Semangat Itsar dalam Bonenkai
Hampir di seluruh penjuru perayaan pergantian tahun memang selalu identik dengan pesta, hura-hura, dan berbagai acara yang penuh dengan kelalaian dan pemborosan. Namun, di balik itu kadang tersembunyi sebuah inspirasi yang bisa kita tuai.
Nagoya, Desember 1998. Edi Susilo (28) melangkah masuk ke sebuah kafe dengan agak ragu-ragu. Malam ini untuk pertama kali atasannya mengundangnya menghadiri bonenkai dan ia tahu, acara intinya adalah minum-minum bir. Meskipun selain itu ada juga acara yang selalu ditunggu-tunggu karyawan yaitu makan-makan, pembagian hadiah dan bonus dari kantor. Namun, ia sudah bertekad, ia tidak akan meminum minuman keras yang disajikan.
Bonenkai adalah tradisi tahunan yang lazim dilakukan masyarakat Jepang pada akhir tahun. Setiap memasuki bulan Desember, undangan menghadiri bonenkai selalu ditunggu-tunggu oleh segenap masyarakat Jepang. “Bonenkai selalu ditunggu-tunggu. Karena makanannya pasti yang paling enak. Biasanya ada pembagian hadiah, bonus, dan lain-lain juga,” tutur Edi.
Ya, bonenkai biasanya digelar oleh perusahaan, komunitas, atau keluarga. Sekilas isinya tak jauh beda dengan pesta pada umumnya, kumpul-kumpul di kafe atau restoran, makan dan minum-minum sampai puas. Usah pusingkan masalah biaya, sebab itu sudah menjadi tanggung jawab pemimpin perusahaan atau komunitas tersebut.
Buang sial ala Jepang
Menurut Sandra Herlina, MA, pengajar pada jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, bonenkai adalah tradisi Jepang yang sudah ada sejak lama namun mengalami perubahan seiring perubahan demografis masyarakat Jepang.
“Kini bonenkai adalah sebuah event sosial di akhir tahun tanpa ada nilai-nilai religius, sementara dahulu kala bonenkai sarat dengan nilai-nilai religius, seperti persembahan-persembahan untuk dewa,” jelas Sandra. Makin lama, bersamaan dengan kondisi masyarakat Jepang yang makin rasional, bonenkai berubah menjadi acara yang lebih bernuansa sosial.
“Secara bahasa, bonenkai berarti melupakan,” ungkap Sandra. Maksudnya, dengan bonenkai, orang Jepang ingin melupakan hal-hal negatif di tahun yang lama dan menatap tahun yang baru dengan semangat baru. Sayangnya, minuman yang pasti selalu disajikan dalam acara itu minuman keras. “Biasanya bir. Orang Jepang suka bir,” jelas Sandra yang juga pernah tinggal dan belajar di Jepang beberapa tahun.
Lantas bagaimana jika warga Indonesia yang Muslim, seperti Edi, diundang ke acara itu? Menolaknya jelas tidak mungkin. Sebab, perusahaan mewajibkan karyawannya datang walaupun bukan orang Jepang.
Nah, Edi punya kiat sederhana menghadapi situasi seperti ini. Begitu tiba di lokasi acara, dengan tegas ia minta agar disediakan teh saja. “Kita jelaskan pada teman dan atasan bahwa kita sebagai Muslim tidak boleh meminum minuman beralkohol. Bilang saja itu aturannya. Kalau sudah dibilang aturan mereka langsung paham. Orang Jepang, kan, taat betul sama aturan,” cerita Edi.
Nilai-nilai kepedulian
Namun, yang paling menarik dari bonenkai adalah etika yang harus dipatuhi oleh semua peserta. Mayoritas orang Jepang masih menghormati etika ini meskipun tidak semua orang menerapkannya ketika menggelar bonenkai.
Pertama, setiap peserta tidak boleh menuangkan minuman untuk dirinya sendiri. Ya, minuman yang kita nikmati haruslah air yang dituangkan oleh teman kita, bukan oleh kita sendiri. Kedua, kita tidak boleh membiarkan gelas minuman teman kita kosong. Setiap kita melihat gelas teman di sebelah kita kosong kita harus mengisinya kembali.
Ketiga, ketika hendak minum, kita harus lebih dulu bersulang pada teman yang menuangkan minuman untuk kita sebagai tanda penghormatan pada dia. Terakhir, saat menuangnya kita harus menggunakan dua tangan kita. Satu di dasar botol, satu lagi di leher botol. Posisi telapak tangan yang berada di leher botol harus menghadap ke teman kita. Jangan sekali-kali menuangkan dengan menghadapkan punggung tangan pada teman kita, itu dinilai tidak sopan.
Amat menarik, bahkan ketika mabuk-mabukan pun orang Jepang masih punya aturan. Dan spirit dari etika dalam bonenkai ini dapat kita tangkap dengan jelas. Salah satunya, mendahulukan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan sendiri. Ini sesuai dengan ajaran tentang itsar dalam agama kita. Itsar adalah rukun ukhuwah yang paling tinggi, yaitu ketika seorang Muslim mampu meletakkan kepentingan saudaranya di atas kepentingan pribadinya.
Selain itu, dalam bonenkai juga terselip pelajaran tentang sensitivitas. Gelas teman kita yang kosong bisa kita artikan sebagai kebutuhan. Pedulikah kita pada kebutuhan teman kita dan mencoba untuk memenuhi kebutuhannya?
Selanjutnya adalah ajaran tentang berterima kasih. Mengangkat gelas meruapkan ungkapan penghormatan dan terima kasih kepada teman kita yang telah membagi minumannya dengan kita. Dan, yang terakhir, hikmah tentang ketulusan. Saat kita memberi, berilah dengan tulus, jangan kita memberi dengan cara yang buruk.
Minum-minum dan makan-makan dengan berlebihan jelas dilarang dalam Islam, apalagi bila di dalamnya terdapat minuman atau makanan haram. Tapi sebagai Muslim, kita dituntut untuk dapat belajar dari setiap kejadian yang terbentang di depan mata. Kadang peristiwa itu buruk tetapi di balik keburukan itu tersimpan sebuah pelajaran berharga. Kali ini kita disindir oleh orang Jepang, kita tidak meminum alkohol tapi adakah kita peduli pada kondisi orang-orang di sekitar kita?
sumber: Ummi-Online.com
.