Deregulasi, Cara Orde Baru Mengerek Pertumbuhan Ekonomi

spirit

Mod
90673975316783782380.large

Pertumbuhan ekonomi menyisakan kesenjangan sosial. (Fernando Randy/Historia).​

Pemerintah telah menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja ke DPR pada pertengahan Februari 2020. RUU itu memuat revisi sejumlah pasal dalam hampir 80-an undang-undang di bidang ekonomi, pajak, lingkungan, ketenagakerjaan, dan banyak lagi. Bersama penyerahan itu, salinan RUU mulai tersebar dan dibaca oleh masyarakat.

Tanggapan terhadap RUU Cipta Kerja berdatangan. Kelompok buruh menolak keras beberapa pasal terkait ketenagakerjaan dalam RUU tersebut. Substansinya antara lain mengatur upah minimum, cuti haid, jam kerja, organisasi, pemogokan, dan pemutusan hubungan kerja. Nining Elitos, Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), menilai pengaturan termaksud justru merugikan buruh.

“RUU Cipta Kerja tetap cilaka. Bukan untuk menciptakan lapangan kerja, melainkan untuk kepentingan investasi yang mengeksploitasi manusia,” kata Nining Elitos dalam diskusi “Mengusir Bala Omnibus Law RUU Cilaka” yang diadakan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) di Jakarta, 15 Februari 2020.

Sebaliknya, pemerintah berupaya kuat meyakinkan rakyat bahwa RUU Cipta Kerja bertujuan untuk menggerakkan roda ekonomi. Syarat awalnya investasi harus masuk. Lalu investasi akan membuka lapangan kerja dan menghasilkan barang-jasa. Dari bekerja, masyarakat menerima upah. Kemudian upah menciptakan konsumsi barang-jasa. Semua itu akan mengerek angka pertumbuhan ekonomi.

Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada di kisaran 5 persen sepanjang 2019. Cukup rendah dari target seharusnya. Pemerintah mengupayakan angka itu naik menjadi 5,3 persen pada 2020. Caranya dengan mengajukan RUU Cipta Kerja yang akan mendobrak aturan-aturan penghambat pertumbuhan ekonomi dalam sekali pukul.

Pendobrakan aturan-aturan seperti itu bukanlah cara baru. Tim Ekonomi Orde Baru pernah melakukannya pula pada dekade 1980-an. Tetapi melalui serangkaian paket kebijakan, undang-undang baru, dan Instruksi Presiden. Cara demikian disebut deregulasi.

Cerita deregulasi bermula dari kemandegan ekonomi Indonesia awal 1980-an. Sebelum periode ini, ekonomi Indonesia bertumbuh menggembirakan. Angka itu tumbuh berkat penguasaan ekonomi oleh negara di bidang minyak dan gas (migas). Pemain utamanya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina.

Ide penguasaan ekonomi oleh negara melalui BUMN muncul setelah Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Hari itu massa mengamuk. Mereka memprotes derasnya modal asing di Indonesia, terutama dari Jepang.

Sentimen anti-modal asing membuat kelompok Centre for Strategic and International Studies (CSIS) arahan Ali Moertopo dan Sudjono Humardani memperoleh tempat dalam perumusan kebijakan ekonomi.

Kelompok CSIS melalui dua ekonom ternamanya, Panglaykim dan Daoed Joesoef, menyerang kebijakan tim ekonomi pemerintah di bawah arahan Widjojo Nitisastro —disebut kelompok "mafia Berkeley"— yang berorientasi perdagangan bebas.

“Gagasan Panglaykim dan Joesoef bertumpu pada penolakan teori keunggulan komparatif, suatu teori yang merupakan tulang punggung konsepsional bagi setiap pembelaan terhadap sistem perdagangan bebas,” catat Rizal Mallarangeng dalam Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986—1992.

Presiden Soeharto menjelmakan gagasan CSIS ke dalam kebijakan baru ekonomi Indonesia. Negara kembali mengendalikan perekonomian secara terpusat (sentralisme). Campur tangan negara dalam perekonomian begitu kuat.

“Peranan pemerintah yang demikian besar mencakup peranannya di bidang anggaran, moneter, perbankan, investasi, kebijaksanaan harga serta peraturan dan perizinan,” tulis Sjahrir dalam “Kebijaksanaan Makro Ekonomi di Masa-Masa Pertumbuhan Rendah: Penilaian dan Prospek”, termuat di Prisma, No. 1 tahun 1985.

Birokrat berpolah selayak raja. Mereka pegang kuasa sungguh-sungguh dalam membagi-bagi kue ekonomi di antara kroninya. Serangkaian aturan ekonomi dibuat untuk melindungi peran negara dan zona nyaman para birokrat, utamanya di bea cukai. Pelaku usaha swasta pun tergencet.

Sentralisme ekonomi kemudian merapuh seiring anjloknya harga migas di pasaran dunia. Migas adalah dua kekuatan utama ekonomi Indonesia selama periode sentralisme. Ketika harga dua komoditas ini tergelincir, ekonomi Indonesia pun ikut masuk got.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia turun ke angka 2,25 persen pada 1982. Terendah sejak Orde Baru berkuasa pada 1966.

