spirit
Mod
Sejujurnya kita muak mengamati praktik korupsi di Indonesia yang dari era ke era bukannya makin turun, tetapi justru kian meningkat. Apalagi ketika tiba-tiba Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi kepada seorang koruptor (Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur). Dalam rangka memperingati HUT ke-65 kemerdekaan itu, pemerintah bukan hanya memberikan grasi, melainkan juga remisi kepada 341 dari 778 terpidana korupsi.
Adilkah ˜hadiah" grasi dan remisi tersebut? Jelas tidak. Pertama, karena korupsi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Itu berarti upaya memeranginya juga harus luar biasa keras, hukuman terhadap koruptornya harus maksimal, dan karena itu pemberian remisi maupun grasi untuk mereka harus dipikirkan ribuan kali.
Kedua, karena korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang bukan saja merugikan negara dan rakyat, tetapi juga mencoreng citra Indonesia di dunia. Bayangkan, oleh PERC (sebuah lembaga nirlaba di Hong Kong yang fokus meneliti praktik korupsi di sejumlah negara), setiap tahun Indonesia dimasukkan ke peringkat negara koruptor papan atas di Asia. Tak mengherankan jika berdasarkan itu bangsa-bangsa lain cenderung memandang sebelah mata kepada Indonesia, sementara para investor asing khawatir untuk berinvestasi di sini.
Ketiga, karena kebijakan mengobral remisi dan grasi untuk koruptor jelas berlawanan dengan niat Presiden yang pernah berjanji "akan bekerja siang malam dan berdiri di garda depan untuk memerangi korupsi" (tahun 2004) dan untuk "memimpin jihad melawan korupsi" (tahun 2009). Terkait itu kita patut bertanya, berada di garda manakah SBY kini dalam perang melawan korupsi?
Silahkan berkomentar
Adilkah ˜hadiah" grasi dan remisi tersebut? Jelas tidak. Pertama, karena korupsi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Itu berarti upaya memeranginya juga harus luar biasa keras, hukuman terhadap koruptornya harus maksimal, dan karena itu pemberian remisi maupun grasi untuk mereka harus dipikirkan ribuan kali.
Kedua, karena korupsi adalah sebuah kejahatan luar biasa yang bukan saja merugikan negara dan rakyat, tetapi juga mencoreng citra Indonesia di dunia. Bayangkan, oleh PERC (sebuah lembaga nirlaba di Hong Kong yang fokus meneliti praktik korupsi di sejumlah negara), setiap tahun Indonesia dimasukkan ke peringkat negara koruptor papan atas di Asia. Tak mengherankan jika berdasarkan itu bangsa-bangsa lain cenderung memandang sebelah mata kepada Indonesia, sementara para investor asing khawatir untuk berinvestasi di sini.
Ketiga, karena kebijakan mengobral remisi dan grasi untuk koruptor jelas berlawanan dengan niat Presiden yang pernah berjanji "akan bekerja siang malam dan berdiri di garda depan untuk memerangi korupsi" (tahun 2004) dan untuk "memimpin jihad melawan korupsi" (tahun 2009). Terkait itu kita patut bertanya, berada di garda manakah SBY kini dalam perang melawan korupsi?
Silahkan berkomentar