Kalina
Moderator
Saya Ingin Ketemu Soetijono di Penjara
Empat puluh hari sudah tragedi berdarah nan memilukan itu berlalu. Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Ir Juswanto harus menemui ajalnya setelah dibunuh oleh Soetijono, anak buahnya sendiri. Bagaimana keluarga Juswanto melewati masa-masa berkabung itu?
SISA bekas acara selamatan 40 hari meninggalnya Juswanto masih terlihat di rumah korban di Perumahan Demang Mulia, Kebonsari, pagi kemarin. Beberapa panci dan piring masih dikeringkan di teras rumah berlantai dua. Erje disambut oleh Aditya Candra Kusuma, anak sulung Juswanto.
"Mari, masuk, Mas. Tadi malam kok nggak kesini," sambut Candra dengan ramah. Candra waktu itu mengenakan kaos dan celana pendek. Setelah mempersilakan Erje duduk di kursi tamu, Candra ganti pakaian. Tak lama Ny Nanik Indarti, istri Juswanto ikut menemui di ruang tamu. "Maaf ya, rumah masih berantakan. Beres-beres setelah selamatan tadi malam," ujarnya.
Selanjutnya Erje ditemani oleh Candra dan Nanik di ruang tamu. Meski peristiwa berdarah itu telah berlalu sebulan lebih, aura duka masih belum sirna di wajah Nanik. Bukannya rasa duka makin menjauh, tapi kini makin menjadi-jadi. Nanik mengaku tidak bisa tidur semalaman setelah selamatan 40 hari meninggalnya suaminya.
Dalam selamatan tersebut, ceramah diberikan oleh KH Muhyidin Abdushomad, ketua PCNU Jember. Usai selamatan, Nanik mengaku sempat ngobrol dengan Hasi Madani, asisten I Pemkab Jember. "Pak Hasi bilang ke saya supaya tidak perlu sedih. Dia pernah bermimpi ketemu bapak kalau sudah tenteram di surga," ungkapnya.
Cerita Hasi itu melegakan hatinya. Namun, setelah semua tamu pulang, dia tidak bisa memejamkan mata. Bahkan, dia sempat menangis kala mengingat berbagai kenangan indah bersama suaminya. Bahkan, si bungsu Bea Santi Octova sempat memperhatikan ibunya saat menangis.
Selama 40 hari meninggalnya suaminya, Nanik menyatakan, baru tiga kali nyekar ke makam suaminya. Itu pun sejatinya dia tak kuat mental. Dua kali di masa 7 hari meninggalnya almarhum, dan sekali di masa 40 hari. "Yang terakhir itu kami nyekar sekeluarga karena Bea yang minta. Dia bilang, Ma, ayo ke papa," katanya menirukan permintaan Bea. Sejatinya batinnya remuk redam setiap melihat batu nisan suaminya.
Ketika ditanya perkembangan kasusnya, dia banyak menerima informasi dari orang lain. Sebab, sejak kejadian, Nanik sempat diisolasi dari koran dan TV agar tak shock dengan berita kematian suaminya. Bahkan, hingga sehari pasca pembunuhan, Nanik tak tahu penyebab kematian suaminya.
"Pokoknya semua koran disembunyikan. TV dimatikan. Bahkan bapak-bapak tetangga tiap pagi berdiri di kedua ujung gang untuk melarang loper koran masuk ke gang sini," kata Candra. Namun, Nanik tak kurang akal. Beberapa hari koran langgananya tak ditemukannya di rumah, dia pinjam koran ke Pak RT. "Dari koran Pak RT itu saya baru tahu kalau bapak meninggal karena dibacok," sambung Nanik.
Akibat terus-terusan diisolasi dari koran, Nanik memutuskan berhenti langganan koran hingga sekarang. "Saya bilang sama lopernya, buat apa saya keluar uang untuk beli koran kalau tidak boleh baca. Lebih baik nggak langganan sekalian. Sebenarnya kasihan juga sih sama lopernya," ujarnya, tersenyum.
