coddink
New member
Reno merasakan, bahwa pertemuannya dengan dokter muda itu telah mampu menggoreskan kesan yang teramat dalam. Sebuah pertemuan yang singkat disebuah warung pangsit milik mas Jono dua minggu yang lalu. Pertemuan yang telah meninggalkan gurat-gurat kenangan.
Dua pekan waktu telah berlalu dan selama itu pula perasaan Reno kerap diliputi oleh kerinduan ingin bersua. Dahsyatnya daya dorong sebuah keinginan telah memaksanya untuk melakukan sebuah aktivitas murahan, setiap hari mesti nongkrong di warung pangsitnya mas Jono.
Pagi itu, dua minggu yang lalu, kerinduannya untuk mencicipi pangsit mas Jono teramat besar. Sebelum ke kampusnya, Reno segera mengarahkan sepeda motornya menuju warung mas Jono didalam kampus UNHAS Baraya.
“ Masih ada bakso gorengnya mas ?” tanya Reno sambil memarkir motornya.
“ Masih mas… tapi sisa delapan biji tuh…!” jawab mas Jono sambil memasukkan mie dan sayur kedalam panci masak didepannya.
Dengan bersemangat, Reno meraih piring kecil lalu bersiap-siap untuk memborong seluruh bakso goreng yang masih tersisa. Namun tangannya seketika berhenti memasukkan bakso goreng kedalam piringnya ketika seorang mahasiswi kedokteran juga mencari bakso goreng.
“ Bulat-bulat gorengnya masih ada mas..!” tanya mahasiswi itu dengan suara pelan. Empat bakso goreng yang sudah berada dalam genggamannya, akhirnya ia simpan kembali. Reno merasa bahwa rasa kemanusiaannya sedang diuji, ia terpaksa merelakan empat bakso goreng yang masih tersisa, padahal keinginannya untuk menikmati bakso goreng itu sangat besar. Reno mengarahkan wajahnya kepada mahasiswi kedokteran yang rambutnya dikuncir ala ekor kuda, lalu beranjak menuju meja panjang yang letaknya dibelakang. Dinikmatinya bakso goreng itu sambil menunggu pangsitnya datang. Kriuk…kriuk…itulah bakso goreng mas Jono ketika sudah berada didalam mulut. Kembali pandangannya tertuju ke arah mahasiswi kedokteran yang tubuh indahnya dibalut dengan jas putih khas dokter. Ada pesona yang memancar yang dirasakan oleh Reno tiap kali ia memandangnya. Pangsit dan bakso goreng kriuk…kriuknya mas Jono, kenikmatannya tiba-tiba berkurang acap kali mata Reno menggerayangi setiap sudut keindahan yang dimiliki dokter muda itu. Wanita itu duduk tepat dihadapanya dengan sejuta pesona. Rezky, nama itu begitu indah dengan sulaman benang warna hijau didada kanan. Disebelah kiri jasnya ada sulaman dengan warna yang sama bertuliskan dokter muda.
Dua minggu waktu telah berlalu, namun penantiannya tak kunjung membuahkan hasil. Reno bersyukur karena didalam memorinya masih tersimpan dengan utuh sketsa wajah dokter muda Rezky. Untuk menghilangkan jelak yang menderanya, ia akhirnya memutuskan untuk menyibukkan dirinya dalam keheningan perpustakaan Al Markas.
Matanya terus beputar-putar menyusuri setiap sudut mencari meja kosong, namun ia tidak menemukannya sebab setiap meja telah diisi oleh 1,2 hingga 4 orang. Di pojok sebelah kanannya ia melihat sebuah meja, hanya ada seorang perempuan yang sedang serius membaca. Reno menarik kursi lalu duduk tanpa menghiraukan wanita yang sedang duduk dihadapannya. Kini ia telah larut dalam alur tulisan yang berbau filsafat sosial, sesekali keningnya terlihat agak berkerut ketika kosmos pikirannya mendeteksi ada sepotong kalimat yang sulit untuk dicerna oleh akalnya. Pengembaraan imajinasinya di alam filsafat seketika buyar, berantakan oleh bunyi dering handphone wanita yang sedang duduk didepannya. Perempuan itu terdengar berusaha menekan volume suaranya menjawab telepon. Kejengkelannya seketika membuncah. Dari buku notesnya disobeknya selembar lalu ia membubuhi tulisan, “ INI PERPUSTAKAAN NON… SUARA HP-NYA TOLONG DI KECILKAN….!!!!” Reno lalu menyodorkan kertas itu tanpa menglihkan pandangannya dari buku yang kini telah kembali ia nikmati. Wanita itu memperhatikan kertas yang disodorkan oleh Reno tanpa perubahan expresi, ia terlihat menambahkan tulisan dibawah tulisannya Reno, lalu iapun melakukan hal yang sama.
