Forbian_Syah
New member
Hardjito Warno, relawan Komite Solidaritas Indonesia untuk Pelestina (Kispa), merasa darah di dalam tubuhnya mendidih dan menggelegak. Senin (31./5 petang itu, di Pelabuhan Ashdod Israel, sekitar 30 km dari Gaza, Ia beru saja dihina luar biasa oleh militer Israel.
Saat itu ia dan sekitar 600 relawan diturunkan dari perut kapal Mavi Marmara. Kapal terdepan dari armada kemanusiaan Freedom Flotilla yang berusaha menembus blokade Israel di Jalur Gaza. Mereka gagal karena kapal yang mereka tumpangi diserbu militer Israel.
Israel menembaki para relawan. Sembilan orang wafat termakan peluru zionis. Puluhan lainnya luka-luka. Dua relawan Indonesia, Okvianto dan Surya Fahrizal, turut jadi korban. Okvianto tertembak di bahu, sementara Reza, sapaan Surya, tertembak di dada dan kini masih dirawat di Yordania.
Di Pelabuhan Ashdod, militer Israel memeriksa identitas para relawan. ‘Saya ditanya berasal dari negara mana? Saya jawab Indonesia! Tentara Israel itu malah meludahi saya!” kata Hardjito bercerita soal pengalamannya ditawan militer Israel, Selasa (8/6). Hardjito bersama keempat relawan lainnya baru saja bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di belakang Hardjito, seorang relawan lain ditanya hal yang sama. Namun, berbeda dengan perlakuan yang rasis dan arogan yang ia terima, pemeriksaan relawan bule ini berlangsung mulus. “Dia menjawab berasal dari Inggris. Tapi, tidak mendapat perlakuan apa-apa. Malahan ia dibantu oleh tentara itu”
Lain lagi yang dialami Ketua Kispa, Ferry Nur. Pria berjanggut putih ini merasakan siksaan mental oleh tentara Israel. Para relawan selalu dijanjikan untuk dibebaskan, namun yang ada hanyalah berpindah lokasi tahanan atau sel. “ltu berlangsung tiga kali,” kata Ferry. Menurut dia, Israel sudah menyampaikan banyak kebohongan dan teror mental kepada para relawan.
Kebohongan lain yang disampaikan Israel adalah tentang keamanan barang-barang yang dibawa para relawan. Israel menjanjikan semua barang aman. “Setelah kami turun telepon seluler saya tidak kembali, kemudian alat komunikasi dan alat jurnalistik sampai saat ini tidak tahu keberadaannya,” katanya.
Wartawan TVOne, M Yunus, tak luput dari perlakuan kasar tentara zionis. Padahal, Ia sudah berteriak bahwa dirinya jurnalis yang meliput peristiwa. Tapi, militer Israel merusak kamera dan kaset videonya. Semua barang bawaan untuk keperluan liputannya pun disita.
Tapi ia tak hilang akal. Insting wartawannya tetap berjalan. Yunus menyusupkan sebatang pena untuk berkomunikasi dengan relawan lainnya. Termasuk dengan utusan dari Eropa. Kepada utusan itu, Yunus memberi secarik kertas dan bungkus pasta gigi yang telah berisi pesan yang ditulis menggunakan pena itu.
Lain lagi pengalaman Muhendri Muchtar. Ia mendapat pengalaman spiritual yang mencerahkan di kapal Mavi Marmara. Ada ratusan relawan yang naik di kapal ini. Mereka berasal dari 35 negara. Berbeda profesi. Ada yang murni relawan, ada yang penulis, anggota parlemen, pemenang Nobel Perdamaian, hingga pemuka agama.
“Mereka menggunakan bahasa berbeda, kebiasaan berbeda,” kata Muhendri.
Bahkan, para relawan pun memiliki agama yang berbeda-beda. Meski demikian, mereka memiliki satu tujuan, membantu rakyat Palestina demi kemanusiaan.
Muhendri mengingat, sehari sebelum diserang tentara Israel, ia dan ratusan relawan lainnya yang beragama Islam seperti biasa akan ibadah shalat Subuh. Lokasi shalat di lantai dua kapal. “Tiba-tiba ada seorang uskup yang masuk ke ruangan shalat,” katanya. Sang Uskup meminta izin untuk ikut shalat Subuh dengan para relawan Indonesia.
Muhendri dan beberapa rekannya pun sibuk mencari kursi untuk ditempatkan di shaf shalat. Maklum, uskup yang menemui mereka ini sudah berusia hampir 80 tahun, sehingga sulit untuk berdini. Takbir pun dikumandangkan, ‘Allahu akbar!”
Muhendri pun tak tahu apakah Uskup itu sudah menyatakan sebagai Muslim atau tidak. Belakangan Muhendri tahu, Sang Uskup berasal dari Israel. Namun, ia diusir oleh pemerintahnya sendiri, sehingga terpaksa hidup puluhan tahun di negeri orang. Hal itu tak menyurutkan Sang Uskup untuk menjadi relawan. “Ini pengalaman yang penuh pelajaran,” kata Muhendri.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdavi, mengakui 12 relawan Indonesia sebagai pahlawan yang menggunakan jalan jihad. Fariz mengatakan, dukungan Indonesia kepada Palestina menjadi inspirasi bagi masyarakat Palestina. “Membuat kami kuat dan merasa kami tak sendiri,” katanya.
