Kalina
Moderator
Ketua MA Tanggapi Polemik Revisi PP 37
JAKARTA - Kompromi pemerintah yang memberi tenggat kepada anggota DPRD untuk mengembalikan uang rapel hingga 2009 bisa dibenarkan secara hukum. Keputusan pemerintah sebagai bagian dari revisi PP No 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD tersebut tidak melanggar asas retroaktif.
Hal itu ditegaskan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menanggapi protes sejumlah LSM terkait dengan keputusan pemerintah memberikan kelonggaran kepada DPRD dalam mengembalikan rapel uang tunjangan komunikasi intensif (TKI). Dalam protes itu, seperti yang disampaikan Koordinator Koalisi Nasional Tolak PP 37 Hermawanto, kebijakan mencicil pengembalian rapel tidak berdasar hukum.
Menurut Bagir, jika ditilik dari salah satu asas dalam doktrin hukum administrasi negara, keputusan pemerintah untuk menarik dana yang diberikan sesuai PP 37 sebenarnya bisa dipertanyakan. "Apabila ada putusan tata usaha negara (TUN) yang sudah menguntungkan seseorang atau sekelompok orang, keuntungan itu tak boleh ditarik lagi. Itu asas umum," kata Bagir ketika ditemui setelah melantik dua kepala pengadilan tinggi di gedung MA kemarin.
Meski demikian, tidak ada satu prinsip yang tidak memiliki pengecualian. Menurut Bagir, dalam hukum juga dikenal asas manfaat. Pemberian rapel yang bisa memboroskan uang negara serta melukai rasa keadilan masyarakat harus dilihat dari sisi manfaatnya.
"Kita lihat, jika tidak dikembalikan, rasa keadilan dipertanyakan. Namun, kalau dikembalikan sekaligus, dia (para anggota DPRD, Red) tidak sanggup. Ya sudah, cicil saja," tegasnya.
Keputusan pemerintah mengeluarkan PP 37/2006 lalu merevisinya secara hukum juga tidak salah. "Itu keputusan pemerintah, silakan saja karena masih dalam lingkup pemerintahan," tambahnya.
Hakim agung setengah baya tersebut mengungkapkan, ada kebebasan dalam hukum bagi pemerintah untuk bertindak dalam rangka mencapai sesuatu secara wajar.
Apakah anggota DPRD balik menggugat pemerintah karena dipaksa mengembalikan uang rapel yang telanjur diterima? "Terserah dia, hakim nanti yang memutuskan menang atau tidak," ujarnya.
Setelah diam sesaat, Bagir lalu meralat ucapannya. "Itu sebenarnya bukan urusan pengadilan. Lagi pula perkara yang MA hadapi sudah banyak," tambahnya lalu tertawa.
Di tempat terpisah Menteri Dalam Negeri M. Ma?ruf menegaskan, peraturan menteri dalam negeri tentang mekanisme pengembalian rapel itu sudah siap. "Tapi, menunggu PP itu ditandatangani, nggak mungkin permen (peraturan menteri) kok mendahului PP," katanya di Balai Kartini, Jakarta.
Menurut purnawirawan letnan jenderal TNI itu, selain permendagri, pengembalian itu diatur dalam bentuk peraturan daerah. "Sekarang ini eranya otonomi. Nggak mungkin semuanya dari Jakarta. Jadi, biar DPRD dan pemda yang menentukan," katanya.
Mantan Ketua Tim Sukses SBY-JK itu menambahkan, tim yang terdiri atas Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri masih bekerja untuk memfinalisasi draf baru PP 37/2006. Sampai kapan? "Jangan terburu-buru. Nanti dulu, biar bekerja, " jawabnya.
Pakar Otonomi Daerah UGM Dr Lambang Trijono mengatakan, DPRD masih menjadi korban kebijakan yang tergesa-gesa. "Setelah ada permasalahan hukum, baru pemerintah sadar," katanya.
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian itu menilai kebijakan rapel yang dicicil hingga 2009 merupakan sikap kompromistis SBY. "Semua tentu berhubungan dengan upaya mempertahankan kekuasaan," ujarnya.
Anggota Komisi II (Bidang Pemerintahan) DPR Agus Purnomo menilai kontroversi PP 37 sudah final. Iktikad baik pemerintah untuk memberi waktu bagi anggota DPRD mencicil rapel dianggap wajar. "Masyarakat sudah bosan dengan isu ini. Tak perlu gugat-menggugat. Yang penting kerjanya nyata," kata politikus PKS itu.
