Curhat ke Kapolri, Polwan Jadi Terdakwa

Dipi76

New member
Penegakan Hukum
Curhat ke Kapolri, Polwan Jadi Terdakwa
K7-11 | Glori K. Wadrianto | Rabu, 3 Agustus 2011 | 13:17 WIB

1250335620X310.jpg

Bripka Tatik Surayni ditemani anaknya Farrel Nazhir Sayyid Ivana saat istirahat di PN Semarang, Rabu (3/8/2011)

SEMARANG, KOMPAS.com — "Ma, aku ngantuk. Nanti habis ini langsung bobok, ya," rengek Farrel Nazhir Sayyid Ivana, 6,5 tahun. "Iya boleh. Kalau sekarang pengin bobok, di mobil aja enggak papa," jawab Bripka Tatik Suryani.

Untunglah polisi perempuan (polwan) berhidung mancung ini tak harus menguras energinya untuk menenangkan Farrel, anaknya semata wayang. Pasalnya, ia harus berjuang di hadapan Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (3/8/2011).

Keduanya lalu tenggelam dalam diam. Barangkali pikiran mereka mengembara ke saat-saat indah ketika AKP Supriyanto, ayah Farrel, masih mendampingi mereka.

Menjadi polwan memang sudah dicita-citakan Tatik sejak kecil. Ia melihat ketidakadilan banyak terjadi dan makin membulatkan tekadnya menjadi polwan. Namun, nyatanya ia bahkan tak mampu melindungi dirinya sendiri, sementara tugas perlindungan masyarakat ia lakukan dengan sepenuh hati.

"Awal kasus ini adalah saat saya dan anak saya ditinggal tugas suami saya. Saat itu suami tak pernah pulang. Dihubungi juga tak bisa, termasuk saat Farrel sakit saat usia dua tahun," kata Bripka Tatik.

Di tengah-tengah kegelisahannya, tiba-tiba ia mendapat kiriman sebuah flashdisk yang berisi foto-foto suaminya tengah bermesraan dengan Ani Widyastuti, seorang pengusaha dan politisi asal Jawa Tengah. Nalurinya sebagai polisi muncul. Ia mencium sesuatu yang tak beres.

"Akhirnya saya mencari tempat mencurahkan isi hati (curhat). Dari banyak teman, tak satu pun yang bisa membuat saya lega. Akhirnya saya curhat kepada Bapak Kapolri, saat itu Bapak Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Isinya ya cuma cerita masalah keluarga saya, dan saya minta petunjuk beliau. Bagaimanapun, saya dan suami adalah anggota Polri," kata Bripka Tatik dengan mata berkaca-kaca.

Seusai menuliskan curhatnya, tak ada kejadian apa pun. Sementara itu, laporannya ke Kepolisian Daerah Jawa Timur tentang perlakuan AKP Supriyanto yang menelantarkannya juga sudah diputus pengadilan dengan vonis pembebasan bagi sang suami.

Namun, pada Oktober 2009, justru muncul panggilan pemeriksaan terhadap dirinya oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah atas perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, dengan pelapor Ani Widyastuti.

Dengan harapan hukum akan ditegakkan, Bripka Tatik menyewa sebuah mobil dan mendatangi Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Mapolda Jateng). "Saya tak tahu pencemaran nama baik seperti apa yang saya lakukan, perbuatan tidak menyenangkan kaya apa yang pernah saya lakukan. Setelah saya pelajari, ternyata semua berawal dari surat curhat saya kepada Pak Kapolri," kata Tatik.

Rabu ini adalah sidang kali kesekian. Agenda utamanya adalah pemeriksaan saksi. Sambil menunggu sidang, Bripka Tatik mencoba menengok ruang jaksa. "Saya kaget setengah mati. Dalam ruang sidang itu ada pelapor, ada suami saya, dan ada pula Bu Kurnia dan Bu Efrita selaku jaksa," kata Tatik.

