Dolar menguat, Indonesia dan Malaysia panas dingin
Dolar menguat, Indonesia dan Malaysia panas dingin
Menguatnya nilai tukar dolar telah mendesak beberapa bank sentral di Asia menempuh cara-cara yang berbeda. Ada diantaranya yang menyuntikkan likuditas sampai dengan menunggu harap cemas.
Bagi negara-negara maju termasuk Jepang dan Australia, kondisi terkini di Amerika termasuk prospek kenaikan suku bunga the Fed justru membawa angin segar. Tapi bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Malaysia, merosotnya nilai tukar secara dratis menimbulkan ketidakseimbangan pada perekonomian, termasuk menyebabkan naiknya hutang dan memicu resiko akibat naiknya harga-harga sampai terkurasnya cadangan devisa.
Dengan menangnya Donald Trump, kemungkinan suku bunga the Fed dinaikkan di Desember meningkat menjadi 100 persen. Ini artinya tekanan terhadap bank-bank sentral di Asia masih akan terus terjadi.
Seyogyanya, bank-bank sentral Asia akan terpisah dalam dua kubu ketika dolar menguat, dimana kelompok terbesar cenderung lebih memilih mata uang yang lebih lemah karena dapat membantu ekspor. Negara-negara yang memiliki tingkat hutang rendah, tentu saja akan senang dengan pelemahan mata uang karena mereka akan mendapat untung lebih.
Diantara negara yang senang dengan pelemahan mata uangnya adalah New Zealand. Negara ini sudah lama cemas akan penguatan nilai tukarnya yang dinilai sudah berlebihan. Masalah ini meningkatkan tekanan deflasi. Selain itu Australia juga termasuk negara yang senang jika dolar menguat karena negara ini sedang dalam masa transisi merubah ketergantungannya akan sektor tambang ke sektor jasa. Anjloknya aussie tentu membantu upaya ini. Kemudian adalah Jepang, kita tahu bahwa negeri sakura ini sedang berjuang keras melawan inflasi dengan cara memborong aset-aset. Bank sentral Jepang tentu saja gembira dengan penguatan dolar ini dan merasa kebijakan the Fed terkait suku bunga justru secara otomatis membantu mereka.
Kuatnya nilai tukar juga memukul sektor otomotif dan elektronik Korsel. Melihat kenyataan ini jelas Korsel lebih senang jika mata uangnya lebih lemah terhadap dolar untuk menjaga daya saing. Terakhir adalah Thailand, lemahnya nilai tukar Baht justru dapat membantu sektor ekspor. Thailand sangat bergantung kepada ekspor, dimana saat ini konsumsi dalam negeri termasuk perekonomian masih belum baik.
Bagi Malaysia, menguatnya dolar justru merugikan karena dapat memicu naiknya inflasi. Sejauh ini, bank sentral sudah mengurangi perdagangan ringgit dipasar luar negeri untuk menekan penurunan ringgit. Ketika negara-negara asteng lainnya menikmati rendahnya suku bunga AS untuk menumpuk cadang devisa, maka Malaysia cenderung stagnan dalam hal peningkatan devisi menjadikan negara ini dalam posisi rapuh.
Bank sentral Indonesia lebih cemas lagi akan pelemahan rupiah jika dibandingkan Thailand meski tidak dalam level separah Malaysia. Pemangku kebijakan di Indonesia sudah mengambil banyak langkah untuk memacu ekonomi termasuk memangkas suku bunga enam kali, namun dapat memicu naiknya inflasi. Minggu lalu BI merilis statemen bahwa rupiah dalam kondisi sekarang dianggap undervalued.
Selain itu ada India yang selama ini cukup vokal mengkritik kebijakan bank sentral lainnya dengan menyebut bank sentral tersebut mencuri keuntungan dari perdagangan yang dilakukan, dari negara lain dengan mematok mata uangnya lemah. Bank bank sentral India, menguatnya dolar bukanlah isu utama tapi dampak dari penguatan itu adalah menaikkan inflasi. Ketika rupee diperdagangkan mendekati rekor terendahnya diminggu lalu, maka ada resiko akan kenaikan biaya impor minyak.
Sementara China berada ditengah-tengah dimana lemahnya nilai tukar yuan dapat membantu ekspor tapi disaat yang sama ada resiko depresiasi dan memicu aliran modal keluar. Deputi Gubernur Bank Sentral China sempat mengatakan bahwa China memiliki cadangan devisa lebih dari cukup dan yuan dianggap masih cukup kuat dibandingkan negara-negara lainnya. Modal akan kembali mengalir ke China karena ekonomi pulih dan kondisi usaha membaik.
https://id.grandcapital.net/trading/bonus/?utm_source=facebookind&utm_medium=post&utm_campaign=news