pisang ternyata juga bisa diolah menjadi lembaran kain tenun?
Nuzulul Azizah Ramdan Wulandari, adalah pencetus ide mendaur ulang serat pohon pisang lalu mengombinasikannya dengan teknik tenun. Hasilnya, terciptalah kain tenun berbahan serat pohon pisang.
Inspirasi tersebut bermula ketika mahasiswa FK UNAIR ini iseng-iseng membaca jurnal.
“Sebuah jurnal menyebutkan bahwa di Jepang, para dokter menggunakan serat pohon pisang sebagai benang operasi. Dari sini, saya mulai mencari cara bagaimana bisa mengombinasikan serat pohon pisang sehingga bisa dijadikan tenun seperti halnya tenun sutera,” ungkapnya.
Dari pemikiran tersebut, Wulan kemudian berinisiatif untuk berbisnis. Setelah berhasil memperoleh dana Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari DIKTI pada tahun 2014 lalu, Wulan bersama timnya bekerjama mem-branding sebuah usaha Clothing Line yang mereka namai Fibrinana.
Awalnya, Fibrinana hanya memproduksi tas dan sepatu. Namun sekarang, produksi lebih diarahkan pada pakaian berbahan tenun. Menurutnya, bahan olahan serat pohon pisang ini dapat dipadukan dengan bahan-bahan hand woven (anyaman tangan) maupun leather.
Dari serat pepohonan sampai akhirnya bisa menjadi lembaran kain tenun, membutuhkan serangkaian proses pengolahan.
“Bagian pohonnya diserut, kemudian direndam selama beberapa waktu. Setelah itu dikeringkan, lalu diikat perhelainya, ikatan serat-serat ini yang kemudian ditenun,” ungkap penggemar sepatu sutera ini.
Karena berbahan dasar alami, perawatan kain tenun dari serat pohon pisang ini memerlukan sedikit perlakuan khusus. Pakaian tenun produk Fibrinana bisa lebih awet selama dicuci dengan cara manual tanpa mesin cuci.
“Paling aman di-dry clean saja,” tutur perempuan kelahiran Februari 1995 ini.
Saat ini Fibrinana dikelola oleh beberapa tim, antara lain tim tenant yang bekerja saat Fibrinana akan mengikuti pameran dari design hingga properti, tim web development yang bertugas mengelola laman Fibrinana, dan tim IT Division yang bertugas sebagai administrator sekaligus mengelola desain media sosial, desain lookbook, maupun desain brandprofile.
Setiap bulan, bisnis ini mampu meraup omset antara 3-5 juta rupiah. Soal desain, mahasiswa FK UNAIR angkatan tahun 2013 ini melibatkan sejumlah desainer muda, namun tak jarang pula Wulan ikut urun mendesain.
“Pemilihan tergantung tema per-season. Setiap tiga bulan sekali ganti season. Ada yang hanya outer saja, ada yang kombinasi border. Next season, kami mau full colour dengan menggunakan pewarnaan dari alam,” jelasnya.
Untuk satu potong busana tenun, Fibrinana membandrol harga mulai dari 300 ribu hinggs 1 juta rupiah, tergantung pada kombinasi bahan yang digunakan.
“Ada yang kombinasi serat dan anyaman tangan, ada juga yang kombinasi serat dan leather, atau serat dan sutera. Yang paling mahal adalah yang menggunakan bahan serat 100 persen tanpa kombinasi apapun,” ungkapnya.
Saat ini, Fibrinana bekerja sama dengan sejumlah café di Jakarta, sebuah sekolah musik dan rekaman studio di Bandung, beberapa café di Malang dan Surabaya, serta skincare di Surabaya. Sistemnya, ketika menjadi membercard Fibrinana, akan mendapatkan diskon ketika berkunjung ke tempat tersebut.
Sebagai pemula dalam menjalankan bisnis Clothing Line, Wulan tak ragu bersaing. Slogan eco green, recyle, back to nature yang sering digaungkan oleh perusahaan luar negeri rupanya semakin memotivasi Fibrinana untuk mampu bersaing dengan produk luar.
“Masyarakat di Thailand mempunyai kain khas yang terbuat dari serat nanas. Kami pun juga sedang mengembangkan kain dari serat pohon pisang. Dua-duanya sama-sama memanfaatkan bahan limbah menjadi produk bernilai jual tinggi. Pembuatan baju Fibrinana yang berbahan alam ini juga bersifat organik serta dapat membaur bersama tanah ketika sudah tidak dipergunakan,” ungkapnya.
Dari pengamatannya sejauh ini, sebenarnya banyak sekali produk luar negeri yang menggunakan bahan dan tenunan hasil Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Mereka membeli bahan dari Indonesia dengan harga yang murah namun dijual kembali dengan harga jual yang lebih tinggi.
