Aku menyesal karena telah berjanji kepada Ny. Saunders, koordinator bazar Natal tahunan. "Bersediakah kamu menyumbang sebuah door prize tahunan, sayang? Mungkin salah satu dari pohon Natalmu yang terkenal," ia membujuk dengan mata bersinar. "Kami berharap dapat menghasilkan banyak uang untuk pementasan Santa Klaus bagi keluarga-keluarga yang berkekurangan. Kamu tahu, tak ada yang lebih menarik daripada sebuah door prize yang luar biasa untuk menarik para pembelanja datang ke sebuah bazar," katanya.
Tiga bulan sebelumnya, permintaan Ny. Saunders yang sederhana mungkin tidaklah terlalu merepotkan. Karena kini waktunya hanya tinggal tiga minggu, tugas yang belum terlaksana itu sekarang menggantung di atas kepalaku seperti dahan beku yang rapuh dan memberatkan.
Sebetulnya, aku bukan orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Namun saat itu aku sedang menanti datangnya ilham. Aku ingin membuat sebuah karya yang benar-benar istimewa dan bermakna. Aku tidak ingin membuat dekorasi dengan aksentuasi yang biasa-biasa saja dan hanya akan berakhir di tempat penjualan barang bekas pada musim panas di tempat seseorang.
Jadi, pada sore hari menjelang bazar malam itu, aku duduk di meja dapurku dengan perasaan yang berat di dadaku. Aku memandang kosong ke beberapa objek, antara lain pohon Natal artifisial setinggi empat kaki, tiga dus lampu kelap-kelip, sebuah dus bekas sepatu berisi hiasan-hiasan yang gemerlapan, satu gelondong pita, dan lem. Ilham tetap belum muncul di benakku.
Kemudian, aku merangkak di loteng kami yang berdebu. Aku sedang mencari sesuatu di antara tumpukan dus sambil berdoa untuk secepatnya memperoleh ilham. Kutarik dua dus berisi barang-barang yang mungkin dapat menjadi sesuatu yang berharga nantinya. Kemudian, aku kembali ke dapur dengan susah payah.
Saat aku memutar kaset Natal, aku berharap musik Natal bisa menciptakan kemeriahan dalam hatiku. Tak lama kemudian, aku menyanyikan kata-kata yang terkenal, "Joy to the world, the Lord is come; let Earth receive her King," (Hai dunia gembiralah, dan sambut Rajamu, di hatimu terimalah ...), ketika aku membongkar isi dus dengan label BONEKA-BONEKA TUA - JANGAN DIBUANG. Kulihat tumpukan boneka kecil beraneka warna. Boneka-boneka itu kubeli di pasar loak di pinggir jalan beberapa tahun lalu ketika aku sedang berlibur. Apa yang membuatku tertarik untuk membeli boneka-boneka itu? Boneka-boneka itu dibungkus untuk disimpan, kemudian dilupakan sama sekali. Pakaiannya tergeletak secara acak di hadapanku. Kemudian, kuambil sebuah boneka Jepang berpakaian kimono yang berwarna biru cerah; sebuah keluarga pribumi Amerika lengkap dengan tenda orang Indian yang terbuat dari kulit binatang berwarna coklat; sebuah boneka "Miss Liberty" yang dihiasi bendera merah, putih, dan biru; boneka empat sekawan yang mengenakan pakaian Skandinavia.
