xraith
New member
ANDRIAS Harefa menulis opini berjudul Miskin Tapi Bahagia dalam Website Pembelajaran.com. Ia mencoba mengutarakan pameo ”uang tak bisa membeli kebahagiaan” dan hal itu benar. Sebuah survei di Australia katanya, menunjukkan, kaum kelas menengah di Sydney masuk kategori warga yang paling menderita di Australia. Sebaliknya, tingkat kebahagiaan warga yang hidup di beberapa daerah pemukiman paling miskin malah lebih tinggi.
”Pengaruh uang pada kebahagiaan nyatanya hanya terasa pada golongan yang luar biasa kaya,” kata Liz Eckerman, peneliti dari Universitas Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (13/2).
”Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga yang sudah kami wawancarai,” kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC.
Temuan-temuan yang disusun sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia, negara dimana tak ada kesenjangan kemakmuran yang ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah. Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara mereka yang menikah alias yang tak men-jomblo.
Survei ditujukan untuk mengungkap kepuasan seseorang terkait dengan berbagai hal, seperti standar hidup, kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran survei, salah satu daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di negeri kangguru itu.
Terus kata Andrias, ia idak tahu seberapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam kategori kelas menengah di Sydney. Juga tidak terlalu jelas baginya berapa jumlah uang yang dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman Queensland, sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu, berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai ”luar biasa kaya”? Tapi semua tidak menjamin seseorang untuk bahagia.
Menarik sekali data yang dikutip Andrias tersebut. Bahwa kebahagian tidaklah semata-mata hanya dimiliki orang kaya saja, bahkan bukan tidak mungkin jika dilakukan survei di Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya mana yang lebih bahagia orang yang tingkat pendapatannya di atas Rp. 1 juta lebih bahagia dari mereka yang punya pendapatan lebih kecil dari itu? Jawaban yang didapatkan bukan tidak mungkin mungkin lebih bahagia orang yang pendapatannya lebih di bawah Rp. 1 juta. Kenapa? Karena ukuran kebahagian bukan dilihat dari harta seseorang, tetapi ukuran kebahagian berada di dalam hati. Besar pun rumahnya, tetapi hatinya ‘sempit’ maka hidupnya akan terasa susah saja, tetapi walaupun rumahnya kecil hanya dengan ukuran 4 x 3 meter tetapi hatinya lapang ikhlas menerima apa yang diberikan Allah, maka rumah yang sempit itu akan terasa lapang.
Sering kita mendengar para selebritis (orang-orang yang terkenal) hidupnya tidak bahagia. Bahkan tidak jarang di antara mereka ‘menceburkan’ sebagai pengguna barang-barang laknat. Karena mereka tidak mendapatkan kebahagian yang hakiki. Bagi mereka kebahagian yang mereka dapatkan hanya semu. Sehingga mereka harus ‘melacurkan’ diri menggunakan narkoba. Nau’uzubillahi min zhalik.
Seandainya ada kesempatan saya untuk memewancarai para tokoh-tokoh terkenal, yang bergelimang harta dan kedudukan, maka pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah Anda bahagia?
Mungkin jawaban yang mereka lontarkan ada yang menjawab bahagia ada juga yang menjawab dengan jujur bahwa sesungguhnya mereka tidak bahagia. Jadi bukan otomatis orang yang diberi banyak harta, diberi kedudukan tinggi hidupnya bahagia, sementara orang yang tidak diberi kedudukan apa-apa atau hanya mempunyai harta sedikit tidak bahagia.
Beberapa tayangan reality show sering memunculkan kehidupan masyarakat kaum pinggiran. Ada sesuatu yang membuat kita harus mengucap subhanallah. Mereka yang hidup digaris kemiskinan tersebut rupanya memiliki makna hidup yang sebenarnya. Mereka tidak mengeluh dengan apa yang mereka dapatkan, walaupun mereka harus banting tulang dan bekerja mulai dari pagi hingga malam. Bagi mereka uang Rp. 5000 sangat berharga untuk ‘menyambung hidup’ mereka. Tetapi mereka bersyukur dengan rejeki yang mereka dapatkan.
Terus terang saya sering menitikkan air mata, ketika tayangan reality show ini saya tonton. Ada sebuah kekuatan yang mencoba menyadarkan kita betapa sayangnya Allah kepada makhluknya. Namun banyak diantara kita yang lalai.
Masyarakat kaum pinggiran tersebut tidak mengeluh bahkan ketika mereka ditanya perasaannya mereka merasa sangat bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani.
Sementara kita, yang diberi rejeki lebih banyak dari mereka, apakah mereka merasa bersyukur atau bahagia? Hanya Anda dan saya saja yang tahu jawabannya.
Oleh karena itu, kebahagian tidak bisa dibeli dengan uang atau emas, karena kebahagian datang dari lubuk hati yang bersih dan lapang. Jadi jika Anda mau bahagia bukan harus punya harta yang banyak baru Anda bahagia, atau Anda harus hidup miskin baru bahagia. Kebahagian akan datang jika hati ini benar-benar ‘lapang’ menerima apa yang diberikan Allah, tidak mengeluh dan tidak mencoba membanding-bandingkannya dengan orang lain.
”Pengaruh uang pada kebahagiaan nyatanya hanya terasa pada golongan yang luar biasa kaya,” kata Liz Eckerman, peneliti dari Universitas Deakin, seperti dikutip kantor berita AFP, Senin (13/2).