“Mayoritas produk luar hanya mengunggulkan pewarnaan dan paperbag-nya yang menganut budaya tersebut. Sementara Fibrinana mempunyai nilai plus yaitu pemakaian bahan alami, yakni serat pohon pisang. Sementara di Indonesia, kompetitor yang bermain dengan bahan dasar alam masih terbatas. Maka dari itu peluang besar Fibrinana untuk menguasai market tersebut,” jelasnya.
Sampai Ke Praha
Sejak dua tahun berdiri, busana tenun Fibrinana telah banyak menerima pesanan dari berbagai wilayah di Indonesia hingga luar negeri, seperti Jakarta, Surabaya, hingga Praha. Wulan sendiri bahkan pernah diundang mengisi beberapa acara talk show inspiratif, dan meraih Top 5 Enterpreneur by Madeinkampus. Bukan hanya itu, Wulan juga berkesempatan featuring dengan designer busana asal Singapura.
Merasa bisnis Clothing Line Fibrinana masih seumur jagung, Wulan tak memungkiri jika perjalanan bisnisnya masih terkendala banyak hal. Khususnya, dalam hal membagi waktu antara kuliah dan bisnis.
“Menggeluti bisnis sambil kuliah memang tidak mudah. Namun saya menyadari harus kembali ke harfiah sebagai mahasiswa FK UNAIR. Saya ingat dengan pesan orang tua, bahwa profesimu kelak sebagai ladang ibadah dan profesi sosial dimana tidak terlalu melihat keuntungan pribadi, namun kamu harus mempunyai bisnis untuk mendukung income kelak,”ungkapnya.
Ke depan, Wulan berharap Fibrinana berkembang lebih luas dan semakin menemukan peminatnya. Selain dapat bekerjasama dengan banyak fresh designer, Wulan berharap Fibrinana memiliki store sendiri yang berlokasi di Surabaya. Ia juga berharap Fibrinana menjadi brand lokal FK UNAIR. Wulan bahkan bertekad, kelak kain tenun berbahan serat pohon pisang miliknya dapat menjadi kain nasional yang mewakili Indonesia setelah kain batik.
“Semoga Fibrinana dapat berekspansi ke beberapa kota wisata, seperti Yogyakarta dan Bali. Karena di Yogya, produk lokal lebih dihargai, sementara di Bali para turis dikenal amat menggemari produk-produk berkonsep back to nature,” ungkapnya.
Nuzulul Azizah Ramdan Wulandari, adalah pencetus ide mendaur ulang serat pohon pisang lalu mengombinasikannya dengan teknik tenun. Hasilnya, terciptalah kain tenun berbahan serat pohon pisang.
Inspirasi tersebut bermula ketika mahasiswa FK UNAIR ini iseng-iseng membaca jurnal.
“Sebuah jurnal menyebutkan bahwa di Jepang, para dokter menggunakan serat pohon pisang sebagai benang operasi. Dari sini, saya mulai mencari cara bagaimana bisa mengombinasikan serat pohon pisang sehingga bisa dijadikan tenun seperti halnya tenun sutera,” ungkapnya.
Dari pemikiran tersebut, Wulan kemudian berinisiatif untuk berbisnis. Setelah berhasil memperoleh dana Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari DIKTI pada tahun 2014 lalu, Wulan bersama timnya bekerjama mem-branding sebuah usaha Clothing Line yang mereka namai Fibrinana.
Awalnya, Fibrinana hanya memproduksi tas dan sepatu. Namun sekarang, produksi lebih diarahkan pada pakaian berbahan tenun. Menurutnya, bahan olahan serat pohon pisang ini dapat dipadukan dengan bahan-bahan hand woven (anyaman tangan) maupun leather.
Dari serat pepohonan sampai akhirnya bisa menjadi lembaran kain tenun, membutuhkan serangkaian proses pengolahan.
“Bagian pohonnya diserut, kemudian direndam selama beberapa waktu. Setelah itu dikeringkan, lalu diikat perhelainya, ikatan serat-serat ini yang kemudian ditenun,” ungkap penggemar sepatu sutera ini.
Karena berbahan dasar alami, perawatan kain tenun dari serat pohon pisang ini memerlukan sedikit perlakuan khusus. Pakaian tenun produk Fibrinana bisa lebih awet selama dicuci dengan cara manual tanpa mesin cuci.
“Paling aman di-dry clean saja,” tutur perempuan kelahiran Februari 1995 ini.
Saat ini Fibrinana dikelola oleh beberapa tim, antara lain tim tenant yang bekerja saat Fibrinana akan mengikuti pameran dari design hingga properti, tim web development yang bertugas mengelola laman Fibrinana, dan tim IT Division yang bertugas sebagai administrator sekaligus mengelola desain media sosial, desain lookbook, maupun desain brandprofile.