Tiba-tiba, sesuatu yang jauh di dalam diriku meneriakkan sebuah jalan keluar, yakni: buatlah sebuah pohon "Joy to the World" ("Hai Dunia Gembiralah")! Dengan penuh kegembiraan, kuikatkan boneka-boneka itu ke dahan-dahan pohon cemara satu per satu. Dahan-dahan itu melengkung keberatan karena banyaknya beban boneka. Beberapa dari bagian tubuh boneka-boneka malah putus. Dengan seksama, aku menggunakan penjepit dan karet gelang untuk menyambung kembali lengan dan kaki boneka-boneka itu. Ketika aku sedang mengikat kembali anggota badan boneka-boneka itu, tiba-tiba aku merasakan suatu hubungan persaudaraan dengan semua wanita dari segala bangsa. Apa yang sedang kukerjakan membuatku sadar bahwa ada banyak wanita di dunia yang seperti aku. Mereka membutuhkan cinta sang Juruselamat Natal untuk menyatukan diri mereka. Saat itu, temanku, Betty, datang untuk melihat hasil karyaku. Tanpa kami sadari, kami berdua sibuk menghias pohon itu dengan penuh kegembiraan. "Bagaimana kalau kita memakai bunga-bunga yang dikeringkan ini?" Betty mengusulkan sambil menunjuk pada ikatan bunga-bunga yang telah dikeringkan dan bunga mawar berwarna merah jambu yang menggantung dari balok langit-langit dapur. Kemudian, kami menambahkan pita dan renda yang digunting kecil-kecil. Selain itu, kami menggantungkan hiasan-hiasan permata kuno pada setiap dahan.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan tempat kosong di tengah-tengah itu?" Betty bertanya. "Kita sudah kehabisan boneka". Kami menelusuri seluruh rumah sampai kami menemukan sesuatu yang cocok untuk dipasang. Akhirnya, kami memakai sebuah bola dunia yang ada di meja kerjaku. Bola dunia itu ditutup dengan lengkungan beludru yang diambil dari kalungan bunga yang menggantung di atas perapian. Kami mundur dan mengamati hasil karya kami dengan tersenyum. "Itu adalah pohon yang paling cantik yang pernah kulihat," Betty menyimpulkan. Aku harus menyetujuinya. Tetapi, aku mempunyai perasaan kuat bahwa yang menghias seluruh pohon itu bukan hanya kami.
Keesokan harinya, kumasukkan pohon "Joy to the World" ke dalam mobilku dengan hati-hati. Secara spontan, aku segera kembali ke dalam rumah dan menyambar segulung kabel tambahan, sebuah tape recorder yang bisa di bawa, dan kaset "Joy to the World". Ketika aku tiba di bazar, semua orang larut dalam suasana kegembiraan hari raya. Seorang wanita berjalan santai dari biliknya. Ia menjual kaos kaki panjang dengan seni tambalan. Wanita itu menyentuh boneka-boneka dari semua negara secara lembut. "Saya mau memesan satu dari pohon-pohon ini untuk cucuku di Jerman," dia memberi tahu.
Lalu, wanita yang menjual roti jahe bergabung dalam pembicaraan kami. "Saya membeli tiga karcis untuk bazar," ia bergurau. "Saya akan pulang dan membawa pohon ini." "Pohon ini akan mencuri perhatian," Ny. Saunders mulai bicara. "Jika tersebar berita tentang karcis berhadiah yang kita sediakan, kita tidak akan bisa membayangkan berapa banyak uang yang akan kita peroleh. Kita pasti akan melampaui rekor orang yang hadir dan mencapai ribuan." Tak lama kemudian, ruangan dipenuhi oleh para pembeli yang terus mengalir. Sepanjang hari, pohon yang kami buat menjadi pusat perhatian para pengunjung yang menginginkannya.
Beberapa menit sebelum jadwal penarikan undian, seorang wanita bertubuh kecil menukarkan 50 sen untuk sebuah karcis. Wanita itu kelihatan lelah dan memakai mantel kelabu yang kumal. Rambutnya dikepang dengan rapi. Rambut itu dikonde kuat-kuat sehingga membentuk sebuah konde kuno. Konde itu membatasi wajah yang bersih dari apa pun, kecuali rona suatu kemantapan.
"Kami datang ke kota untuk membeli makanan ternak dan aku membujuk suamiku agar berhenti di sini," katanya. "Aku mempunyai sedikit sisa uang untuk berbelanja. Tetapi, ia meyakinkanku bahwa tak banyak yang bisa kubeli di tempat mahal seperti ini." Wanita itu mengagumi beberapa barang, di antaranya boneka malaikat yang terbuat dari kain sutera yang mengkilap, agar-agar buatan sendiri, dan kue yang terbuat dari buah dan dipanggang. Kue itu menyerupai rangkaian bunga berbentuk lingkaran untuk hari Natal. Tangannya yang kasar dan berlekuk-lekuk mengambil kue kepingan salju yang dirajut rumit seperti jaringan laba-laba. "Coba lihat ini," katanya. "Suatu hari nanti, aku akan mempunyai pohon Natal dan akan memenuhinya dengan ini semua."
Ketika ia mendekati bilikku, ia berseru, "Pohon itu ... boneka- bonekanya! Sepanjang hidupku, aku menginginkan sebuah boneka yang cantik. Apakah seseorang akan memenangkan semua boneka itu?" Ia bertanya dengan pandangan mata seperti orang bermimpi. Aku memperdengarkan lagu "Joy to the World" dan suaranya memenuhi ruangan. "Paduan suara ini menyanyikan lagu itu sampai ke gereja," katanya. "Ini selalu mengingatkanku tentang orang-orang di seberang laut seperti yang diceritakan oleh wanita misionaris itu."