Ia mengaku heran dengan AKP Supriyanto yang malah menjadi saksi memberatkan. "Berarti dugaan saya benar. Selama ini ia seperti yang ada di foto yang dikirimkan itu," kata Tatik.

Suhu udara di Pengadilan Negeri Semarang, siang ini, terasa sangat panas. Termometer yang ada menunjukkan angka 32 derajat celsius. Udara yang panas itu makin menyesakkan dada Bripka Tatik saat majelis hakim yang terdiri dari Dolman Sinaga, Ira Loliawati, dan Kisworo sebagai ketua majelis hakim memulai persidangan dengan menempatkan suaminya sebagai pembela pelapor.

Padahal, jelas-jelas AKP Supriyanto yang mencampakkannya bertahun-tahun dan juga tidak menceraikannya. "Saya hanya bisa berharap, hukum ditegakkan. Setiap minggu saya harus mengeluarkan uang untuk menyewa mobil, melakukan perjalanan Surabaya-Semarang, mengorbankan sekolah Farrel demi mendapatkan keadilan. Saya sangat berharap masih ada keadilan di negara saya ini," kata Bripka Tatik didampingi pengacara RR Tantie Supriatsih dan Tutik Sri Rahayu dari Savy Amira Woman Crisis Centre Surabaya, serta seorang pejabat Polda Jatim yang memberi bantuan hukum.


Kompas



-dipi-
 
attachment.php


SEMARANG, KOMPAS.com — "Ma, aku ngantuk. Nanti habis ini langsung bobok, ya," rengek Farrel Nazhir Sayyid Ivana, 6,5 tahun. "Iya boleh. Kalau sekarang pengin bobok, di mobil aja enggak papa," jawab Bripka Tatik Suryani.

Untunglah polisi perempuan (polwan) berhidung mancung ini tak harus menguras energinya untuk menenangkan Farrel, anaknya semata wayang. Pasalnya, ia harus berjuang di hadapan Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (3/8/2011).

Keduanya lalu tenggelam dalam diam. Barangkali pikiran mereka mengembara ke saat-saat indah ketika AKP Supriyanto, ayah Farrel, masih mendampingi mereka.

Menjadi polwan memang sudah dicita-citakan Tatik sejak kecil. Ia melihat ketidakadilan banyak terjadi dan makin membulatkan tekadnya menjadi polwan. Namun, nyatanya ia bahkan tak mampu melindungi dirinya sendiri, sementara tugas perlindungan masyarakat ia lakukan dengan sepenuh hati.

"Awal kasus ini adalah saat saya dan anak saya ditinggal tugas suami saya. Saat itu suami tak pernah pulang. Dihubungi juga tak bisa, termasuk saat Farrel sakit saat usia dua tahun," kata Bripka Tatik.

Di tengah-tengah kegelisahannya, tiba-tiba ia mendapat kiriman sebuah flashdisk yang berisi foto-foto suaminya tengah bermesraan dengan Ani Widyastuti, seorang pengusaha dan politisi asal Jawa Tengah. Nalurinya sebagai polisi muncul. Ia mencium sesuatu yang tak beres.

"Akhirnya saya mencari tempat mencurahkan isi hati (curhat). Dari banyak teman, tak satu pun yang bisa membuat saya lega. Akhirnya saya curhat kepada Bapak Kapolri, saat itu Bapak Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri. Isinya ya cuma cerita masalah keluarga saya, dan saya minta petunjuk beliau. Bagaimanapun, saya dan suami adalah anggota Polri," kata Bripka Tatik dengan mata berkaca-kaca.

Seusai menuliskan curhatnya, tak ada kejadian apa pun. Sementara itu, laporannya ke Kepolisian Daerah Jawa Timur tentang perlakuan AKP Supriyanto yang menelantarkannya juga sudah diputus pengadilan dengan vonis pembebasan bagi sang suami.

Namun, pada Oktober 2009, justru muncul panggilan pemeriksaan terhadap dirinya oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah atas perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, dengan pelapor Ani Widyastuti.

