Kalina
Moderator
Penyair Muda vs Penyair Tua
Penyair muda Bandung, Padang, Jogjakarta, dan Denpasar, bertemu di Taman Budaya Jogjakarta pada 2-3 Februari 2007. Acara tersebut dihadiri sejumlah penyair dan kritikus sastra sebagai pembicara, di antaranya Dr Faruk H.T. , Saut Situmorang, Raudal Tanjung Banua, Muhammad Al-Fayyadl, Faisal Kamandobat, dan Zen Rahmat Sugito (Jogja); Afrizal Malna dan Widzar Al-Ghifary (Bandung); Muda Wijaya (Denpasar); dan Hariyanto Prasetyo (Padang).
Ada beberapa hal yang diperbincangkan dalam pertemuan itu. Pertama, mempersoalkan terbatasnya kesempatan yang diberikan penyair-penyair tua (senior) kepada penyair muda (junior). Bahkan di daerah tertentu terkesan ada intrik popularitas, seolah-olah penyair muda berusaha merebutnya, sehingga penyair tua bersikap "sentimen".
Kedua, "tertutup"-nya media-media lokal dalam menampung karya-karya penyair muda sebagaimana digugat Widzar al-Ghifary terhadap Harian Pikiran Rakyat (KR Minggu, 21 Januari 2007) dan Ndika Mahrendra terhadap Kedaulatan Rakyat (dalam forum). Hal ini tentu terlepas dari kualitas karya dan selera redaktur media.
Saut Situmorang mengungkapkan, setidaknya penyair muda berani mengambil keputusan untuk membuat media alternatif yang dapat menampung karya mereka. Artinya, media alternatif seperti sastra internet yang diajukan Saut mampu menjadi wadah dan media bersaing secara sehat dalam proses kreatif, walau di luar itu penyair muda tetap harus berjuang untuk menembus koran-koran nasional.
Lebih jauh Saut mengungkapkan tentang perjuangannya dalam melawan hegemoni media, baik lokal maupun nasional. Dia menceritakan proses "sastra cyber" dan perjuangannya melawan segala kritik yang memosisikan sastra cyber sebagai sastra "ecek-ecek".
Penyair muda tidak perlu takut mengadakan perlawanan untuk meruntuhkan hegemoni dan kepentingan sepihak, jika di daerah ada penyair "tua" yang duduk di menara gading, kemudian mengambil kesempatan untuk mencari eksistensi di sana. Atau media-media daerah yang cukup potensial untuk dijadikan sebagai medium berkreativitas hanya memberi akses untuk para penyair "tua". Maka, penyair muda tak ada salahnya melakukan "perlawanan" dengan membuat blog atau media-media lain yang memungkinkan karya mereka tertampung.
Bahkan, Muda Wijaya (Denpasar) meluapkan kegelisahannya dengan mengungkapkan bahwa penyair-penyair tua saat ini tidak ada yang meniru spirit Umbu Landu Paranggi dalam meregenerasikan dunia kepenyairan. Umbu tidak pernah lelah mendatangi penyair-penyair muda di pinggiran kota, desa, kampung, bahkan tempat yang paling pelosok sekalipun. Ia datangi dengan berjalan kaki, kemudian ia serahkan kepada penyair tua setempat untuk proses pembimbingan. Selain itu, Umbu memberi ruang, mengapresiasi secara intens dan sabar terhadap benih-benih penyair muda lewat Harian Bali Post.
Saya semakin yakin bahwa Umbu berjuang bukan karena tendensi ingin menjadi "guru besar" yang ingin disembah murid-muridnya laksana dewa, melainkan dengan rendah hati menjatuhkan pilihan hidupnya bergelut dengan puisi. Maka, wajar jika Umbu mampu melahirkan "murid-murid" yang memiliki karya-karya "besar" dan mempunyai peran besar pula dalam kesusastraan dan kebudayaan negeri ini. Sebut saja Korie Layun Rampan, Emha Ainun Nadjib, Sutirman Eka Ardana, Ebiet G. Ade, Musthofa W. Hasyim, Arwan Tuti Artha, Warih Wisatsana, Wayan Sunarta, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, Muda Wijaya dan banyak lagi lainnya.