Semua mata sekarang tertuju pada orang yang akan segera memenangkan nomor untuk undian karcis berhadiah. Dari mana-mana, kudengar bisikan: "Jangan lupa, pohon itu milikku ... Tidak, itu milikku .... Itu untuk cucu-cucuku yang akan datang pada Natal ...." Tetapi, wanita yang sangat kecil itu tidak pernah melepaskan pandangannya dari pohon itu. "Cucuku laki-laki, Jake, ia tinggal hanya satu teriakan jauhnya dari tempat kami," ia bercerita kepadaku. Ia sangat pandai dalam mempelajari buku. Bayangkan, ia dapat menyebut semua negara yang ada di bola dunia itu."
Lalu, terdengarlah pengumuman yang sudah lama dinanti-nantikan: "Hadiah untuk undian karcis berhadiah jatuh pada nomor 1153!" Aku memandang tangan kasar yang berlekuk-lekuk. Ia memegang karcis yang memenangkan hadiah dan kuremas pundaknya yang kurus. "Ibu memenangkan pohon itu! Ibu memenangkan pohon itu!" aku berteriak. "Maksud kamu karcisku? Aku belum pernah mendapat sesuatu yang indah seperti ini." Air mata mengalir di pipinya yang keriput. Aku mematikan lampu-lampu dan tape recorder. Lalu, aku menggulung kabel tambahannya. "Apakah aku juga mendapat kotak musik dan kabel yang panjang itu?" tanyanya. "Aku akan meletakkan pohon itu di alat pemutar dan kami hanya mempunyai satu stop kontak di ruangan. Aku pasti memerlukan kabel tambahan itu."
"Tentu saja ... ini adalah Natal," jawabku ketika kubawa pohon itu ke luar dan kuberikan kepadanya. Setelah itu, sebuah truk pick up kuning yang karatan maju ke depan. Kemudian, seorang pria yang memakai pakaian kerja, kemeja flanel kotak-kotak, dan sebuah topi bertuliskan "I love Kentucky" melompat ke luar. "Sadie, apa yang kau peroleh?" ia berteriak dengan senyuman dan memperlihatkan sebuah gigi yang ompong. "Pa, aku memenangkan hadiah! Aku memenangkan pohon ini!"
Pria itu segera mengatur barang-barang yang ada di mobilnya, antara lain cangkul, rantai roda, dan berkantung-kantung pakan ternak. Ia berusaha menyediakan tempat untuk pohon itu di lantai truknya. Ia menarik pisau sakunya dan memotong dua kantung pakan ternak yang kosong untuk menutupi pohon itu. Kemudian, ia mengikatnya dengan tali timba. "Percayakah Anda?" seorang penonton terperangah. "Mereka membawa pergi pohon yang indah itu dengan truk tua yang usang. Untuk apa mereka memerlukan pohon semacam itu?"
Aku melambaikan selamat berpisah ketika truk yang bersuara bising itu menghilang ke langit malam yang berwarna ungu. Di mata hatiku, aku dapat melihat pohon itu diberi tempat terhormat di jendela sebuah pondok yang sederhana, dengan cahaya yang temaram, dan di tengah-tengah pegunungan Appalachian. Menurutku, rakyat yang tinggal di daerah itu termasuk orang-orang yang bahagia. Mereka bukan penjelajah dunia tetapi pekerja keras. Pada Desember yang dingin, asap hitam sepertinya akan bergulung-gulung keluar dari cerobong asap mereka ke udara bila mereka sekeluarga berkumpul di sekeliling pohon. "Lihat Nek, Jepang ada di sini," Jake kemungkinan akan berkata sambil menunjuk ke bola dunia yang pernah terletak di meja kerjaku. Sadie masih terpukau pada kabel tambahan itu. Ia akan memasang stop kontak lampu-lampu yang berkelap-kelip dan kotak musiknya.
Meskipun demikian, aku tetap yakin bahwa akulah pemenang yang sesungguhnya pada bazar Natal itu. Bazar ini merupakan suatu tradisi yang sudah berlangsung lama di Amerika. Aku menemukan kembali panggilan hati bagi orang-orang percaya di setiap tempat. Aku tak pernah melihat Sadie lagi. Tetapi, aku tak akan pernah melupakan pelajaran yang diberikannya kepadaku. Intinya, tidak peduli adanya perbedaan geografis atau status sosial, kita semua adalah kabel tambahan dari Tuhan. Kita membawa cahaya dan lagu-Nya ke tempat-tempat yang gelap dan kosong di dunia.