Dengan harapan hukum akan ditegakkan, Bripka Tatik menyewa sebuah mobil dan mendatangi Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Mapolda Jateng). "Saya tak tahu pencemaran nama baik seperti apa yang saya lakukan, perbuatan tidak menyenangkan kaya apa yang pernah saya lakukan. Setelah saya pelajari, ternyata semua berawal dari surat curhat saya kepada Pak Kapolri," kata Tatik.

Rabu ini adalah sidang kali kesekian. Agenda utamanya adalah pemeriksaan saksi. Sambil menunggu sidang, Bripka Tatik mencoba menengok ruang jaksa. "Saya kaget setengah mati. Dalam ruang sidang itu ada pelapor, ada suami saya, dan ada pula Bu Kurnia dan Bu Efrita selaku jaksa," kata Tatik.

Ia mengaku heran dengan AKP Supriyanto yang malah menjadi saksi memberatkan. "Berarti dugaan saya benar. Selama ini ia seperti yang ada di foto yang dikirimkan itu," kata Tatik.

Suhu udara di Pengadilan Negeri Semarang, siang ini, terasa sangat panas. Termometer yang ada menunjukkan angka 32 derajat celsius. Udara yang panas itu makin menyesakkan dada Bripka Tatik saat majelis hakim yang terdiri dari Dolman Sinaga, Ira Loliawati, dan Kisworo sebagai ketua majelis hakim memulai persidangan dengan menempatkan suaminya sebagai pembela pelapor.

Padahal, jelas-jelas AKP Supriyanto yang mencampakkannya bertahun-tahun dan juga tidak menceraikannya. "Saya hanya bisa berharap, hukum ditegakkan. Setiap minggu saya harus mengeluarkan uang untuk menyewa mobil, melakukan perjalanan Surabaya-Semarang, mengorbankan sekolah Farrel demi mendapatkan keadilan. Saya sangat berharap masih ada keadilan di negara saya ini," kata Bripka Tatik didampingi pengacara RR Tantie Supriatsih dan Tutik Sri Rahayu dari Savy Amira Woman Crisis Centre Surabaya, serta seorang pejabat Polda Jatim yang memberi bantuan hukum.

------------------------------



coba curhat di ii :D
 

Attachments

  • y.jpg
    y.jpg
    30.1 KB · Views: 290
Terkadang yang namanya keadilan itu diartikan terlalu sempit oleh pandangan kita. Kita selalu mendefinisikan keadilan jika suatu keadaan itu sudah berada pada sisi yang menguntungkan buat kita.
Dan itulah yang terkondisikan pada kehidupan hukum di negara ini. Kalau sesuai dengan common sense itu berarti udah adil, kalau sesuai dengan keinginan orang banyak itu berarti sudah adil, dan kalau sebaliknya itu berarti belum adil. Repot bukan? Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa terbentuknya common sense dan keinginan orang banyak itu kebanyakan terbentuk karena tergiringnya opini baik disengaja maupun tidak disengaja.

Contoh dalam kasus ini, orang pasti akan bilang adil kalau hukum lebih berpihak kepada Ibu Polwan itu atau dalam kasus yang lebih besar misalnya, kasus Prita, orang akan bilang adil jika hukum berpihak kepada Prita, dan jika sebaliknya maka itu dikatakan tidak adil.

Benarkah suatu keadilan yang hakiki itu demikian? Jika ya, dimanapun tempat nggak perlu ada peraturan hukum dan nggak perlu ada pengadilan tempat memutuskan suatu keadilan, yang dibutuhkan hanyalah prejudice by majority yang dihasilkan dari sebuah pandangan sempit yang membentuk simpati.

And then sympathy for the Devil will be legalized.
 