”Uang tak bisa membeli kebahagiaan. Ini jelas terbukti dalam jajak pendapat yang kami lakukan pada 23.000 warga yang sudah kami wawancarai,” kata Eckerman kepada Radio Australia, ABC.
Temuan-temuan yang disusun sejak tahun 2001 menunjukkan bahwa di Australia, negara dimana tak ada kesenjangan kemakmuran yang ekstrem, mereka yang hidup paling bahagia ada di lapisan bawah. Mereka yang happy juga lebih banyak berada dalam kategori usia 55 tahun atau lebih, lebih banyak di antara kaum perempuan, dan kebanyakan pula ada di antara mereka yang menikah alias yang tak men-jomblo.
Survei ditujukan untuk mengungkap kepuasan seseorang terkait dengan berbagai hal, seperti standar hidup, kesehatan, pencapaian dalam hidup, dan keamanan. Di antara 150 daerah sasaran survei, salah satu daerah termiskin di Australia, yakni Wide Bay di pedalaman Queensland, penduduknya ternyata termasuk yang paling bahagia di negeri kangguru itu.
Terus kata Andrias, ia idak tahu seberapa banyak uang yang harus dimiliki seseorang untuk bisa masuk dalam kategori kelas menengah di Sydney. Juga tidak terlalu jelas baginya berapa jumlah uang yang dimiliki oleh rata-rata penduduk Wide bay di pedalaman Queensland, sehingga mereka disebut daerah termiskin di negara tersebut. Lalu, berapa pula harta yang dimiliki seseorang agar bisa disebut Eckerman sebagai ”luar biasa kaya”? Tapi semua tidak menjamin seseorang untuk bahagia.
Menarik sekali data yang dikutip Andrias tersebut. Bahwa kebahagian tidaklah semata-mata hanya dimiliki orang kaya saja, bahkan bukan tidak mungkin jika dilakukan survei di Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya mana yang lebih bahagia orang yang tingkat pendapatannya di atas Rp. 1 juta lebih bahagia dari mereka yang punya pendapatan lebih kecil dari itu? Jawaban yang didapatkan bukan tidak mungkin mungkin lebih bahagia orang yang pendapatannya lebih di bawah Rp. 1 juta. Kenapa? Karena ukuran kebahagian bukan dilihat dari harta seseorang, tetapi ukuran kebahagian berada di dalam hati. Besar pun rumahnya, tetapi hatinya ‘sempit’ maka hidupnya akan terasa susah saja, tetapi walaupun rumahnya kecil hanya dengan ukuran 4 x 3 meter tetapi hatinya lapang ikhlas menerima apa yang diberikan Allah, maka rumah yang sempit itu akan terasa lapang.
Sering kita mendengar para selebritis (orang-orang yang terkenal) hidupnya tidak bahagia. Bahkan tidak jarang di antara mereka ‘menceburkan’ sebagai pengguna barang-barang laknat. Karena mereka tidak mendapatkan kebahagian yang hakiki. Bagi mereka kebahagian yang mereka dapatkan hanya semu. Sehingga mereka harus ‘melacurkan’ diri menggunakan narkoba. Nau’uzubillahi min zhalik.
Seandainya ada kesempatan saya untuk memewancarai para tokoh-tokoh terkenal, yang bergelimang harta dan kedudukan, maka pertanyaan yang saya ajukan adalah apakah Anda bahagia?
Mungkin jawaban yang mereka lontarkan ada yang menjawab bahagia ada juga yang menjawab dengan jujur bahwa sesungguhnya mereka tidak bahagia. Jadi bukan otomatis orang yang diberi banyak harta, diberi kedudukan tinggi hidupnya bahagia, sementara orang yang tidak diberi kedudukan apa-apa atau hanya mempunyai harta sedikit tidak bahagia.
Beberapa tayangan reality show sering memunculkan kehidupan masyarakat kaum pinggiran. Ada sesuatu yang membuat kita harus mengucap subhanallah. Mereka yang hidup digaris kemiskinan tersebut rupanya memiliki makna hidup yang sebenarnya. Mereka tidak mengeluh dengan apa yang mereka dapatkan, walaupun mereka harus banting tulang dan bekerja mulai dari pagi hingga malam. Bagi mereka uang Rp. 5000 sangat berharga untuk ‘menyambung hidup’ mereka. Tetapi mereka bersyukur dengan rejeki yang mereka dapatkan.
Terus terang saya sering menitikkan air mata, ketika tayangan reality show ini saya tonton. Ada sebuah kekuatan yang mencoba menyadarkan kita betapa sayangnya Allah kepada makhluknya. Namun banyak diantara kita yang lalai.
Masyarakat kaum pinggiran tersebut tidak mengeluh bahkan ketika mereka ditanya perasaannya mereka merasa sangat bahagia dengan kehidupan yang mereka jalani.
Sementara kita, yang diberi rejeki lebih banyak dari mereka, apakah mereka merasa bersyukur atau bahagia? Hanya Anda dan saya saja yang tahu jawabannya.
Oleh karena itu, kebahagian tidak bisa dibeli dengan uang atau emas, karena kebahagian datang dari lubuk hati yang bersih dan lapang. Jadi jika Anda mau bahagia bukan harus punya harta yang banyak baru Anda bahagia, atau Anda harus hidup miskin baru bahagia. Kebahagian akan datang jika hati ini benar-benar ‘lapang’ menerima apa yang diberikan Allah, tidak mengeluh dan tidak mencoba membanding-bandingkannya dengan orang lain.