Kalina
Moderator
Oleh An. Ismanto*
Meski cukup membikin kaget, tetapi tema ini memang ada, yaitu hubungan antara buku dengan kegilaan. Ada buku-buku yang ditulis para penulis yang kerap diklasifikasikan sebagai orang gila, dan ada juga buku yang ikut andil dalam kegilaan orang-orang tertentu.
Donatien Alphonse Fran?ois, yang tenar dengan nama Marquis de Sade (2 Juni 1740-2 Desember 1814) adalah bangsawan, penulis filsafat dan pornografi dengan kekerasan --istilah "sadisme" diturunkan dari namanya. Sade ditahan di beberapa penjara dan rumah sakit jiwa selama 29 tahun hidupnya, walaupun ia tidak pernah secara teknis didakwa melakukan kejahatan apa pun.
Sade adalah penulis yang gigih. Ketika tak diizinkan memiliki tinta dan kertas, ia menulis dengan tinta darurat, yang seringkali dibikin dari darahnya sendiri, dan menulis pada lembaran selimut. Karya-karyanya kemudian diselundupkan keluar oleh seorang gadis pekerja institusi tersebut dan diantarkan ke sebuah penerbit. Warga Paris pun terus mendapatkan pasokan cerita-cerita karya Sade. Penguasa kemudian berusaha membungkam sang Marquis dengan segala cara.
Sade dipisahkan dari sesama penghuni rumah sakit jiwa, bahkan disiksa dengan kejam oleh seorang dokter jiwa kenamaan, dan terakhir ia dikurung dalam keadaan bugil. Toh Sade tak surut semangatnya. Dalam keadaan bugil dan sendiri, ia menulis karyanya di tembok bui dengan kotorannya. Otoritas memutuskan untuk merantai dan memotong lidah Sade. Ia akhirnya mati di dalam bui.
Kemudian ada Dr W.C. Minor. Dia bukan seorang penulis buku, melainkan seorang pensiunan dokter di ketentaraan Amerika yang kemudian menjadi seorang pembunuh dan dipenjara di sebuah rumah sakit jiwa di Inggris. Dari balik jeruji sel ia mampu tampil sebagai kontributor untuk lebih dari sepuluh ribu kata dalam penyusunan kamus babon Oxford English Dictionary. Cerita hidupnya dikisahkan Simon Winchester dalam novel The Profesor and The Madman (Sang Profesor dan Orang Gila, Serambi, 2007).
Jika ada buku yang dihasilkan oleh orang yang dianggap gila, maka ada pula orang gila atau yang dianggap gila yang dihasilkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh buku.
David Chapman diketahui membaca berulang-ulang novel The Catcher In The Rye karya J.D. Salinger sebelum menembak mati musisi besar John Lennon. Novel itu adalah sebuah novel yang dipenuhi dengan bahasa-bahasa kemarahan dan sempat tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Chapman tidak dijatuhi hukuman mati karena dianggap gila ketika melakukan pembunuhan itu. Entah dia gila karena novel itu atau hal lain, yang jelas novel tersebut memiliki peran dalam perbuatannya.
Buku juga bisa memunculkan penyakit jiwa pada diri seseorang. Seseorang bisa terjangkit biblioholisme jika ia mengidap hasrat yang berlebihan untuk membeli, membaca, menyimpan, dan mengagumi buku. Ada dua jenis biblioholisme, yaitu bibliomania (gila buku) dan bibliofil (cinta buku). Yang membedakan keduanya adalah motivasi. Seorang bibliomania membeli buku hanya untuk menumpuknya, sedang bibliofil mengharap dapat menguras isi dan kebijakan dari buku-bukunya.
Boulard, ahli hukum asal Prancis yang hidup pada abad ke-18, begitu bernafsu membeli buku, hingga rumahnya tak cukup menampung buku-bukunya --sampai-sampai ia harus membeli enam rumah lagi. Orang yang bertamu harus ekstra hati-hati, kalau tidak mau tertimbun longsoran buku. Sampai meninggalnya, Boulard memiliki 600 ribu-800 ribu jilid buku. Problem kegilaan Boulard: ia tak membaca buku yang ia beli.
Sedang bibliofil lebih waras: banyak membeli dan banyak membaca. Richard Heber asal Inggris dan hidup pada abad ke-19 adalah contohnya. Sama dengan Boulard, koleksinya yang berjumlah 200 ribu-300 ribu buku memaksa ia memiliki delapan rumah: dua di London dan enam lainnya tersebar di Inggris dan Eropa. Beda dengan Boulard, ia selalu membaca bahkan sampai akhir hayatnya.
Yang mengkhawatirkan adalah bibliotaf. Karena ingin mengamankan buku-bukunya, maka penderita penyakit ini akan mengubur buku-bukunya. Ada juga bibliokas yang berhasrat untuk menghancurkan buku. Jika seseorang datang ke perpustakaan atau meminjam buku teman, lalu ada halaman yang menarik --entah isinya entah gambarnya-- dan ia tak tahan jika tak memilikinya dan karenanya menyobek halaman itu, maka dia adalah seorang bibliokas, penghancur buku. Yang paling parah biblikasnya adalah para penguasa yang terlalu percaya pada kekuatan buku, sehingga memerintahkan pembakaran buku-buku tertentu, terutama yang tidak disukai.
Yang terakhir dan paling banyak penderitanya adalah biblionarsisis. Seorang biblionarsisis mengoleksi buku --enskilopedi lengkap dengan almari khusus, misalnya-- hanya untuk berlagak, pamer, dan mengagumi diri sendiri.***
*) An. Ismanto, pegiat buku di IBuKu, tinggal di Jogjakarta
Meski cukup membikin kaget, tetapi tema ini memang ada, yaitu hubungan antara buku dengan kegilaan. Ada buku-buku yang ditulis para penulis yang kerap diklasifikasikan sebagai orang gila, dan ada juga buku yang ikut andil dalam kegilaan orang-orang tertentu.