Terkadang yang namanya keadilan itu diartikan terlalu sempit oleh pandangan kita. Kita selalu mendefinisikan keadilan jika suatu keadaan itu sudah berada pada sisi yang menguntungkan buat kita.
Dan itulah yang terkondisikan pada kehidupan hukum di negara ini. Kalau sesuai dengan common sense itu berarti udah adil, kalau sesuai dengan keinginan orang banyak itu berarti sudah adil, dan kalau sebaliknya itu berarti belum adil. Repot bukan? Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa terbentuknya common sense dan keinginan orang banyak itu kebanyakan terbentuk karena tergiringnya opini baik disengaja maupun tidak disengaja.

Contoh dalam kasus ini, orang pasti akan bilang adil kalau hukum lebih berpihak kepada Ibu Polwan itu atau dalam kasus yang lebih besar misalnya, kasus Prita, orang akan bilang adil jika hukum berpihak kepada Prita, dan jika sebaliknya maka itu dikatakan tidak adil.

Benarkah suatu keadilan yang hakiki itu demikian? Jika ya, dimanapun tempat nggak perlu ada peraturan hukum dan nggak perlu ada pengadilan tempat memutuskan suatu keadilan, yang dibutuhkan hanyalah prejudice by majority yang dihasilkan dari sebuah pandangan sempit yang membentuk simpati.

And then sympathy for the Devil will be legalized.

keadilan memang juga harus d lihat dari logika pikiran org banyak. Memang, yang banyak belum tentu merepresentasikan kebenaran. namun menilik kasus ibu polwan ini harusnya sang suami juga ikut d periksa bukan d bebaskan
 
keadilan memang juga harus d lihat dari logika pikiran org banyak. Memang, yang banyak belum tentu merepresentasikan kebenaran. namun menilik kasus ibu polwan ini harusnya sang suami juga ikut d periksa bukan d bebaskan
Daku sangat setuju bahwa keadilan memang harus dilihat dari logika orang banyak. Dan memang itu yang seharusnya terjadi. Tapi mesti dibedakan mana yang berupa logika mana yang berupa persepsi. Selama ini kita selalu memakai persepsi dalam menentukan adil atau tidaknya unsur hukum. Persepsi itu sangat mudah sekali dibentuk, contohnya dari berita diatas, langsung terbentuk persepsi kita akan kasus tersebut bukan? Hanya dengan pandangan satu sisi kita sudah bisa memutuskan mana yang seharusnya atau tidak seharusnya, dengan persepsi yang kita punya dari membaca berita tersebut.

Dan semua yang berupa persepsi ini sudah terlalu mengakar pada masyarakat kita, khususnya yang belum melek hukum, sehingga secara tidak sadar persepsi itu membuang jauh-jauh salah satu prinsip hukum yang paling penting, yaitu due process of law.
 
Dan semua yang berupa persepsi ini sudah terlalu mengakar pada masyarakat kita, khususnya yang belum melek hukum, sehingga secara tidak sadar persepsi itu membuang jauh-jauh salah satu prinsip hukum yang paling penting, yaitu due process of law.

tak d pungkiri jika masyarakat banyak selalu bediri pada posisi berseberangan dgn penegak hukum. Ini d karenakan banyaknya kasus yg d lakukan aparat penegak hukum dan bisa lolos karena mampu menyewa pengacara handal atau menggunakan uangnya utk menyuap pengadilan.
 
ckck benar-benar bejat! sabar bu Tatik, nanti bakal ada balasannya sendiri untuk mereka.
keterlaluan ya suami anda, padahal "polisi"
lah ini kok si cewek malah melaporkan bu tatik atas pencemaran nama baik! tau dari siapa tuh? ada main ntu cewek sama bosnya, jadi dia tau dari bosnya.
sakit gigi!
 
hingga polisi pun tak mendapatkan keadilan
lantas dimanakah kita mau cari keadilan?

