spirit
Mod
Sebelumnya, telah terjadi berbagai insiden maut serupa
Antrean massa berebut sedekah kembali memakan korban jiwa dan luka-luka. Ironisnya, tragedi ini terjadi di Istana Negara, Jakarta, di acara open house Idul Fitri Presiden Yudhoyono.
Jumat, 10 September 2010, di tengah ribuan orang yang berdesak-desakan seorang tunanetra asal Garut, Joni Malela (45), tewas di lokasi. Selain Joni, 11 lainnya pingsan dan puluhan lainnya luka-luka.
Diduga kuat, insiden ini dipicu beredarnya kabar bakal adanya pembagian uang Rp300 ribu bagi mereka yang bersalaman dengan Presiden SBY. Tak jelas dari mana asalnya, tapi pada acara serupa tahun lalu warga memang diberi uang Rp250 ribu. Hal itu dijadikan acuan warga untuk kembali berbondong-bondong ke Istana.
"Saya dapat kabar katanya akan dikasih Rp300 ribu, makanya saya datang," kata Rina, seorang warga yang telah mengantre sejak pagi.
Pada open house kali ini, yang direncanakan akan diberi uang adalah para penyandang cacat. Besarnya Rp100 ribu. Adapun warga lainnya hanya memperoleh snack.
Tapi kabar bakal ada pembagian uang Rp300 ribu terlanjur menyebar. Akibatnya, ribuan warga sudah mengular sejak pukul 09.00 WIB di pintu gerbang Istana Negara di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat.
Meski pihak Istana membantah adanya pembagian uang Rp300 ribu itu, seperti dikemukakan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrien Pasha, warga tetap bergeming.
Kemarahan warga yang sudah antre sejak pagi, kepanasan, dan kelelahan, akhirnya tak terbendung. Massa mulai saling dorong dan berteriak-teriak emosional ketika sampai pukul 14.30 WIB, gerbang belum juga dibuka. Di pintu gerbang, warga adu kekuatan dengan Pasukan Pengamanan Presiden. Sementara itu, mereka mendengar kabar pengunjung open house dibatasi hanya 1.200 orang saja. Massa pun panik.
Joni Malela
Di hari Lebaran yang naas itu, Joni Malela bersama Euis (38), istrinya yang juga tuna netra, berangkat naik angkot dari rumah kontrakan mereka di Parung, Depok. Mereka berangan-angan bisa bersalaman dengan Presiden dan mendapat uang sedekah Rp100 ribu. "Tadinya mau dibawa pulang mudik," kata Euis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Euis mengisahkan, pukul 10.00 mereka tiba di Istana Negara. Saat mereka tiba, sudah terjadi dorong-mendorong. Karena kelelahan mengantre dan kehausan, Joni minta istirahat. Tapi, ia mendadak pingsan. Euis yang kebingungan lalu menangis dan berteriak minta tolong. Joni segera dilarikan ke pos Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang ada di dekat situ. Namun malang, nyawanya tak dapat diselamatkan.
"Suami saya kedorong-dorong orang. Saya heran, tahun lalu aman, kok," kata Euis.
Menurut Theresia Indah Susanti, petugas Dinas Kesehatan DKI yang bertugas di lokasi, Joni terhimpit di tengah ribuan warga yang merangsek ingin masuk Istana. Lantaran sesak napas, Joni sebenarnya sudah ingin keluar antrean. Tapi karena terjepit di tengah massa yang beringas, dia sesak napas, jatuh pingsan, lalu terinjak-injak. Petugas sempat memberinya bantuan pernapasan selama sekitar 10 menit. Namun, nyawanya tak tertolong.
Tapi hal itu buru-buru dibantah Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih. Menurutnya, dari hasil pemeriksaan jenazah, kematian Joni bukan karena diinjak-injak. "Sudah dilakukan pemeriksaan luar dan tidak dijumpai ada tanda-tanda kekerasan atau diinjak-injak," kata Menkes di RSCM. Selengkapnya baca di sini.
Kepada Euis, kata Kepala Biro Pers dan Media Kepresidenan DJ Nachrowi, Presiden SBY memberi dana santunan sebesar Rp10 juta.
