mozilla_solo1
New member
Cegah Diare dengan Cuci Tangan
Sekitar 19 persen kematian balita di Indonesia disebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare.
Bagi sebagian besar masyarakat, kegiatan cuci tangan bukanlah sesuatu yang penting untuk dilakukan. Padahal, tindakan higiene sederhana itu berperan penting dalam mencegah penyakit berbahaya, bahkan mematikan seperti diare. Hal ini terungkap dari penelitian yang dilakukan di delapan provinsi, yakni Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara, Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Cuci tangan dan diare adalah dua hal penting yang ternyata sangat berkaitan. Cuci tangan merupakan kebutuhan mendasar untuk hidup lebih bersih dan diyakini mampu mencegah diare. Diare adalah salah satu penyebab kematian terbesar anak-anak Indonesia. Menurut Koordinator Komunikasi Kesehatan dan Kebersihan, Environmental Service Program (ESP) of USAID, Nona Utomo, sekitar 19 persen kematian balita di Indonesia disebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare. Menurutnya, diare juga bertanggung jawab pada kematian akibat malnutrisi yang mencakup 60 persen kematian balita.
''Menurut BHS Baseline Survey Report 2006 dalam studi terbarunya, prevalensi diare menemukan 28 persen anak bawah tiga tahun (batita) di Indonesia yang menderita diare,'' kata Nona. Nona menjelaskan, jalur masuknya virus, bakteri, atau patogen penyebab diare ke tubuh manusia dikenal dengan 4F, yakni fluids atau air, fields atau tanah, flies atau lalat, dan fingers atau tangan. Ia menambahkan, tahapannya dimulai dari cemaran yang berasal dari kotoran manusia (feces) yang mencemari 4F. Lalu, cemaran itu berpindah ke makanan yang kemudian disantap manusia.
Nona mengatakan, upaya pencegahan diare yang utama adalah dengan menerapkan praktik higienitas yang memadai. Praktik-praktik utama higienitas mencakup empat hal. Pertama, cuci tangan pakai sabun pada waktu-waktu yang tepat. Kedua, penggunaan fasilitas WC yang memadai. Ketiga, cuci bahan makanan dan menutup makanan jadi. Keempat, pengolahan dan penyimpanan air minum. Praktik-praktik itu, kata dia, diharapkan akan memblok jalur-jalur utama transmisi bakteri, virus, atau patogen penyebab diare.
Seperti diketahui, kata Nona, praktik cuci tangan yang bertujuan untuk mencegah transmisi patogen penyebab diare dilakukan secara benar dan dilakukan pada waktu-waktu yang tepat. Praktik disebut benar jika seseorang melakukan empat hal. Yakni, membasahi tangan dengan air bersih yang mengalir, menggunakan sabun yang digosok-gosokan minimal tiga kali, membilas tangan dengan air bersih yang mengalir, dan mengeringkan tangan dengan kain/lap kering yang bersih. Sementara, kata dia, waktu-waktu yang tepat adalah sebelum menyantap makanan, sebelum menyuapi anak, sebelum mempersiapkan makanan, sesudah buang air besar, dan sesudah menceboki pantat anak.
Dari penelitian di delapan provinsi, studi ini menemukan sejumlah temuan yang berbeda dengan praktik cuci tangan ideal. Temuan yang menonjol dan kritis di delapan provinsi adalah masyarakat masih jarang mencuci tangan menggunakan sabun. Selain itu, masyarakat jarang mencuci tangan sebelum menyuapi anak dan masih jarangnya penggunaan kain/lap bersih untuk mengeringkan tangan.
Di semua lokasi penelitian, kata Nona, cuci tangan dengan air dijumpai sebagai praktik yang umum. Sewaktu mencuci tangan, sambung dia, warga umumnya memakai air yang mengalir atau dialirkan, seperti menggunakan gayung. Sedangkan untuk kelompok laki-laki yang bekerja di sawah dan ladang, sering menggunakan air diam serta air kurang bersih seperti air sawah. Padahal, mereka mencuci tangan karena akan makan.