Setiap bulan, bisnis ini mampu meraup omset antara 3-5 juta rupiah. Soal desain, mahasiswa FK UNAIR angkatan tahun 2013 ini melibatkan sejumlah desainer muda, namun tak jarang pula Wulan ikut urun mendesain.
“Pemilihan tergantung tema per-season. Setiap tiga bulan sekali ganti season. Ada yang hanya outer saja, ada yang kombinasi border. Next season, kami mau full colour dengan menggunakan pewarnaan dari alam,” jelasnya.
Untuk satu potong busana tenun, Fibrinana membandrol harga mulai dari 300 ribu hinggs 1 juta rupiah, tergantung pada kombinasi bahan yang digunakan.
“Ada yang kombinasi serat dan anyaman tangan, ada juga yang kombinasi serat dan leather, atau serat dan sutera. Yang paling mahal adalah yang menggunakan bahan serat 100 persen tanpa kombinasi apapun,” ungkapnya.
Saat ini, Fibrinana bekerja sama dengan sejumlah café di Jakarta, sebuah sekolah musik dan rekaman studio di Bandung, beberapa café di Malang dan Surabaya, serta skincare di Surabaya. Sistemnya, ketika menjadi membercard Fibrinana, akan mendapatkan diskon ketika berkunjung ke tempat tersebut.
Sebagai pemula dalam menjalankan bisnis Clothing Line, Wulan tak ragu bersaing. Slogan eco green, recyle, back to nature yang sering digaungkan oleh perusahaan luar negeri rupanya semakin memotivasi Fibrinana untuk mampu bersaing dengan produk luar.
“Masyarakat di Thailand mempunyai kain khas yang terbuat dari serat nanas. Kami pun juga sedang mengembangkan kain dari serat pohon pisang. Dua-duanya sama-sama memanfaatkan bahan limbah menjadi produk bernilai jual tinggi. Pembuatan baju Fibrinana yang berbahan alam ini juga bersifat organik serta dapat membaur bersama tanah ketika sudah tidak dipergunakan,” ungkapnya.
Dari pengamatannya sejauh ini, sebenarnya banyak sekali produk luar negeri yang menggunakan bahan dan tenunan hasil Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Mereka membeli bahan dari Indonesia dengan harga yang murah namun dijual kembali dengan harga jual yang lebih tinggi.
“Mayoritas produk luar hanya mengunggulkan pewarnaan dan paperbag-nya yang menganut budaya tersebut. Sementara Fibrinana mempunyai nilai plus yaitu pemakaian bahan alami, yakni serat pohon pisang. Sementara di Indonesia, kompetitor yang bermain dengan bahan dasar alam masih terbatas. Maka dari itu peluang besar Fibrinana untuk menguasai market tersebut,” jelasnya.
Sampai Ke Praha
Sejak dua tahun berdiri, busana tenun Fibrinana telah banyak menerima pesanan dari berbagai wilayah di Indonesia hingga luar negeri, seperti Jakarta, Surabaya, hingga Praha. Wulan sendiri bahkan pernah diundang mengisi beberapa acara talk show inspiratif, dan meraih Top 5 Enterpreneur by Madeinkampus. Bukan hanya itu, Wulan juga berkesempatan featuring dengan designer busana asal Singapura.
Merasa bisnis Clothing Line Fibrinana masih seumur jagung, Wulan tak memungkiri jika perjalanan bisnisnya masih terkendala banyak hal. Khususnya, dalam hal membagi waktu antara kuliah dan bisnis.
“Menggeluti bisnis sambil kuliah memang tidak mudah. Namun saya menyadari harus kembali ke harfiah sebagai mahasiswa FK UNAIR. Saya ingat dengan pesan orang tua, bahwa profesimu kelak sebagai ladang ibadah dan profesi sosial dimana tidak terlalu melihat keuntungan pribadi, namun kamu harus mempunyai bisnis untuk mendukung income kelak,”ungkapnya.
Ke depan, Wulan berharap Fibrinana berkembang lebih luas dan semakin menemukan peminatnya. Selain dapat bekerjasama dengan banyak fresh designer, Wulan berharap Fibrinana memiliki store sendiri yang berlokasi di Surabaya. Ia juga berharap Fibrinana menjadi brand lokal FK UNAIR. Wulan bahkan bertekad, kelak kain tenun berbahan serat pohon pisang miliknya dapat menjadi kain nasional yang mewakili Indonesia setelah kain batik.
“Semoga Fibrinana dapat berekspansi ke beberapa kota wisata, seperti Yogyakarta dan Bali. Karena di Yogya, produk lokal lebih dihargai, sementara di Bali para turis dikenal amat menggemari produk-produk berkonsep back to nature,” ungkapnya.