Selain Joni, ada puluhan lain yang terluka, dan setidaknya 11 warga pingsan di tempat. Salah satunya adalah Yanti yang jatuh pingsan di tengah antrean akibat sesak napas. Namun, untunglah, nyawanya masih tertolong dan kini dirawat di RSUD Tarakan.
Bukan kali pertama
Malapetaka semacam ini sebetulnya bukan yang kali pertama terjadi. Sebelumnya telah terjadi sejumlah insiden serupa.
Salah satunya terjadi di acara open house Lebaran Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, 21 September tahun lalu. Ketika itu, di Balai Kota, Fauzi membagi-bagi sembako senilai Rp50 ribu dan uang tunai Rp40 ribu. Hasilnya: puluhan orang terinjak-injak, belasan pingsan, dan dua terluka serius sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Kapok, tahun ini Fauzi menggelar acara open house yang tertutup untuk masyarakat umum. Beritanya baca di sini.
Dua tahun lalu, 15 September, malapetaka yang lebih tragis terjadi di halaman rumah Haji Syaikhoni, di Gang Pepaya, Jl. dr Wahidin, Pasuruan, Jawa Timur. Lautan massa yang berebut zakat dan sembako senilai Rp30 ribu, tak dapat dikendalikan. Akhirnya, 21 warga tewas dan 16 lainnya luka berat dan ringan.
Gara-gara ini, putra kedua Haji Syaikhoni, Faruk, ditahan polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Dia dijerat Pasal 359 KUHP soal berbuat alpa hingga menyebabkan orang meninggal dunia dengan ancaman lima tahun kurungan. Selengkapnya klik di sini.
Lebih ke belakang lagi, insiden maut semacam itu juga terjadi pada 7 November 2003. Pembagian zakat di rumah Habib Ismet Al Habsyi, Pasar Minggu, Jakarta mengakibatkan tiga orang tewas, dua koma, dan puluhan lain luka-luka. (kd)
• VIVAnews
![96003antreanopenhousesb.jpg](http://img715.imageshack.us/img715/5848/96003antreanopenhousesb.jpg)
Antrean massa berebut sedekah kembali memakan korban jiwa dan luka-luka. Ironisnya, tragedi ini terjadi di Istana Negara, Jakarta, di acara open house Idul Fitri Presiden Yudhoyono.
Jumat, 10 September 2010, di tengah ribuan orang yang berdesak-desakan seorang tunanetra asal Garut, Joni Malela (45), tewas di lokasi. Selain Joni, 11 lainnya pingsan dan puluhan lainnya luka-luka.
Diduga kuat, insiden ini dipicu beredarnya kabar bakal adanya pembagian uang Rp300 ribu bagi mereka yang bersalaman dengan Presiden SBY. Tak jelas dari mana asalnya, tapi pada acara serupa tahun lalu warga memang diberi uang Rp250 ribu. Hal itu dijadikan acuan warga untuk kembali berbondong-bondong ke Istana.
"Saya dapat kabar katanya akan dikasih Rp300 ribu, makanya saya datang," kata Rina, seorang warga yang telah mengantre sejak pagi.
Pada open house kali ini, yang direncanakan akan diberi uang adalah para penyandang cacat. Besarnya Rp100 ribu. Adapun warga lainnya hanya memperoleh snack.
Tapi kabar bakal ada pembagian uang Rp300 ribu terlanjur menyebar. Akibatnya, ribuan warga sudah mengular sejak pukul 09.00 WIB di pintu gerbang Istana Negara di Jalan Majapahit, Jakarta Pusat.
Meski pihak Istana membantah adanya pembagian uang Rp300 ribu itu, seperti dikemukakan Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrien Pasha, warga tetap bergeming.
Kemarahan warga yang sudah antre sejak pagi, kepanasan, dan kelelahan, akhirnya tak terbendung. Massa mulai saling dorong dan berteriak-teriak emosional ketika sampai pukul 14.30 WIB, gerbang belum juga dibuka. Di pintu gerbang, warga adu kekuatan dengan Pasukan Pengamanan Presiden. Sementara itu, mereka mendengar kabar pengunjung open house dibatasi hanya 1.200 orang saja. Massa pun panik.
