Kalina
Moderator
Sudahlah, aku sudah capek. Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku sudah lelah dengan hidup ini. Aku ingin mengakhiri hidup ini untuk selamanya. Rumahku selalu ramai oleh pertengkaran ayah dan ibuku. Kuliahku berantakan. Teman-temanku membenciku. Mereka bilang aku adalah anak yang sombong.
Saudara-saudara ayah dan ibuku tak mau tahu tentang mereka. Rumahku seperti neraka bagiku. Kampus seperti neraka bagiku. Dunia adalah neraka bagiku.
Sudahlah, aku sudah capek nilai semesterku jeblok. Aku dimarahi orang tuaku lagi. Tinggal dua hari lagi aku akan di drop-out dari kampus. Sudah begitu, jalanan macet lagi. Aku memandangi setir mobilku dengan pandangan kosong. Tiba-tiba ada yang menyapaku.
"Mbak, ngelamun aja. Ayamku aja ngelamun terus, besoknya mati lho Mbak..." Seorang tua, sepertinya sudah 50 tahunan. Dia mengendarai motor, tepat di samping mobilku.
Mobil-mobil berseliweran di sampingnya dari arah berlawanan. Dia tersenyum kepadaku. "Macet ya Mbak, tapi nggak usah terlalu dipikirin, toh sampeyan adem-adem saja di dalam mobil. Lha saya ini pake sepeda motor, kepanasan, he he he..." Siapa orang tua ini, pikirku. Aku buka jendela mobilku dan aku balas senyumannya.
"Mbak, gak usah dipaksakan senyumnya. Saya sudah tua, saya tahu persis batin seseorang hanya dari mukanya. Mbak kelihatan sedih, kenapa?" tanyanya tiba-tiba.
"Ah, nggak kok Pak," jawabku tekejut, kok dia tahu ya?
"Iya nih Pak, aku lagi suntuk, rasanya mau mati aja," jawabku. Pikirku, Iho kok malah curhat?
"Lho, ngapain mati segala, ada masalah toh? Sampeyan kan masih muda, tenang aja Mbak, semua masalah ada jalan keluarnya kok," jawabnya santai.
"Masalahku udah sangat besar sekali Pak. Rasanya, aku sudah nggak kuat lagi. Sudah nggak ada jalan keluar lagi," kataku sambil terisak isak.
"Orang tuaku selalu bertengkar tiap hari. Bulan depan, mereka kayaknya akan cerai. Kuliahku berantakan, dua hari lagi aku akan di-DO. Teman-temanku meninggalkanku. Aku hancur. Aku tak punya masa depan. Aku tak punya harapan lagi."
"Harapan itu selalu ada," sahut bapak itu. "Saya juga pernah merasakan jadi muda Mbak. Saya datang dari desa, ada aja masalah. Saya pernah kelaparan, dua minggu tidak makan. Dua minggu Iho Mbak, sampeyan bisa bayangin. Saya pernah merasa hancur seperti Mbak. Saya juga pernah merasa putus harapan seperti mbak."
"Kemudian saya bertemu seseorang. Seseorang itu telah memberi harapan baru kepada saya. Saya diberi sesuatu. Sesuatu yang membuatku bertahan hingga akhir ini," lanjutnya.
"Sesuatu itu adalah sebuah kalimat."
"Pandanglah ke depan. Hanya pandang ke depan. Jangan pernah berpaling. Jangan pernah menoleh. Hadapilah apa yang ada di depanmu. Lupakanlah segala masalah. Masalah akan berlalu. Masalah pasti akan berlalu."
Aku tertegun mendengar pernyataan orang tua itu. Kata-katanya menusuk hatiku, tulangku hingga ke sumsum tulang belakangku. Dia benar. Aku harus menghadapi semua ini. Semua pasti ada jalan, pikirku.
Aku tersenyum padanya, orang tua itu balas tersenyum padaku. Sekitar lima menit, aku tertegun. Aku terpaku. Aku tidak bisa berkata apa pun. Tiba-tiba aku merasakan guncangan di tubuhku.
Kejadian itu begitu cepat, aku hanya melihat tubuh bapak itu terhempas sebuah truk yang tiba-tiba datang dari depan. Suara benturan, cipratan darah, dan teriakan serta jeritan orang-orang yang menyaksikannya. Suara itu tertuju kepadaku. Bukan kepada apa yang telah kusaksikan.
Sesaat aku tersadar. Aku melihat pakaianku, merah. Aku mengusap keningku, kemudian pipiku. Aku memandang tanganku, merah. Merah gelap. Itu warna darah. Aku terkesiap. Perutku mual. Aku pun menjerit. "Kyaaaaaaa..." Kemudian pandanganku menggelap. Aku tak sadarkan diri dalam waktu yang lama.