Kenyataan semacam itu dapat dijadikan pelajaran untuk model regenerasi di berbagai daerah di Indonesia atau menjadi catatan penting bagi penyair muda agar ketika mereka duduk di "menara gading" bisa bersikap terbuka dan memberikan yang terbaik bagi generasi penerusnya. Sebab, sebuah pepatah mengatakan, "generasi yang hebat adalah generasi yang mempertimbangkan kemajuan sesudahnya."
Antologi
Dalam pertemuan itu diterbitkan pula antologi puisi berjudul Herbarium (Pustaka Pujangga, Februari 2007) yang berisi karya 48 penyair muda dari empat kota. Raudal Tanjung Banua sebagai kurator Jogjakarta yang sekaligus mengeditori antologi tersebut mengungkapkan bahwa nama-nama penyair muda dalam antologi tersebut merupakan nama-nama yang menjadi ikon terbaru penyair di empat daerah, walaupun sebagian di antara mereka masih lemah dalam bangunan diksi, fokus, estetika, logika yang belum sepenuhnya serasi dan sempurna.
Muhammad Al-Fayyadl juga mengungkapkan, karya-karya para penyair muda saat ini, khususnya yang ada dalam antologi tersebut, cenderung bersifat prosaik, bertutur, curhat, dan terkesan Sapardi-an, walaupun dalam puisi-puisi tertentu terdapat penyair yang sudah menemukan identitas karya. Dari itu kemudian Fayyadl memberikan masukan agar penyair muda segera melakukan eksprimentasi karya sebagaimana yang pernah dilakukan Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Gunawan Muhammad, dan penyair-penyair lain yang memiliki identitas karya. ***
*) Ahmad Muchlish Amrin, penyair dan pengelola Rumah Poetika Jogjakarta
Penyair muda Bandung, Padang, Jogjakarta, dan Denpasar, bertemu di Taman Budaya Jogjakarta pada 2-3 Februari 2007. Acara tersebut dihadiri sejumlah penyair dan kritikus sastra sebagai pembicara, di antaranya Dr Faruk H.T. , Saut Situmorang, Raudal Tanjung Banua, Muhammad Al-Fayyadl, Faisal Kamandobat, dan Zen Rahmat Sugito (Jogja); Afrizal Malna dan Widzar Al-Ghifary (Bandung); Muda Wijaya (Denpasar); dan Hariyanto Prasetyo (Padang).
Ada beberapa hal yang diperbincangkan dalam pertemuan itu. Pertama, mempersoalkan terbatasnya kesempatan yang diberikan penyair-penyair tua (senior) kepada penyair muda (junior). Bahkan di daerah tertentu terkesan ada intrik popularitas, seolah-olah penyair muda berusaha merebutnya, sehingga penyair tua bersikap "sentimen".
Kedua, "tertutup"-nya media-media lokal dalam menampung karya-karya penyair muda sebagaimana digugat Widzar al-Ghifary terhadap Harian Pikiran Rakyat (KR Minggu, 21 Januari 2007) dan Ndika Mahrendra terhadap Kedaulatan Rakyat (dalam forum). Hal ini tentu terlepas dari kualitas karya dan selera redaktur media.
Saut Situmorang mengungkapkan, setidaknya penyair muda berani mengambil keputusan untuk membuat media alternatif yang dapat menampung karya mereka. Artinya, media alternatif seperti sastra internet yang diajukan Saut mampu menjadi wadah dan media bersaing secara sehat dalam proses kreatif, walau di luar itu penyair muda tetap harus berjuang untuk menembus koran-koran nasional.
Lebih jauh Saut mengungkapkan tentang perjuangannya dalam melawan hegemoni media, baik lokal maupun nasional. Dia menceritakan proses "sastra cyber" dan perjuangannya melawan segala kritik yang memosisikan sastra cyber sebagai sastra "ecek-ecek".