Nona menjelaskan, secara umum, studi di delapan provinsi mendapati warga memandang praktik cuci tangan hanya dengan air sebagai praktik yang mudah dilakukan. Bagi warga, mencuci tangan dapat dilakukan di berbagai tempat, seperti kamar mandi, sumur, kran air, tempat wudhu, ladang, sawah, sampai air diam di ember atau baskom asalkan air tersedia. Bahkan, kata Nona, ada warga di pedesaan memiliki alternatif lain selain sabun yang dipercayai dapat membuat tangan mereka bersih setelah kotor akibat bekerja. Di Jawa dikenal bahan awu (abu) yang dipercaya sebagai bahan pengganti sabun karena kemampuan abu untuk membersihkan panci yang kehitaman karena gosong.
Selama ini, sumber motivasi utama warga untuk mencuci tangan pakai sabun terkait dengan kotornya kondisi tangan dan kebutuhan untuk membersihkan tangan. Namun, yang dimaksud dengan kotor oleh warga mengacu pada sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera. Khususnya, hal yang tampak, tercium, atau teraba. Karena itu, yang tidak terlihat, tercium atau teraba seperti patogen, kuman, atau bakteri penyebab diare tidaklah menjadi pertimbangan warga.
Selain itu, sambung Nona, sabun dilihat sebagai alat bantu untuk menghilangkan kotor seperti bau, warna, rasa licin, atau tidak bersih. ''Tak heran, kebanyakan warga meyakini bahwa sabun tidak diperlukan bila kotoran yang tampak, tercium, dan atau teraba dapat dilenyapkan hanya dengan air saja,'' ungkap Nona.
Nona menyampaikan, perceived risk tidak menggunakan sabun banyak muncul di daerah pedesaan di Sumatra, teristimewa mereka yang bersentuhan dengan pupuk atau bahan kimia seperti pestisida. Mereka memandang sabun penting untuk menghilangkan zat-zat berbahaya. Sementara, mereka yang mengedepankan aspek kesehatan umumnya melihat sabun untuk menjaga dari kesakitan seperti diare, demam, muntaber, pilek, batuk, cacingan, sakit perut, dan gatal. n ren
Ikhtisar:
- Temuan kritis di delapan provinsi adalah masyarakat masih jarang mencuci tangan menggunakan sabun.
- Jalur masuknya virus, bakteri, atau patogen penyebab diare dikenal dengan 4F, yakni fluids, fields, flies, dan fingers.
Sekitar 19 persen kematian balita di Indonesia disebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare.
Bagi sebagian besar masyarakat, kegiatan cuci tangan bukanlah sesuatu yang penting untuk dilakukan. Padahal, tindakan higiene sederhana itu berperan penting dalam mencegah penyakit berbahaya, bahkan mematikan seperti diare. Hal ini terungkap dari penelitian yang dilakukan di delapan provinsi, yakni Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara, Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Cuci tangan dan diare adalah dua hal penting yang ternyata sangat berkaitan. Cuci tangan merupakan kebutuhan mendasar untuk hidup lebih bersih dan diyakini mampu mencegah diare. Diare adalah salah satu penyebab kematian terbesar anak-anak Indonesia. Menurut Koordinator Komunikasi Kesehatan dan Kebersihan, Environmental Service Program (ESP) of USAID, Nona Utomo, sekitar 19 persen kematian balita di Indonesia disebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan diare. Menurutnya, diare juga bertanggung jawab pada kematian akibat malnutrisi yang mencakup 60 persen kematian balita.
''Menurut BHS Baseline Survey Report 2006 dalam studi terbarunya, prevalensi diare menemukan 28 persen anak bawah tiga tahun (batita) di Indonesia yang menderita diare,'' kata Nona. Nona menjelaskan, jalur masuknya virus, bakteri, atau patogen penyebab diare ke tubuh manusia dikenal dengan 4F, yakni fluids atau air, fields atau tanah, flies atau lalat, dan fingers atau tangan. Ia menambahkan, tahapannya dimulai dari cemaran yang berasal dari kotoran manusia (feces) yang mencemari 4F. Lalu, cemaran itu berpindah ke makanan yang kemudian disantap manusia.
Nona mengatakan, upaya pencegahan diare yang utama adalah dengan menerapkan praktik higienitas yang memadai. Praktik-praktik utama higienitas mencakup empat hal. Pertama, cuci tangan pakai sabun pada waktu-waktu yang tepat. Kedua, penggunaan fasilitas WC yang memadai. Ketiga, cuci bahan makanan dan menutup makanan jadi. Keempat, pengolahan dan penyimpanan air minum. Praktik-praktik itu, kata dia, diharapkan akan memblok jalur-jalur utama transmisi bakteri, virus, atau patogen penyebab diare.
