Church Without Walls

dixie

New member
Church Without Walls

Ada satu buku yang saya baca ketika saya berada di Taipei beberapa waktu
lalu, judulnya: 'Church Without Walls.' Saya pinjam buku ini dari seorang
misionaris asal Jepang yang sudah lebih dari 20 tahun di Taipei. Saya
tinggal bersama keluarga ini selama 1 minggu sebelum pergi ke suatu
konferensi yang saya ikuti di sana. Tetangga di apartemennya juga ada
seorang misionaris asal Korea Selatan yang bekerja pada suatu lembaga misi
mahasiswa.

Ada satu pertanyaan menarik dari buku itu: sebetulnya, apa yang membangun
gereja? Gedungnya, programnya, atau orang-orangnya? Jemaat pertama tidak
punya gedung gereja, Yesus berkhotbah di padang rumput dan bukit.
Manusialah yang membangun gereja, karena tiap orang percaya adalah 'bait
Allah', dan bukan gedung yang membangun orang. Kita lebih banyak investasi
dan menghargai gedung dari pada manusianya. Konsep gereja mungkin diambil
dari konsep 'bait Allah' Yahudi. Bukan di Sinai atau Yerusalem kita harus
menyembah Tuhan, tapi di hidup kita, hati kita. Jika 'bait Allah' Yahudi
membutuhkan imam, maka di perjanjian baru, kitalah imam-imamnya secara
rohani, yang tidak membutuhkan mezbah atau 'bait Allah' untuk beribadah,
digantikan oleh hidup kita setiap waktu.

Bahkan, jika berani, pertanyakan gedung gereja atau gereja sekalipun. Kita
harus punya pikiran untuk membuat sesuatu sesuai tujuan. Jika sudah tidak
sesuai tujuan, ya bentukan itu tinggalkan saja, ganti dengan yang sesuai
tujuan itu. Jangan karena kita sudah investasi banyak di sana, lalu kita
mengarang tujuan-tujuan baru yang tidak sesuai tujuan Tuhan. Kristen itu
harus 'Christ centered life', bukan 'church centered'.

Saya banyak berdiskusi dengan misionaris asal Korea Selatan itu yang sudah
bertahun-tahun di Taipei. Dia juga punya hasil riset beberapa lembaga misi
tentang mengapa sulit untuk menginjili di Taiwan dan Jepang yang punya
kasus mirip. Di Taiwan hanya ada 2% 'orang Kristen' dari 22 juta
penduduknya. Gereja di sana cukup banyak, tapi menurut hasil riset itu
kebanyakan strukturnya sudah 'membatu' sekeras tembok gedungnya, sudah
tidak misioner dan kontekstual lagi, sehingga hanya berusaha
mempertahankan yang lama, menjadi rutinitas belaka. Hal lain adalah 'orang
Kristen' tidak berbeda dengan orang lainnya, jadi tidak menarik lagi untuk
menjadi seorang yang percaya Kristus. Ditambah kemakmuran yang membuat
'terlena' penduduk di sana.

Di Korea dan Cina daratan, Kristen berhasil masuk dan mempengaruhi banyak
individu, namun mengapa gagal di Taiwan dan Jepang? Jawabannya ada pada
kontekstualisasi Injil sesuai budaya setempat dan hidup 'orang Kristen'
yang jadi 'terang dan garam' di lingkungannya. Kita tidak bisa menerapkan
cara USA pada keadaan di Indonesia misalnya, karena kebudayaannya berbeda,
meski kebudayaan pop USA sudah jadi 'raja' di mana-mana.

Di Taipei, Stephen Tong cukup populer di kalangan Kristen dan sering buat
KKR di sana. Namun dia tidak populer di orang kebanyakan Taiwan. Mereka
tidak kenal Stephen Tong, mereka hanya kenal Kristen dari orang percaya
yang ada di dekat mereka. Ibadah tidak lagi setiap hari Minggu, di gereja,
tetapi di setiap detik hidup kita, di mana saja, dengan orang-orang di
sekitar kita, bahkan dengan orang yang tidak kenal Yesus. (B.N.)
 
Back
Top