JAKARTA - Kompromi pemerintah yang memberi tenggat kepada anggota DPRD untuk mengembalikan uang rapel hingga 2009 bisa dibenarkan secara hukum. Keputusan pemerintah sebagai bagian dari revisi PP No 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD tersebut tidak melanggar asas retroaktif.
Hal itu ditegaskan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menanggapi protes sejumlah LSM terkait dengan keputusan pemerintah memberikan kelonggaran kepada DPRD dalam mengembalikan rapel uang tunjangan komunikasi intensif (TKI). Dalam protes itu, seperti yang disampaikan Koordinator Koalisi Nasional Tolak PP 37 Hermawanto, kebijakan mencicil pengembalian rapel tidak berdasar hukum.
Menurut Bagir, jika ditilik dari salah satu asas dalam doktrin hukum administrasi negara, keputusan pemerintah untuk menarik dana yang diberikan sesuai PP 37 sebenarnya bisa dipertanyakan. "Apabila ada putusan tata usaha negara (TUN) yang sudah menguntungkan seseorang atau sekelompok orang, keuntungan itu tak boleh ditarik lagi. Itu asas umum," kata Bagir ketika ditemui setelah melantik dua kepala pengadilan tinggi di gedung MA kemarin.
Meski demikian, tidak ada satu prinsip yang tidak memiliki pengecualian. Menurut Bagir, dalam hukum juga dikenal asas manfaat. Pemberian rapel yang bisa memboroskan uang negara serta melukai rasa keadilan masyarakat harus dilihat dari sisi manfaatnya.
"Kita lihat, jika tidak dikembalikan, rasa keadilan dipertanyakan. Namun, kalau dikembalikan sekaligus, dia (para anggota DPRD, Red) tidak sanggup. Ya sudah, cicil saja," tegasnya.
Keputusan pemerintah mengeluarkan PP 37/2006 lalu merevisinya secara hukum juga tidak salah. "Itu keputusan pemerintah, silakan saja karena masih dalam lingkup pemerintahan," tambahnya.
Hakim agung setengah baya tersebut mengungkapkan, ada kebebasan dalam hukum bagi pemerintah untuk bertindak dalam rangka mencapai sesuatu secara wajar.
Apakah anggota DPRD balik menggugat pemerintah karena dipaksa mengembalikan uang rapel yang telanjur diterima? "Terserah dia, hakim nanti yang memutuskan menang atau tidak," ujarnya.
Setelah diam sesaat, Bagir lalu meralat ucapannya. "Itu sebenarnya bukan urusan pengadilan. Lagi pula perkara yang MA hadapi sudah banyak," tambahnya lalu tertawa.
Di tempat terpisah Menteri Dalam Negeri M. Ma?ruf menegaskan, peraturan menteri dalam negeri tentang mekanisme pengembalian rapel itu sudah siap. "Tapi, menunggu PP itu ditandatangani, nggak mungkin permen (peraturan menteri) kok mendahului PP," katanya di Balai Kartini, Jakarta.
Menurut purnawirawan letnan jenderal TNI itu, selain permendagri, pengembalian itu diatur dalam bentuk peraturan daerah. "Sekarang ini eranya otonomi. Nggak mungkin semuanya dari Jakarta. Jadi, biar DPRD dan pemda yang menentukan," katanya.
Mantan Ketua Tim Sukses SBY-JK itu menambahkan, tim yang terdiri atas Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri masih bekerja untuk memfinalisasi draf baru PP 37/2006. Sampai kapan? "Jangan terburu-buru. Nanti dulu, biar bekerja, " jawabnya.
Pakar Otonomi Daerah UGM Dr Lambang Trijono mengatakan, DPRD masih menjadi korban kebijakan yang tergesa-gesa. "Setelah ada permasalahan hukum, baru pemerintah sadar," katanya.
Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian itu menilai kebijakan rapel yang dicicil hingga 2009 merupakan sikap kompromistis SBY. "Semua tentu berhubungan dengan upaya mempertahankan kekuasaan," ujarnya.
Anggota Komisi II (Bidang Pemerintahan) DPR Agus Purnomo menilai kontroversi PP 37 sudah final. Iktikad baik pemerintah untuk memberi waktu bagi anggota DPRD mencicil rapel dianggap wajar. "Masyarakat sudah bosan dengan isu ini. Tak perlu gugat-menggugat. Yang penting kerjanya nyata," kata politikus PKS itu.