“MAAF… KALAU ANDA MERASA TERGANGGU…. MASIH BANYAK MEJA KOSONG KOK… SILAHKAN…!!!!”
Merasa peringatannya tidak digubris, Reno lalu meletakkan buku yang sedang dibacanya sedikit keras. Wanita itu cuek saja, sedikitpun ia tidak kelihatan terganggu. Reno bersinggit sedikit dari posisinya, sudah siap dengan amunisi kejengkelannya. Tapi ketika matanya mendeteksi utuh sosok wanita yang ada didepannya, refleks amunisi yang sudah berada dimoncongnya akhirnya ia telan kembali. Wanita itu terlihat santai. Dialah dokter muda Rezky, wanita yang dua pekan ini telah menggerogoti kemerdekaannya. Rasa jengkel yang meluap-luap seketika surut. Reno jadi salah tingkah. Wanita itu mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu. Reno dapat merasakan keindahan telaga Surga yang memancar dari bening mata itu.
“ Kenapa memandang saya seperti itu ? kalau anda merasa terganggu silahkan cari meja yang lain, tuh sudah ada meja yang kosong !” ucapnya sambil menunjuk sebuah meja kosong.
“ Bukankah sebelumnya kita sudah pernah bertemu di warung pangsitnya mas Jono !” seru Reno.
“ Kalau iya… memangnya kenapa ?” suaranya datar.
“ Nama kamu Rezky kan ?”
Matanya seketika melotot dengan sorot keheranan ketika Reno menyebutkan namanya.
“ Darimana kamu tahu nama saya?”
“ Itu tidak penting.” Jawab Reno sambil membolak-balik halaman buku yang ada didepannya.
Rezky masih memandanginya dengan sorot penasaran. Reno sedikitpun tidak menghiraukannya, ia kembali melanjutkan bacaannya, “ Kamu lupa ya… waktu itu kamu memakai jas putih yang didada kanannya ada sulaman yang bertuliskan namamu !” ujar Reno tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya.
“ Astaga… iya…yah… sampai lupa.“
“ Kasihan, masih muda tapi sudah pikun !”
Rezky diam saja, hanya bola matanya yang hitam sesekali melirik kearah Reno dengan sorot yang sulit diinterpretasikan maknanya.
“ Forensiknya sudah selesai ya ?” tanya Reno.
“ Iya, tinggal ujian.” jawabnya datar.
“ Sebentar lagi jadi dokter ya.”
“ He-eh.!”
Itulah pertemuannya yang terakhir dengan dokter muda itu. Reno menghempaskan tubuhnya ketempat tidur. Caravansary milik Kitaro masih mengalun dari speaker computer. Matanya menerawang dilangit-langit kamarnya, Sebuah kenangan yang telah mengkristal diatas piala kerinduannya, “ Rezky… dimanakah engkau kini ?” gumamnya lirih. Reno menggeliat dalam desah gelisah, “ mungkinkah kita akan bertemu lagi ?
Hari-hari yang menyelinap pergi, alangkah cepatnya, bahkan terasa bagai renggutan kasar. Kerinduan yang membilas-bilas, membuat Reno bolak-balik dari tempat tidur ke jendela, sedang diluar angin menampar daun-daun. Rezki, ucapnya pelan, engkau telah menyita seluruh kesadaranku. Ia mengepulkan asap tembakaunya membiarkan sepi menyelungkupnya dalam kesendirian di kamar itu. Matanya sangat ingin menangkap bayangan yang dapat menghalau rusuh yang bergalauan di dada. Hanya kelam, langlai di bingkai sepi, sepotong kata yang tak pernah larai “REZKI AKU MENCINTAIMU HARI INI DAN SELAMANYA….!!!!!!!!!