Donatien Alphonse Fran?ois, yang tenar dengan nama Marquis de Sade (2 Juni 1740-2 Desember 1814) adalah bangsawan, penulis filsafat dan pornografi dengan kekerasan --istilah "sadisme" diturunkan dari namanya. Sade ditahan di beberapa penjara dan rumah sakit jiwa selama 29 tahun hidupnya, walaupun ia tidak pernah secara teknis didakwa melakukan kejahatan apa pun.
Sade adalah penulis yang gigih. Ketika tak diizinkan memiliki tinta dan kertas, ia menulis dengan tinta darurat, yang seringkali dibikin dari darahnya sendiri, dan menulis pada lembaran selimut. Karya-karyanya kemudian diselundupkan keluar oleh seorang gadis pekerja institusi tersebut dan diantarkan ke sebuah penerbit. Warga Paris pun terus mendapatkan pasokan cerita-cerita karya Sade. Penguasa kemudian berusaha membungkam sang Marquis dengan segala cara.
Sade dipisahkan dari sesama penghuni rumah sakit jiwa, bahkan disiksa dengan kejam oleh seorang dokter jiwa kenamaan, dan terakhir ia dikurung dalam keadaan bugil. Toh Sade tak surut semangatnya. Dalam keadaan bugil dan sendiri, ia menulis karyanya di tembok bui dengan kotorannya. Otoritas memutuskan untuk merantai dan memotong lidah Sade. Ia akhirnya mati di dalam bui.
Kemudian ada Dr W.C. Minor. Dia bukan seorang penulis buku, melainkan seorang pensiunan dokter di ketentaraan Amerika yang kemudian menjadi seorang pembunuh dan dipenjara di sebuah rumah sakit jiwa di Inggris. Dari balik jeruji sel ia mampu tampil sebagai kontributor untuk lebih dari sepuluh ribu kata dalam penyusunan kamus babon Oxford English Dictionary. Cerita hidupnya dikisahkan Simon Winchester dalam novel The Profesor and The Madman (Sang Profesor dan Orang Gila, Serambi, 2007).
Jika ada buku yang dihasilkan oleh orang yang dianggap gila, maka ada pula orang gila atau yang dianggap gila yang dihasilkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh buku.
David Chapman diketahui membaca berulang-ulang novel The Catcher In The Rye karya J.D. Salinger sebelum menembak mati musisi besar John Lennon. Novel itu adalah sebuah novel yang dipenuhi dengan bahasa-bahasa kemarahan dan sempat tidak boleh diajarkan di sekolah-sekolah Amerika Serikat. Chapman tidak dijatuhi hukuman mati karena dianggap gila ketika melakukan pembunuhan itu. Entah dia gila karena novel itu atau hal lain, yang jelas novel tersebut memiliki peran dalam perbuatannya.
Buku juga bisa memunculkan penyakit jiwa pada diri seseorang. Seseorang bisa terjangkit biblioholisme jika ia mengidap hasrat yang berlebihan untuk membeli, membaca, menyimpan, dan mengagumi buku. Ada dua jenis biblioholisme, yaitu bibliomania (gila buku) dan bibliofil (cinta buku). Yang membedakan keduanya adalah motivasi. Seorang bibliomania membeli buku hanya untuk menumpuknya, sedang bibliofil mengharap dapat menguras isi dan kebijakan dari buku-bukunya.
Boulard, ahli hukum asal Prancis yang hidup pada abad ke-18, begitu bernafsu membeli buku, hingga rumahnya tak cukup menampung buku-bukunya --sampai-sampai ia harus membeli enam rumah lagi. Orang yang bertamu harus ekstra hati-hati, kalau tidak mau tertimbun longsoran buku. Sampai meninggalnya, Boulard memiliki 600 ribu-800 ribu jilid buku. Problem kegilaan Boulard: ia tak membaca buku yang ia beli.
Sedang bibliofil lebih waras: banyak membeli dan banyak membaca. Richard Heber asal Inggris dan hidup pada abad ke-19 adalah contohnya. Sama dengan Boulard, koleksinya yang berjumlah 200 ribu-300 ribu buku memaksa ia memiliki delapan rumah: dua di London dan enam lainnya tersebar di Inggris dan Eropa. Beda dengan Boulard, ia selalu membaca bahkan sampai akhir hayatnya.
Yang mengkhawatirkan adalah bibliotaf. Karena ingin mengamankan buku-bukunya, maka penderita penyakit ini akan mengubur buku-bukunya. Ada juga bibliokas yang berhasrat untuk menghancurkan buku. Jika seseorang datang ke perpustakaan atau meminjam buku teman, lalu ada halaman yang menarik --entah isinya entah gambarnya-- dan ia tak tahan jika tak memilikinya dan karenanya menyobek halaman itu, maka dia adalah seorang bibliokas, penghancur buku. Yang paling parah biblikasnya adalah para penguasa yang terlalu percaya pada kekuatan buku, sehingga memerintahkan pembakaran buku-buku tertentu, terutama yang tidak disukai.
Yang terakhir dan paling banyak penderitanya adalah biblionarsisis. Seorang biblionarsisis mengoleksi buku --enskilopedi lengkap dengan almari khusus, misalnya-- hanya untuk berlagak, pamer, dan mengagumi diri sendiri.***
*) An. Ismanto, pegiat buku di IBuKu, tinggal di Jogjakarta