Gejala kemerosotan ekonomi Indonesia diikuti oleh sasmita dari alam. Gunung Galunggung di Jawa Barat meletus pada 1982. Debunya menutup langit. Matahari menyingkir. Siang serupa malam. Hujan air berganti hujan lumpur.

“Rakyat Indonesia yang percaya mistik melihat hal ini sebagai pertanda kesulitan besar akan dialami Indonesia,” kenang Radius Prawiro, mantan Menteri Perdagangan 1973—1983, dalam Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme Dalam Aksi.

Hari-hari baik untuk peran negara dan kaum birokrat dalam ekonomi telah lewat. Angin bertiup ke arah Kelompok Widjojo. Mereka juga dapat sokongan dari pendukung sistem pasar bebas. Kelompok ini terdiri atas kaum cerdik-cendekia, tokoh pers, ekonom, dan peneliti. Rizal Mallarangeng menyebutnya sebagai komunitas epistemis liberal.

Gagasan utama komunitas epistemis liberal adalah mendorong reformasi ekonomi dan pencarian sumber pendapatan baru untuk negara. Antara lain dari sektor bank, pajak, bea cukai, perdagangan, investasi asing, dan bursa saham. Mereka menghantam peran negara dan polah birokrat dalam mengatur ekonomi. Buat mereka, sentralisme ekonomi telah membenamkan ekonomi Indonesia ke lumpur, menyuburkan korupsi dan kolusi, dan memekarkan ekonomi berbiaya tinggi.

Ide-ide komunitas epistemis liberal tertuang dalam beberapa majalah, jurnal ilmiah-populer, dan koran. ”Mereka berusaha meyakinkan pemerintah dan masyarakat bahwa jalan keluar terbaik dari masalah ekonomi yang memuncak adalah deregulasi atau liberalisasi ekonomi,” ungkap Rizal. Mereka percaya deregulasi akan membawa Indonesia ke keadilan dan pemerataan. Radius Prawiro menyebut kata ini kemudian menjadi karib di mulut orang Indonesia. Sekarib kata sepakbola di mulut orang Inggris.

Sebagai bahan penguat untuk perubahan kebijakan, komunitas epistemis liberal juga menggambarkan keadaan kiwari politik dan ekonomi dunia. Uni Soviet, penganut terbesar sentralisme ekonomi, perlahan merestrukturisasi ekonominya (perestroika).

Rezim diktator Argentina runtuh. Pemerintah baru menjanjikan komitmen tinggi terhadap demokrasi dan pasar bebas. Amerika Serikat dan Inggris bahkan telah memulai deregulasi sejak 1970-an. Sentralisme jadi kelihatan ketinggalan zaman.

Terhadap kritik dan ide dari kelompok pendukung pasar bebas, kelompok pro-sentralisme tak bisa meladeninya. Mereka babak-belur. Kehabisan tenaga dan argumen faktual untuk melawan kelompok pro-pasar.

Presiden Soeharto menaruh kepercayaan kembali kepada kelompok Widjojo. Arkian tibanya momentum ini, mereka bergerak cepat. Mereka mempreteli aturan-aturan penghambat pasar bebas dan mengurangi gerak birokrat dalam ekonomi.

Deregulasi pun bergulir. Dimulai dari bank, berlanjut ke penguatan pajak, beralih ke reformasi lembaga bea cukai, menyasar ke perdagangan, menjalar ke sektor investasi, dan berakhir di pasar modal. Tapi deregulasi gagal menjebol sektor BUMN dan tak mampu melawan kroniisme Soeharto dalam bisnis (Soeharto Incorporated).

Dalam rentang hampir sepuluh tahun, ekonomi Indonesia berubah drastis. Sumber-sumber pendapatan baru negara menguar. Pertumbuhan ekonomi membaik. Bank-bank swasta bermunculan. Nilai ekspor perdagangan non-migas mengangkangi migas untuk kali pertama dalam sejarah Orde Baru. Investasi asing mengalir deras. Orang-orang antre membeli saham dan perdagangan di bursa saham bergairah tinggi.

Tapi manisnya deregulasi tak sampai ke kelas buruh. Pertumbuhan ekonomi membaik, tetapi nasib buruh memburuk. Sektor industri dan perdagangan menguat berkat upah buruh murah. “Tak bisa dipungkiri kenyataan bahwa buruh murah merupakan keunggulan berbanding (comparative advantage) mata dagang Indonesia di pasar dunia,” ungkap Prisma, No. 4 April 1994.

Orang-orang mulai kritis terhadap deregulasi. “Mereka yakin bahwa kekuasaan kerajaan-kerajaan bisnis yang bertambah besar hanya dapat terjadi dengan mengorbankan kesejahteraan rakyat pada umumnya dan perusahaan-perusahaan kecil pada khususnya,” catat Rizal.

Kejomplangan ini diikuti oleh maraknya aksi-aksi demonstrasi buruh menuntut keadilan, kesejahteraan, dan perbaikan lingkungan kerja pada awal dekade 1990. Tapi pemerintah bertangan besi. Buruh direpresi. Korban berjatuhan. Salah satunya martir bernama Marsinah.

Memasuki 1998, badai ekonomi menerpa. Apa-apa yang telah diciptakan oleh deregulasi ambruk. Langit berubah gelap. Indonesia masuk masa suram tanpa didahului sasmita alam.



 
Back
Top