Makassar 14 agustus 2007
Dua pekan waktu telah berlalu dan selama itu pula perasaan Reno kerap diliputi oleh kerinduan ingin bersua. Dahsyatnya daya dorong sebuah keinginan telah memaksanya untuk melakukan sebuah aktivitas murahan, setiap hari mesti nongkrong di warung pangsitnya mas Jono.
Pagi itu, dua minggu yang lalu, kerinduannya untuk mencicipi pangsit mas Jono teramat besar. Sebelum ke kampusnya, Reno segera mengarahkan sepeda motornya menuju warung mas Jono didalam kampus UNHAS Baraya.
“ Masih ada bakso gorengnya mas ?” tanya Reno sambil memarkir motornya.
“ Masih mas… tapi sisa delapan biji tuh…!” jawab mas Jono sambil memasukkan mie dan sayur kedalam panci masak didepannya.
Dengan bersemangat, Reno meraih piring kecil lalu bersiap-siap untuk memborong seluruh bakso goreng yang masih tersisa. Namun tangannya seketika berhenti memasukkan bakso goreng kedalam piringnya ketika seorang mahasiswi kedokteran juga mencari bakso goreng.
“ Bulat-bulat gorengnya masih ada mas..!” tanya mahasiswi itu dengan suara pelan. Empat bakso goreng yang sudah berada dalam genggamannya, akhirnya ia simpan kembali. Reno merasa bahwa rasa kemanusiaannya sedang diuji, ia terpaksa merelakan empat bakso goreng yang masih tersisa, padahal keinginannya untuk menikmati bakso goreng itu sangat besar. Reno mengarahkan wajahnya kepada mahasiswi kedokteran yang rambutnya dikuncir ala ekor kuda, lalu beranjak menuju meja panjang yang letaknya dibelakang. Dinikmatinya bakso goreng itu sambil menunggu pangsitnya datang. Kriuk…kriuk…itulah bakso goreng mas Jono ketika sudah berada didalam mulut. Kembali pandangannya tertuju ke arah mahasiswi kedokteran yang tubuh indahnya dibalut dengan jas putih khas dokter. Ada pesona yang memancar yang dirasakan oleh Reno tiap kali ia memandangnya. Pangsit dan bakso goreng kriuk…kriuknya mas Jono, kenikmatannya tiba-tiba berkurang acap kali mata Reno menggerayangi setiap sudut keindahan yang dimiliki dokter muda itu. Wanita itu duduk tepat dihadapanya dengan sejuta pesona. Rezky, nama itu begitu indah dengan sulaman benang warna hijau didada kanan. Disebelah kiri jasnya ada sulaman dengan warna yang sama bertuliskan dokter muda.
Dua minggu waktu telah berlalu, namun penantiannya tak kunjung membuahkan hasil. Reno bersyukur karena didalam memorinya masih tersimpan dengan utuh sketsa wajah dokter muda Rezky. Untuk menghilangkan jelak yang menderanya, ia akhirnya memutuskan untuk menyibukkan dirinya dalam keheningan perpustakaan Al Markas.
Matanya terus beputar-putar menyusuri setiap sudut mencari meja kosong, namun ia tidak menemukannya sebab setiap meja telah diisi oleh 1,2 hingga 4 orang. Di pojok sebelah kanannya ia melihat sebuah meja, hanya ada seorang perempuan yang sedang serius membaca. Reno menarik kursi lalu duduk tanpa menghiraukan wanita yang sedang duduk dihadapannya. Kini ia telah larut dalam alur tulisan yang berbau filsafat sosial, sesekali keningnya terlihat agak berkerut ketika kosmos pikirannya mendeteksi ada sepotong kalimat yang sulit untuk dicerna oleh akalnya. Pengembaraan imajinasinya di alam filsafat seketika buyar, berantakan oleh bunyi dering handphone wanita yang sedang duduk didepannya. Perempuan itu terdengar berusaha menekan volume suaranya menjawab telepon. Kejengkelannya seketika membuncah. Dari buku notesnya disobeknya selembar lalu ia membubuhi tulisan, “ INI PERPUSTAKAAN NON… SUARA HP-NYA TOLONG DI KECILKAN….!!!!” Reno lalu menyodorkan kertas itu tanpa menglihkan pandangannya dari buku yang kini telah kembali ia nikmati. Wanita itu memperhatikan kertas yang disodorkan oleh Reno tanpa perubahan expresi, ia terlihat menambahkan tulisan dibawah tulisannya Reno, lalu iapun melakukan hal yang sama.