Orang-orang berkata, "Kenapa nggak dia tutup saja jendelanya, dasar bodoh."
Saudara-saudara ayah dan ibuku tak mau tahu tentang mereka. Rumahku seperti neraka bagiku. Kampus seperti neraka bagiku. Dunia adalah neraka bagiku.
Sudahlah, aku sudah capek nilai semesterku jeblok. Aku dimarahi orang tuaku lagi. Tinggal dua hari lagi aku akan di drop-out dari kampus. Sudah begitu, jalanan macet lagi. Aku memandangi setir mobilku dengan pandangan kosong. Tiba-tiba ada yang menyapaku.
"Mbak, ngelamun aja. Ayamku aja ngelamun terus, besoknya mati lho Mbak..." Seorang tua, sepertinya sudah 50 tahunan. Dia mengendarai motor, tepat di samping mobilku.
Mobil-mobil berseliweran di sampingnya dari arah berlawanan. Dia tersenyum kepadaku. "Macet ya Mbak, tapi nggak usah terlalu dipikirin, toh sampeyan adem-adem saja di dalam mobil. Lha saya ini pake sepeda motor, kepanasan, he he he..." Siapa orang tua ini, pikirku. Aku buka jendela mobilku dan aku balas senyumannya.
"Mbak, gak usah dipaksakan senyumnya. Saya sudah tua, saya tahu persis batin seseorang hanya dari mukanya. Mbak kelihatan sedih, kenapa?" tanyanya tiba-tiba.
"Ah, nggak kok Pak," jawabku tekejut, kok dia tahu ya?
"Iya nih Pak, aku lagi suntuk, rasanya mau mati aja," jawabku. Pikirku, Iho kok malah curhat?
"Lho, ngapain mati segala, ada masalah toh? Sampeyan kan masih muda, tenang aja Mbak, semua masalah ada jalan keluarnya kok," jawabnya santai.
"Masalahku udah sangat besar sekali Pak. Rasanya, aku sudah nggak kuat lagi. Sudah nggak ada jalan keluar lagi," kataku sambil terisak isak.
"Orang tuaku selalu bertengkar tiap hari. Bulan depan, mereka kayaknya akan cerai. Kuliahku berantakan, dua hari lagi aku akan di-DO. Teman-temanku meninggalkanku. Aku hancur. Aku tak punya masa depan. Aku tak punya harapan lagi."
"Harapan itu selalu ada," sahut bapak itu. "Saya juga pernah merasakan jadi muda Mbak. Saya datang dari desa, ada aja masalah. Saya pernah kelaparan, dua minggu tidak makan. Dua minggu Iho Mbak, sampeyan bisa bayangin. Saya pernah merasa hancur seperti Mbak. Saya juga pernah merasa putus harapan seperti mbak."
"Kemudian saya bertemu seseorang. Seseorang itu telah memberi harapan baru kepada saya. Saya diberi sesuatu. Sesuatu yang membuatku bertahan hingga akhir ini," lanjutnya.
"Sesuatu itu adalah sebuah kalimat."
"Pandanglah ke depan. Hanya pandang ke depan. Jangan pernah berpaling. Jangan pernah menoleh. Hadapilah apa yang ada di depanmu. Lupakanlah segala masalah. Masalah akan berlalu. Masalah pasti akan berlalu."
Aku tertegun mendengar pernyataan orang tua itu. Kata-katanya menusuk hatiku, tulangku hingga ke sumsum tulang belakangku. Dia benar. Aku harus menghadapi semua ini. Semua pasti ada jalan, pikirku.
Aku tersenyum padanya, orang tua itu balas tersenyum padaku. Sekitar lima menit, aku tertegun. Aku terpaku. Aku tidak bisa berkata apa pun. Tiba-tiba aku merasakan guncangan di tubuhku.
Kejadian itu begitu cepat, aku hanya melihat tubuh bapak itu terhempas sebuah truk yang tiba-tiba datang dari depan. Suara benturan, cipratan darah, dan teriakan serta jeritan orang-orang yang menyaksikannya. Suara itu tertuju kepadaku. Bukan kepada apa yang telah kusaksikan.
Sesaat aku tersadar. Aku melihat pakaianku, merah. Aku mengusap keningku, kemudian pipiku. Aku memandang tanganku, merah. Merah gelap. Itu warna darah. Aku terkesiap. Perutku mual. Aku pun menjerit. "Kyaaaaaaa..." Kemudian pandanganku menggelap. Aku tak sadarkan diri dalam waktu yang lama.
Orang-orang berkata, "Kenapa nggak dia tutup saja jendelanya, dasar bodoh."