Terkait perkembangan proses hukum pembunhan suaminya ini, keluarga Juswanto banyak diberi tahu oleh mantan anak buah Juswanto sambil sesekali membaca koran. Nanik dan Candra juga tahu jika jaksa yang menangani kasus ini berusaha serius untuk membuktikan pasal pembunuhan berencana (340 KUHP) hingga melakukan rekonstruksi ulang Sabtu pekan lalu.
Ditanya tentang keinginannya kini yang belum tercapai, Nanik hanya ingin bertemu dengan Soetijono di penjara. "Saya tidak mau ngapa-ngapain. Saya hanya ingin bilang, kok tega sama bapak. Pak Jus masih punya anak kecil. Kalau hanya masalah uang, bisa diselesaikan baik-baik. Kalau perlu saya dilibatkan nggak masalah. Hanya itu keinginan saya," paparnya.
Nanik mengatakan, sebelum pembunuhan itu terjadi, hubungannya dengan istri Soetijono sangat baik. Pasalnya, istri Soetijono menjadi pengurus simpan pinjam Dharma Wanita Dishub. "Kalau puasa, istrinya sering datang ke rumah untuk membicarakan pembagian bingkisan lebaran dan sebagainya. Tapi sejak pembunuhan terjadi, tidak pernah ke rumah lagi. Nggak tahu, mungkin malu atau apa," tutur wanita asal Bondowoso ini.
Salah satu keinginannya yang lain adalah ingin pindah rumah ke Jember. Bukan takut, melainkan untuk menghilangkan kenangan buruk dan trauma. Sekedar diketahui, sejak Juswanto meninggal, Nanik tinggal bersama Bea dan tiap malam ditemani salah satu saudaranya. "Tapi Bea yang tidak mau. Kalau mau, rumah ini sudah ada yang mau menawar Rp 10 juta untuk kontrak setahun," ungkapnya.
Kini kehidupan keluarga Juswanto mulai berubah. Nanik harus menjadi single parent untuk membesarkan dan mendidik kedua anaknya, Candra dan Bea. Bagi Bea, tak ada lagi papa yang setia mengantar ke sekolah dengan motor tiap Sabtu. Tak ada lagi kebiasaan Candra untuk membuatkan jus buah bagi papanya. Lembaran baru tengah diretas keluarga ini.
Empat puluh hari sudah tragedi berdarah nan memilukan itu berlalu. Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Ir Juswanto harus menemui ajalnya setelah dibunuh oleh Soetijono, anak buahnya sendiri. Bagaimana keluarga Juswanto melewati masa-masa berkabung itu?
SISA bekas acara selamatan 40 hari meninggalnya Juswanto masih terlihat di rumah korban di Perumahan Demang Mulia, Kebonsari, pagi kemarin. Beberapa panci dan piring masih dikeringkan di teras rumah berlantai dua. Erje disambut oleh Aditya Candra Kusuma, anak sulung Juswanto.
"Mari, masuk, Mas. Tadi malam kok nggak kesini," sambut Candra dengan ramah. Candra waktu itu mengenakan kaos dan celana pendek. Setelah mempersilakan Erje duduk di kursi tamu, Candra ganti pakaian. Tak lama Ny Nanik Indarti, istri Juswanto ikut menemui di ruang tamu. "Maaf ya, rumah masih berantakan. Beres-beres setelah selamatan tadi malam," ujarnya.
Selanjutnya Erje ditemani oleh Candra dan Nanik di ruang tamu. Meski peristiwa berdarah itu telah berlalu sebulan lebih, aura duka masih belum sirna di wajah Nanik. Bukannya rasa duka makin menjauh, tapi kini makin menjadi-jadi. Nanik mengaku tidak bisa tidur semalaman setelah selamatan 40 hari meninggalnya suaminya.
Dalam selamatan tersebut, ceramah diberikan oleh KH Muhyidin Abdushomad, ketua PCNU Jember. Usai selamatan, Nanik mengaku sempat ngobrol dengan Hasi Madani, asisten I Pemkab Jember. "Pak Hasi bilang ke saya supaya tidak perlu sedih. Dia pernah bermimpi ketemu bapak kalau sudah tenteram di surga," ungkapnya.