Tiga bulan sebelumnya, permintaan Ny. Saunders yang sederhana mungkin tidaklah terlalu merepotkan. Karena kini waktunya hanya tinggal tiga minggu, tugas yang belum terlaksana itu sekarang menggantung di atas kepalaku seperti dahan beku yang rapuh dan memberatkan.
Sebetulnya, aku bukan orang yang suka menunda-nunda pekerjaan. Namun saat itu aku sedang menanti datangnya ilham. Aku ingin membuat sebuah karya yang benar-benar istimewa dan bermakna. Aku tidak ingin membuat dekorasi dengan aksentuasi yang biasa-biasa saja dan hanya akan berakhir di tempat penjualan barang bekas pada musim panas di tempat seseorang.
Jadi, pada sore hari menjelang bazar malam itu, aku duduk di meja dapurku dengan perasaan yang berat di dadaku. Aku memandang kosong ke beberapa objek, antara lain pohon Natal artifisial setinggi empat kaki, tiga dus lampu kelap-kelip, sebuah dus bekas sepatu berisi hiasan-hiasan yang gemerlapan, satu gelondong pita, dan lem. Ilham tetap belum muncul di benakku.
Kemudian, aku merangkak di loteng kami yang berdebu. Aku sedang mencari sesuatu di antara tumpukan dus sambil berdoa untuk secepatnya memperoleh ilham. Kutarik dua dus berisi barang-barang yang mungkin dapat menjadi sesuatu yang berharga nantinya. Kemudian, aku kembali ke dapur dengan susah payah.
Saat aku memutar kaset Natal, aku berharap musik Natal bisa menciptakan kemeriahan dalam hatiku. Tak lama kemudian, aku menyanyikan kata-kata yang terkenal, "Joy to the world, the Lord is come; let Earth receive her King," (Hai dunia gembiralah, dan sambut Rajamu, di hatimu terimalah ...), ketika aku membongkar isi dus dengan label BONEKA-BONEKA TUA - JANGAN DIBUANG. Kulihat tumpukan boneka kecil beraneka warna. Boneka-boneka itu kubeli di pasar loak di pinggir jalan beberapa tahun lalu ketika aku sedang berlibur. Apa yang membuatku tertarik untuk membeli boneka-boneka itu? Boneka-boneka itu dibungkus untuk disimpan, kemudian dilupakan sama sekali. Pakaiannya tergeletak secara acak di hadapanku. Kemudian, kuambil sebuah boneka Jepang berpakaian kimono yang berwarna biru cerah; sebuah keluarga pribumi Amerika lengkap dengan tenda orang Indian yang terbuat dari kulit binatang berwarna coklat; sebuah boneka "Miss Liberty" yang dihiasi bendera merah, putih, dan biru; boneka empat sekawan yang mengenakan pakaian Skandinavia.
Tiba-tiba, sesuatu yang jauh di dalam diriku meneriakkan sebuah jalan keluar, yakni: buatlah sebuah pohon "Joy to the World" ("Hai Dunia Gembiralah")! Dengan penuh kegembiraan, kuikatkan boneka-boneka itu ke dahan-dahan pohon cemara satu per satu. Dahan-dahan itu melengkung keberatan karena banyaknya beban boneka. Beberapa dari bagian tubuh boneka-boneka malah putus. Dengan seksama, aku menggunakan penjepit dan karet gelang untuk menyambung kembali lengan dan kaki boneka-boneka itu. Ketika aku sedang mengikat kembali anggota badan boneka-boneka itu, tiba-tiba aku merasakan suatu hubungan persaudaraan dengan semua wanita dari segala bangsa. Apa yang sedang kukerjakan membuatku sadar bahwa ada banyak wanita di dunia yang seperti aku. Mereka membutuhkan cinta sang Juruselamat Natal untuk menyatukan diri mereka. Saat itu, temanku, Betty, datang untuk melihat hasil karyaku. Tanpa kami sadari, kami berdua sibuk menghias pohon itu dengan penuh kegembiraan. "Bagaimana kalau kita memakai bunga-bunga yang dikeringkan ini?" Betty mengusulkan sambil menunjuk pada ikatan bunga-bunga yang telah dikeringkan dan bunga mawar berwarna merah jambu yang menggantung dari balok langit-langit dapur. Kemudian, kami menambahkan pita dan renda yang digunting kecil-kecil. Selain itu, kami menggantungkan hiasan-hiasan permata kuno pada setiap dahan.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan tempat kosong di tengah-tengah itu?" Betty bertanya. "Kita sudah kehabisan boneka". Kami menelusuri seluruh rumah sampai kami menemukan sesuatu yang cocok untuk dipasang. Akhirnya, kami memakai sebuah bola dunia yang ada di meja kerjaku. Bola dunia itu ditutup dengan lengkungan beludru yang diambil dari kalungan bunga yang menggantung di atas perapian. Kami mundur dan mengamati hasil karya kami dengan tersenyum. "Itu adalah pohon yang paling cantik yang pernah kulihat," Betty menyimpulkan. Aku harus menyetujuinya. Tetapi, aku mempunyai perasaan kuat bahwa yang menghias seluruh pohon itu bukan hanya kami.