Fariz, atas nama rakyat Palestina dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, juga menyampaikan rasa terima käsih dan penghargaan yang tinggi atas apa yang sudah dilakukan Indonesia
Sumber : Republika
Saat itu ia dan sekitar 600 relawan diturunkan dari perut kapal Mavi Marmara. Kapal terdepan dari armada kemanusiaan Freedom Flotilla yang berusaha menembus blokade Israel di Jalur Gaza. Mereka gagal karena kapal yang mereka tumpangi diserbu militer Israel.
Israel menembaki para relawan. Sembilan orang wafat termakan peluru zionis. Puluhan lainnya luka-luka. Dua relawan Indonesia, Okvianto dan Surya Fahrizal, turut jadi korban. Okvianto tertembak di bahu, sementara Reza, sapaan Surya, tertembak di dada dan kini masih dirawat di Yordania.
Di Pelabuhan Ashdod, militer Israel memeriksa identitas para relawan. ‘Saya ditanya berasal dari negara mana? Saya jawab Indonesia! Tentara Israel itu malah meludahi saya!” kata Hardjito bercerita soal pengalamannya ditawan militer Israel, Selasa (8/6). Hardjito bersama keempat relawan lainnya baru saja bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di belakang Hardjito, seorang relawan lain ditanya hal yang sama. Namun, berbeda dengan perlakuan yang rasis dan arogan yang ia terima, pemeriksaan relawan bule ini berlangsung mulus. “Dia menjawab berasal dari Inggris. Tapi, tidak mendapat perlakuan apa-apa. Malahan ia dibantu oleh tentara itu”
Lain lagi yang dialami Ketua Kispa, Ferry Nur. Pria berjanggut putih ini merasakan siksaan mental oleh tentara Israel. Para relawan selalu dijanjikan untuk dibebaskan, namun yang ada hanyalah berpindah lokasi tahanan atau sel. “ltu berlangsung tiga kali,” kata Ferry. Menurut dia, Israel sudah menyampaikan banyak kebohongan dan teror mental kepada para relawan.
Kebohongan lain yang disampaikan Israel adalah tentang keamanan barang-barang yang dibawa para relawan. Israel menjanjikan semua barang aman. “Setelah kami turun telepon seluler saya tidak kembali, kemudian alat komunikasi dan alat jurnalistik sampai saat ini tidak tahu keberadaannya,” katanya.
Wartawan TVOne, M Yunus, tak luput dari perlakuan kasar tentara zionis. Padahal, Ia sudah berteriak bahwa dirinya jurnalis yang meliput peristiwa. Tapi, militer Israel merusak kamera dan kaset videonya. Semua barang bawaan untuk keperluan liputannya pun disita.
Tapi ia tak hilang akal. Insting wartawannya tetap berjalan. Yunus menyusupkan sebatang pena untuk berkomunikasi dengan relawan lainnya. Termasuk dengan utusan dari Eropa. Kepada utusan itu, Yunus memberi secarik kertas dan bungkus pasta gigi yang telah berisi pesan yang ditulis menggunakan pena itu.
Lain lagi pengalaman Muhendri Muchtar. Ia mendapat pengalaman spiritual yang mencerahkan di kapal Mavi Marmara. Ada ratusan relawan yang naik di kapal ini. Mereka berasal dari 35 negara. Berbeda profesi. Ada yang murni relawan, ada yang penulis, anggota parlemen, pemenang Nobel Perdamaian, hingga pemuka agama.
“Mereka menggunakan bahasa berbeda, kebiasaan berbeda,” kata Muhendri.
Bahkan, para relawan pun memiliki agama yang berbeda-beda. Meski demikian, mereka memiliki satu tujuan, membantu rakyat Palestina demi kemanusiaan.
Muhendri mengingat, sehari sebelum diserang tentara Israel, ia dan ratusan relawan lainnya yang beragama Islam seperti biasa akan ibadah shalat Subuh. Lokasi shalat di lantai dua kapal. “Tiba-tiba ada seorang uskup yang masuk ke ruangan shalat,” katanya. Sang Uskup meminta izin untuk ikut shalat Subuh dengan para relawan Indonesia.
Muhendri dan beberapa rekannya pun sibuk mencari kursi untuk ditempatkan di shaf shalat. Maklum, uskup yang menemui mereka ini sudah berusia hampir 80 tahun, sehingga sulit untuk berdini. Takbir pun dikumandangkan, ‘Allahu akbar!”
Muhendri pun tak tahu apakah Uskup itu sudah menyatakan sebagai Muslim atau tidak. Belakangan Muhendri tahu, Sang Uskup berasal dari Israel. Namun, ia diusir oleh pemerintahnya sendiri, sehingga terpaksa hidup puluhan tahun di negeri orang. Hal itu tak menyurutkan Sang Uskup untuk menjadi relawan. “Ini pengalaman yang penuh pelajaran,” kata Muhendri.
Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Fariz Mehdavi, mengakui 12 relawan Indonesia sebagai pahlawan yang menggunakan jalan jihad. Fariz mengatakan, dukungan Indonesia kepada Palestina menjadi inspirasi bagi masyarakat Palestina. “Membuat kami kuat dan merasa kami tak sendiri,” katanya.
Fariz, atas nama rakyat Palestina dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, juga menyampaikan rasa terima käsih dan penghargaan yang tinggi atas apa yang sudah dilakukan Indonesia
Sumber : Republika