Penyair muda tidak perlu takut mengadakan perlawanan untuk meruntuhkan hegemoni dan kepentingan sepihak, jika di daerah ada penyair "tua" yang duduk di menara gading, kemudian mengambil kesempatan untuk mencari eksistensi di sana. Atau media-media daerah yang cukup potensial untuk dijadikan sebagai medium berkreativitas hanya memberi akses untuk para penyair "tua". Maka, penyair muda tak ada salahnya melakukan "perlawanan" dengan membuat blog atau media-media lain yang memungkinkan karya mereka tertampung.
Bahkan, Muda Wijaya (Denpasar) meluapkan kegelisahannya dengan mengungkapkan bahwa penyair-penyair tua saat ini tidak ada yang meniru spirit Umbu Landu Paranggi dalam meregenerasikan dunia kepenyairan. Umbu tidak pernah lelah mendatangi penyair-penyair muda di pinggiran kota, desa, kampung, bahkan tempat yang paling pelosok sekalipun. Ia datangi dengan berjalan kaki, kemudian ia serahkan kepada penyair tua setempat untuk proses pembimbingan. Selain itu, Umbu memberi ruang, mengapresiasi secara intens dan sabar terhadap benih-benih penyair muda lewat Harian Bali Post.
Saya semakin yakin bahwa Umbu berjuang bukan karena tendensi ingin menjadi "guru besar" yang ingin disembah murid-muridnya laksana dewa, melainkan dengan rendah hati menjatuhkan pilihan hidupnya bergelut dengan puisi. Maka, wajar jika Umbu mampu melahirkan "murid-murid" yang memiliki karya-karya "besar" dan mempunyai peran besar pula dalam kesusastraan dan kebudayaan negeri ini. Sebut saja Korie Layun Rampan, Emha Ainun Nadjib, Sutirman Eka Ardana, Ebiet G. Ade, Musthofa W. Hasyim, Arwan Tuti Artha, Warih Wisatsana, Wayan Sunarta, Raudal Tanjung Banua, Riki Dhamparan Putra, Muda Wijaya dan banyak lagi lainnya.
Kenyataan semacam itu dapat dijadikan pelajaran untuk model regenerasi di berbagai daerah di Indonesia atau menjadi catatan penting bagi penyair muda agar ketika mereka duduk di "menara gading" bisa bersikap terbuka dan memberikan yang terbaik bagi generasi penerusnya. Sebab, sebuah pepatah mengatakan, "generasi yang hebat adalah generasi yang mempertimbangkan kemajuan sesudahnya."
Antologi
Dalam pertemuan itu diterbitkan pula antologi puisi berjudul Herbarium (Pustaka Pujangga, Februari 2007) yang berisi karya 48 penyair muda dari empat kota. Raudal Tanjung Banua sebagai kurator Jogjakarta yang sekaligus mengeditori antologi tersebut mengungkapkan bahwa nama-nama penyair muda dalam antologi tersebut merupakan nama-nama yang menjadi ikon terbaru penyair di empat daerah, walaupun sebagian di antara mereka masih lemah dalam bangunan diksi, fokus, estetika, logika yang belum sepenuhnya serasi dan sempurna.
Muhammad Al-Fayyadl juga mengungkapkan, karya-karya para penyair muda saat ini, khususnya yang ada dalam antologi tersebut, cenderung bersifat prosaik, bertutur, curhat, dan terkesan Sapardi-an, walaupun dalam puisi-puisi tertentu terdapat penyair yang sudah menemukan identitas karya. Dari itu kemudian Fayyadl memberikan masukan agar penyair muda segera melakukan eksprimentasi karya sebagaimana yang pernah dilakukan Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Gunawan Muhammad, dan penyair-penyair lain yang memiliki identitas karya. ***
*) Ahmad Muchlish Amrin, penyair dan pengelola Rumah Poetika Jogjakarta