Keesokan harinya, kumasukkan pohon "Joy to the World" ke dalam mobilku dengan hati-hati. Secara spontan, aku segera kembali ke dalam rumah dan menyambar segulung kabel tambahan, sebuah tape recorder yang bisa di bawa, dan kaset "Joy to the World". Ketika aku tiba di bazar, semua orang larut dalam suasana kegembiraan hari raya. Seorang wanita berjalan santai dari biliknya. Ia menjual kaos kaki panjang dengan seni tambalan. Wanita itu menyentuh boneka-boneka dari semua negara secara lembut. "Saya mau memesan satu dari pohon-pohon ini untuk cucuku di Jerman," dia memberi tahu.
Lalu, wanita yang menjual roti jahe bergabung dalam pembicaraan kami. "Saya membeli tiga karcis untuk bazar," ia bergurau. "Saya akan pulang dan membawa pohon ini." "Pohon ini akan mencuri perhatian," Ny. Saunders mulai bicara. "Jika tersebar berita tentang karcis berhadiah yang kita sediakan, kita tidak akan bisa membayangkan berapa banyak uang yang akan kita peroleh. Kita pasti akan melampaui rekor orang yang hadir dan mencapai ribuan." Tak lama kemudian, ruangan dipenuhi oleh para pembeli yang terus mengalir. Sepanjang hari, pohon yang kami buat menjadi pusat perhatian para pengunjung yang menginginkannya.
Beberapa menit sebelum jadwal penarikan undian, seorang wanita bertubuh kecil menukarkan 50 sen untuk sebuah karcis. Wanita itu kelihatan lelah dan memakai mantel kelabu yang kumal. Rambutnya dikepang dengan rapi. Rambut itu dikonde kuat-kuat sehingga membentuk sebuah konde kuno. Konde itu membatasi wajah yang bersih dari apa pun, kecuali rona suatu kemantapan.
"Kami datang ke kota untuk membeli makanan ternak dan aku membujuk suamiku agar berhenti di sini," katanya. "Aku mempunyai sedikit sisa uang untuk berbelanja. Tetapi, ia meyakinkanku bahwa tak banyak yang bisa kubeli di tempat mahal seperti ini." Wanita itu mengagumi beberapa barang, di antaranya boneka malaikat yang terbuat dari kain sutera yang mengkilap, agar-agar buatan sendiri, dan kue yang terbuat dari buah dan dipanggang. Kue itu menyerupai rangkaian bunga berbentuk lingkaran untuk hari Natal. Tangannya yang kasar dan berlekuk-lekuk mengambil kue kepingan salju yang dirajut rumit seperti jaringan laba-laba. "Coba lihat ini," katanya. "Suatu hari nanti, aku akan mempunyai pohon Natal dan akan memenuhinya dengan ini semua."
Ketika ia mendekati bilikku, ia berseru, "Pohon itu ... boneka- bonekanya! Sepanjang hidupku, aku menginginkan sebuah boneka yang cantik. Apakah seseorang akan memenangkan semua boneka itu?" Ia bertanya dengan pandangan mata seperti orang bermimpi. Aku memperdengarkan lagu "Joy to the World" dan suaranya memenuhi ruangan. "Paduan suara ini menyanyikan lagu itu sampai ke gereja," katanya. "Ini selalu mengingatkanku tentang orang-orang di seberang laut seperti yang diceritakan oleh wanita misionaris itu."