Cerita Hasi itu melegakan hatinya. Namun, setelah semua tamu pulang, dia tidak bisa memejamkan mata. Bahkan, dia sempat menangis kala mengingat berbagai kenangan indah bersama suaminya. Bahkan, si bungsu Bea Santi Octova sempat memperhatikan ibunya saat menangis.
Selama 40 hari meninggalnya suaminya, Nanik menyatakan, baru tiga kali nyekar ke makam suaminya. Itu pun sejatinya dia tak kuat mental. Dua kali di masa 7 hari meninggalnya almarhum, dan sekali di masa 40 hari. "Yang terakhir itu kami nyekar sekeluarga karena Bea yang minta. Dia bilang, Ma, ayo ke papa," katanya menirukan permintaan Bea. Sejatinya batinnya remuk redam setiap melihat batu nisan suaminya.
Ketika ditanya perkembangan kasusnya, dia banyak menerima informasi dari orang lain. Sebab, sejak kejadian, Nanik sempat diisolasi dari koran dan TV agar tak shock dengan berita kematian suaminya. Bahkan, hingga sehari pasca pembunuhan, Nanik tak tahu penyebab kematian suaminya.
"Pokoknya semua koran disembunyikan. TV dimatikan. Bahkan bapak-bapak tetangga tiap pagi berdiri di kedua ujung gang untuk melarang loper koran masuk ke gang sini," kata Candra. Namun, Nanik tak kurang akal. Beberapa hari koran langgananya tak ditemukannya di rumah, dia pinjam koran ke Pak RT. "Dari koran Pak RT itu saya baru tahu kalau bapak meninggal karena dibacok," sambung Nanik.
Akibat terus-terusan diisolasi dari koran, Nanik memutuskan berhenti langganan koran hingga sekarang. "Saya bilang sama lopernya, buat apa saya keluar uang untuk beli koran kalau tidak boleh baca. Lebih baik nggak langganan sekalian. Sebenarnya kasihan juga sih sama lopernya," ujarnya, tersenyum.
Terkait perkembangan proses hukum pembunhan suaminya ini, keluarga Juswanto banyak diberi tahu oleh mantan anak buah Juswanto sambil sesekali membaca koran. Nanik dan Candra juga tahu jika jaksa yang menangani kasus ini berusaha serius untuk membuktikan pasal pembunuhan berencana (340 KUHP) hingga melakukan rekonstruksi ulang Sabtu pekan lalu.
Ditanya tentang keinginannya kini yang belum tercapai, Nanik hanya ingin bertemu dengan Soetijono di penjara. "Saya tidak mau ngapa-ngapain. Saya hanya ingin bilang, kok tega sama bapak. Pak Jus masih punya anak kecil. Kalau hanya masalah uang, bisa diselesaikan baik-baik. Kalau perlu saya dilibatkan nggak masalah. Hanya itu keinginan saya," paparnya.
Nanik mengatakan, sebelum pembunuhan itu terjadi, hubungannya dengan istri Soetijono sangat baik. Pasalnya, istri Soetijono menjadi pengurus simpan pinjam Dharma Wanita Dishub. "Kalau puasa, istrinya sering datang ke rumah untuk membicarakan pembagian bingkisan lebaran dan sebagainya. Tapi sejak pembunuhan terjadi, tidak pernah ke rumah lagi. Nggak tahu, mungkin malu atau apa," tutur wanita asal Bondowoso ini.
Salah satu keinginannya yang lain adalah ingin pindah rumah ke Jember. Bukan takut, melainkan untuk menghilangkan kenangan buruk dan trauma. Sekedar diketahui, sejak Juswanto meninggal, Nanik tinggal bersama Bea dan tiap malam ditemani salah satu saudaranya. "Tapi Bea yang tidak mau. Kalau mau, rumah ini sudah ada yang mau menawar Rp 10 juta untuk kontrak setahun," ungkapnya.
Kini kehidupan keluarga Juswanto mulai berubah. Nanik harus menjadi single parent untuk membesarkan dan mendidik kedua anaknya, Candra dan Bea. Bagi Bea, tak ada lagi papa yang setia mengantar ke sekolah dengan motor tiap Sabtu. Tak ada lagi kebiasaan Candra untuk membuatkan jus buah bagi papanya. Lembaran baru tengah diretas keluarga ini.