Joni Malela
Di hari Lebaran yang naas itu, Joni Malela bersama Euis (38), istrinya yang juga tuna netra, berangkat naik angkot dari rumah kontrakan mereka di Parung, Depok. Mereka berangan-angan bisa bersalaman dengan Presiden dan mendapat uang sedekah Rp100 ribu. "Tadinya mau dibawa pulang mudik," kata Euis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Euis mengisahkan, pukul 10.00 mereka tiba di Istana Negara. Saat mereka tiba, sudah terjadi dorong-mendorong. Karena kelelahan mengantre dan kehausan, Joni minta istirahat. Tapi, ia mendadak pingsan. Euis yang kebingungan lalu menangis dan berteriak minta tolong. Joni segera dilarikan ke pos Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang ada di dekat situ. Namun malang, nyawanya tak dapat diselamatkan.
"Suami saya kedorong-dorong orang. Saya heran, tahun lalu aman, kok," kata Euis.
Menurut Theresia Indah Susanti, petugas Dinas Kesehatan DKI yang bertugas di lokasi, Joni terhimpit di tengah ribuan warga yang merangsek ingin masuk Istana. Lantaran sesak napas, Joni sebenarnya sudah ingin keluar antrean. Tapi karena terjepit di tengah massa yang beringas, dia sesak napas, jatuh pingsan, lalu terinjak-injak. Petugas sempat memberinya bantuan pernapasan selama sekitar 10 menit. Namun, nyawanya tak tertolong.
Tapi hal itu buru-buru dibantah Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih. Menurutnya, dari hasil pemeriksaan jenazah, kematian Joni bukan karena diinjak-injak. "Sudah dilakukan pemeriksaan luar dan tidak dijumpai ada tanda-tanda kekerasan atau diinjak-injak," kata Menkes di RSCM. Selengkapnya baca di sini.
Kepada Euis, kata Kepala Biro Pers dan Media Kepresidenan DJ Nachrowi, Presiden SBY memberi dana santunan sebesar Rp10 juta.
Selain Joni, ada puluhan lain yang terluka, dan setidaknya 11 warga pingsan di tempat. Salah satunya adalah Yanti yang jatuh pingsan di tengah antrean akibat sesak napas. Namun, untunglah, nyawanya masih tertolong dan kini dirawat di RSUD Tarakan.
Bukan kali pertama
Malapetaka semacam ini sebetulnya bukan yang kali pertama terjadi. Sebelumnya telah terjadi sejumlah insiden serupa.
Salah satunya terjadi di acara open house Lebaran Gubernur Jakarta Fauzi Bowo, 21 September tahun lalu. Ketika itu, di Balai Kota, Fauzi membagi-bagi sembako senilai Rp50 ribu dan uang tunai Rp40 ribu. Hasilnya: puluhan orang terinjak-injak, belasan pingsan, dan dua terluka serius sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Kapok, tahun ini Fauzi menggelar acara open house yang tertutup untuk masyarakat umum. Beritanya baca di sini.
Dua tahun lalu, 15 September, malapetaka yang lebih tragis terjadi di halaman rumah Haji Syaikhoni, di Gang Pepaya, Jl. dr Wahidin, Pasuruan, Jawa Timur. Lautan massa yang berebut zakat dan sembako senilai Rp30 ribu, tak dapat dikendalikan. Akhirnya, 21 warga tewas dan 16 lainnya luka berat dan ringan.
Gara-gara ini, putra kedua Haji Syaikhoni, Faruk, ditahan polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Dia dijerat Pasal 359 KUHP soal berbuat alpa hingga menyebabkan orang meninggal dunia dengan ancaman lima tahun kurungan. Selengkapnya klik di sini.
Lebih ke belakang lagi, insiden maut semacam itu juga terjadi pada 7 November 2003. Pembagian zakat di rumah Habib Ismet Al Habsyi, Pasar Minggu, Jakarta mengakibatkan tiga orang tewas, dua koma, dan puluhan lain luka-luka. (kd)
• VIVAnews