Semua mata sekarang tertuju pada orang yang akan segera memenangkan nomor untuk undian karcis berhadiah. Dari mana-mana, kudengar bisikan: "Jangan lupa, pohon itu milikku ... Tidak, itu milikku .... Itu untuk cucu-cucuku yang akan datang pada Natal ...." Tetapi, wanita yang sangat kecil itu tidak pernah melepaskan pandangannya dari pohon itu. "Cucuku laki-laki, Jake, ia tinggal hanya satu teriakan jauhnya dari tempat kami," ia bercerita kepadaku. Ia sangat pandai dalam mempelajari buku. Bayangkan, ia dapat menyebut semua negara yang ada di bola dunia itu."
Lalu, terdengarlah pengumuman yang sudah lama dinanti-nantikan: "Hadiah untuk undian karcis berhadiah jatuh pada nomor 1153!" Aku memandang tangan kasar yang berlekuk-lekuk. Ia memegang karcis yang memenangkan hadiah dan kuremas pundaknya yang kurus. "Ibu memenangkan pohon itu! Ibu memenangkan pohon itu!" aku berteriak. "Maksud kamu karcisku? Aku belum pernah mendapat sesuatu yang indah seperti ini." Air mata mengalir di pipinya yang keriput. Aku mematikan lampu-lampu dan tape recorder. Lalu, aku menggulung kabel tambahannya. "Apakah aku juga mendapat kotak musik dan kabel yang panjang itu?" tanyanya. "Aku akan meletakkan pohon itu di alat pemutar dan kami hanya mempunyai satu stop kontak di ruangan. Aku pasti memerlukan kabel tambahan itu."
"Tentu saja ... ini adalah Natal," jawabku ketika kubawa pohon itu ke luar dan kuberikan kepadanya. Setelah itu, sebuah truk pick up kuning yang karatan maju ke depan. Kemudian, seorang pria yang memakai pakaian kerja, kemeja flanel kotak-kotak, dan sebuah topi bertuliskan "I love Kentucky" melompat ke luar. "Sadie, apa yang kau peroleh?" ia berteriak dengan senyuman dan memperlihatkan sebuah gigi yang ompong. "Pa, aku memenangkan hadiah! Aku memenangkan pohon ini!"
Pria itu segera mengatur barang-barang yang ada di mobilnya, antara lain cangkul, rantai roda, dan berkantung-kantung pakan ternak. Ia berusaha menyediakan tempat untuk pohon itu di lantai truknya. Ia menarik pisau sakunya dan memotong dua kantung pakan ternak yang kosong untuk menutupi pohon itu. Kemudian, ia mengikatnya dengan tali timba. "Percayakah Anda?" seorang penonton terperangah. "Mereka membawa pergi pohon yang indah itu dengan truk tua yang usang. Untuk apa mereka memerlukan pohon semacam itu?"
Aku melambaikan selamat berpisah ketika truk yang bersuara bising itu menghilang ke langit malam yang berwarna ungu. Di mata hatiku, aku dapat melihat pohon itu diberi tempat terhormat di jendela sebuah pondok yang sederhana, dengan cahaya yang temaram, dan di tengah-tengah pegunungan Appalachian. Menurutku, rakyat yang tinggal di daerah itu termasuk orang-orang yang bahagia. Mereka bukan penjelajah dunia tetapi pekerja keras. Pada Desember yang dingin, asap hitam sepertinya akan bergulung-gulung keluar dari cerobong asap mereka ke udara bila mereka sekeluarga berkumpul di sekeliling pohon. "Lihat Nek, Jepang ada di sini," Jake kemungkinan akan berkata sambil menunjuk ke bola dunia yang pernah terletak di meja kerjaku. Sadie masih terpukau pada kabel tambahan itu. Ia akan memasang stop kontak lampu-lampu yang berkelap-kelip dan kotak musiknya.
Meskipun demikian, aku tetap yakin bahwa akulah pemenang yang sesungguhnya pada bazar Natal itu. Bazar ini merupakan suatu tradisi yang sudah berlangsung lama di Amerika. Aku menemukan kembali panggilan hati bagi orang-orang percaya di setiap tempat. Aku tak pernah melihat Sadie lagi. Tetapi, aku tak akan pernah melupakan pelajaran yang diberikannya kepadaku. Intinya, tidak peduli adanya perbedaan geografis atau status sosial, kita semua adalah kabel tambahan dari Tuhan. Kita membawa cahaya dan lagu-Nya ke tempat-tempat yang gelap dan kosong di dunia.