apalagi masyarakat kecil seperti gue dan yang lain nya

keadilan di indonesia cuma milik penguasa dan yang mempunyai kedudukan tinggi serta mempunyai uang

tak ada keadilan bagi masyarakat kecil di indonesia
 
Kasus Bripka Tatik
Surat untuk Kapolri Ditemukan di Carport
K7-11 | Glori K. Wadrianto | Senin, 8 Agustus 2011 | 22:06 WIB

SEMARANG, KOMPAS.com - Masih ingat cerita Bripka Ttk yang mengirim surat curhat ke Kapolri ternyata malah jadi terdakwa? Senin malam (8/8/2011) AW yang dituduh berselingkuh dengan AKP Supriyanto --suami Bripka Ttk-- menggelar konferensi pers di sebuah rumah makan di Semarang.

AW yang mengenakan kemeja kotak-kotak coklat bercerita tentang kasus yang merugikan nama baiknya, sehingga ia mengadukan Bripka Ttk telah mencemarkan nama baiknya.

Semua berawal dari sebuah surat yang ditemukan di carport rumahnya suatu pagi. Dalam surat tersebut ada tertulis laporan Bripka Ttk kepada Kapolri dengan tembusan kepada sekitar 20 instansi lainnya. Surat itu juga dilengkapi dengan foto-foto asset milik AW, seperti rumah, gudang, dan lainnya.

"Itu yang mendasari saya melakukan gugatan pencemaran nama baik. Apalagi nama saya dikaitkan dengan AKP Supriyanto yang dia tuduh sebagai selingkuhan saya. Itu merupakan pembunuhan karakter bagi saya," kata AW.

Ani lalu menceritakan perkenalannya dengan AKP Supriyanto. Saat itu gudang perusahaan miliknya di kawasan Jatingaleh Semarang dibobol pencuri. Setelah melapor, maka dilakukan olah TKP.

"Selaku pelapor, saya jelas harus menemui AKP Supriyanto selaku Kanit Penyelidik untuk melakukan proses penyelidikan. Saat itu saya menduga ada yang memotret kami, atas perintah Bripka Ttk. Dan foto-foto itulah yang dilampirkan dalam surat curhatnya," kata AW.

AW kemudian bercerita bahwa pemberitaan media sangat merugikan dirinya. Selaku pengusaha, kredibilitas perusahaannya lalu diragukan orang. Sebagai politisi, ia juga menjadi bulan-bulanan pertanyaan konstituen dan ormas pendukung yang mayoritas adalah ormas Islam.

"Saya sangat berharap kepada teman media, khususnya Kompas.com agar bersedia memuat penjelasan saya sebagai hak jawab," kata AW.

AW yang didampingi penasihat hukumnya, Bambang Joyo Supeno kemudian menjelaskan bahwa Bripka Ttk terlilit empat kasus. Pertama adalah kasus perselingkuhan dirinya. "Untuk kasus ini kami tidak mau campur tangan karena itu kasus dia. Kedua adalah kasus KDRT antara Bripka Ttk dan AKP Supriyanto," kata Bambang Joyo Supeno.

Adapun kasus ketiga adalah kasus perceraian antara Bripka Ttk dan suaminya. Saat ini kasus tersebut masih dalam proses. "Dan yang keempat adalah kasus pencemaran nama baik. Inilah kasus yang membawa-bawa nama klien saya, Bu AW," kata Bambang.

Sebelumnya diberitakan bahwa Bripka Ttk mengirim surat curhat kepada Kapolri, karena perilaku suaminya AKP Supriyanto telah menelantarkan keluarganya. Isi surat curhat tersebut juga dilampiri dengan foto-foto yang dikirimkan orang tak dikenal dalam sebuah flash disk.

Entah bagaimana, surat tersebut sampai ke tangan AW, yang tak lain adalah seorang pengusaha dan politisi yang ada di foto bersama suami Tatik. Merasa tak terima dengan tuduhan berselingkuh, AW pun tak tinggal diam. Bripka Ttk akhirnya kini harus duduk di kursi terdakwa kasus pencemaran nama baik.


Kompas


-dipi-
 
Back
Top