“MAAF… KALAU ANDA MERASA TERGANGGU…. MASIH BANYAK MEJA KOSONG KOK… SILAHKAN…!!!!”
Merasa peringatannya tidak digubris, Reno lalu meletakkan buku yang sedang dibacanya sedikit keras. Wanita itu cuek saja, sedikitpun ia tidak kelihatan terganggu. Reno bersinggit sedikit dari posisinya, sudah siap dengan amunisi kejengkelannya. Tapi ketika matanya mendeteksi utuh sosok wanita yang ada didepannya, refleks amunisi yang sudah berada dimoncongnya akhirnya ia telan kembali. Wanita itu terlihat santai. Dialah dokter muda Rezky, wanita yang dua pekan ini telah menggerogoti kemerdekaannya. Rasa jengkel yang meluap-luap seketika surut. Reno jadi salah tingkah. Wanita itu mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu. Reno dapat merasakan keindahan telaga Surga yang memancar dari bening mata itu.
“ Kenapa memandang saya seperti itu ? kalau anda merasa terganggu silahkan cari meja yang lain, tuh sudah ada meja yang kosong !” ucapnya sambil menunjuk sebuah meja kosong.
“ Bukankah sebelumnya kita sudah pernah bertemu di warung pangsitnya mas Jono !” seru Reno.
“ Kalau iya… memangnya kenapa ?” suaranya datar.
“ Nama kamu Rezky kan ?”
Matanya seketika melotot dengan sorot keheranan ketika Reno menyebutkan namanya.
“ Darimana kamu tahu nama saya?”
“ Itu tidak penting.” Jawab Reno sambil membolak-balik halaman buku yang ada didepannya.
Rezky masih memandanginya dengan sorot penasaran. Reno sedikitpun tidak menghiraukannya, ia kembali melanjutkan bacaannya, “ Kamu lupa ya… waktu itu kamu memakai jas putih yang didada kanannya ada sulaman yang bertuliskan namamu !” ujar Reno tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dibacanya.
“ Astaga… iya…yah… sampai lupa.“
“ Kasihan, masih muda tapi sudah pikun !”
Rezky diam saja, hanya bola matanya yang hitam sesekali melirik kearah Reno dengan sorot yang sulit diinterpretasikan maknanya.
“ Forensiknya sudah selesai ya ?” tanya Reno.
“ Iya, tinggal ujian.” jawabnya datar.
“ Sebentar lagi jadi dokter ya.”
“ He-eh.!”
Itulah pertemuannya yang terakhir dengan dokter muda itu. Reno menghempaskan tubuhnya ketempat tidur. Caravansary milik Kitaro masih mengalun dari speaker computer. Matanya menerawang dilangit-langit kamarnya, Sebuah kenangan yang telah mengkristal diatas piala kerinduannya, “ Rezky… dimanakah engkau kini ?” gumamnya lirih. Reno menggeliat dalam desah gelisah, “ mungkinkah kita akan bertemu lagi ?
Hari-hari yang menyelinap pergi, alangkah cepatnya, bahkan terasa bagai renggutan kasar. Kerinduan yang membilas-bilas, membuat Reno bolak-balik dari tempat tidur ke jendela, sedang diluar angin menampar daun-daun. Rezki, ucapnya pelan, engkau telah menyita seluruh kesadaranku. Ia mengepulkan asap tembakaunya membiarkan sepi menyelungkupnya dalam kesendirian di kamar itu. Matanya sangat ingin menangkap bayangan yang dapat menghalau rusuh yang bergalauan di dada. Hanya kelam, langlai di bingkai sepi, sepotong kata yang tak pernah larai “REZKI AKU MENCINTAIMU HARI INI DAN SELAMANYA….!!!!!!!!!
Makassar 14 agustus 2007