Seperti diketahui, kata Nona, praktik cuci tangan yang bertujuan untuk mencegah transmisi patogen penyebab diare dilakukan secara benar dan dilakukan pada waktu-waktu yang tepat. Praktik disebut benar jika seseorang melakukan empat hal. Yakni, membasahi tangan dengan air bersih yang mengalir, menggunakan sabun yang digosok-gosokan minimal tiga kali, membilas tangan dengan air bersih yang mengalir, dan mengeringkan tangan dengan kain/lap kering yang bersih. Sementara, kata dia, waktu-waktu yang tepat adalah sebelum menyantap makanan, sebelum menyuapi anak, sebelum mempersiapkan makanan, sesudah buang air besar, dan sesudah menceboki pantat anak.
Dari penelitian di delapan provinsi, studi ini menemukan sejumlah temuan yang berbeda dengan praktik cuci tangan ideal. Temuan yang menonjol dan kritis di delapan provinsi adalah masyarakat masih jarang mencuci tangan menggunakan sabun. Selain itu, masyarakat jarang mencuci tangan sebelum menyuapi anak dan masih jarangnya penggunaan kain/lap bersih untuk mengeringkan tangan.
Di semua lokasi penelitian, kata Nona, cuci tangan dengan air dijumpai sebagai praktik yang umum. Sewaktu mencuci tangan, sambung dia, warga umumnya memakai air yang mengalir atau dialirkan, seperti menggunakan gayung. Sedangkan untuk kelompok laki-laki yang bekerja di sawah dan ladang, sering menggunakan air diam serta air kurang bersih seperti air sawah. Padahal, mereka mencuci tangan karena akan makan.
Nona menjelaskan, secara umum, studi di delapan provinsi mendapati warga memandang praktik cuci tangan hanya dengan air sebagai praktik yang mudah dilakukan. Bagi warga, mencuci tangan dapat dilakukan di berbagai tempat, seperti kamar mandi, sumur, kran air, tempat wudhu, ladang, sawah, sampai air diam di ember atau baskom asalkan air tersedia. Bahkan, kata Nona, ada warga di pedesaan memiliki alternatif lain selain sabun yang dipercayai dapat membuat tangan mereka bersih setelah kotor akibat bekerja. Di Jawa dikenal bahan awu (abu) yang dipercaya sebagai bahan pengganti sabun karena kemampuan abu untuk membersihkan panci yang kehitaman karena gosong.
Selama ini, sumber motivasi utama warga untuk mencuci tangan pakai sabun terkait dengan kotornya kondisi tangan dan kebutuhan untuk membersihkan tangan. Namun, yang dimaksud dengan kotor oleh warga mengacu pada sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera. Khususnya, hal yang tampak, tercium, atau teraba. Karena itu, yang tidak terlihat, tercium atau teraba seperti patogen, kuman, atau bakteri penyebab diare tidaklah menjadi pertimbangan warga.
Selain itu, sambung Nona, sabun dilihat sebagai alat bantu untuk menghilangkan kotor seperti bau, warna, rasa licin, atau tidak bersih. ''Tak heran, kebanyakan warga meyakini bahwa sabun tidak diperlukan bila kotoran yang tampak, tercium, dan atau teraba dapat dilenyapkan hanya dengan air saja,'' ungkap Nona.
Nona menyampaikan, perceived risk tidak menggunakan sabun banyak muncul di daerah pedesaan di Sumatra, teristimewa mereka yang bersentuhan dengan pupuk atau bahan kimia seperti pestisida. Mereka memandang sabun penting untuk menghilangkan zat-zat berbahaya. Sementara, mereka yang mengedepankan aspek kesehatan umumnya melihat sabun untuk menjaga dari kesakitan seperti diare, demam, muntaber, pilek, batuk, cacingan, sakit perut, dan gatal. n ren
Ikhtisar:
- Temuan kritis di delapan provinsi adalah masyarakat masih jarang mencuci tangan menggunakan sabun.
- Jalur masuknya virus, bakteri, atau patogen penyebab diare dikenal dengan 4F, yakni fluids, fields, flies, dan fingers.