nurcahyo
New member
Derita Flu Mungkin Berasal Dari Gen
28/12/2006 - Health Information, Health Articles, Health Tips and Online Medical Advice for Healthy Living: Home - www.HealthAtoZ.com
property of Leigh Day & Co - Personal injury solicitors clinical negligence human rights lawyers
Jika flu menyerang dengan keras musim ini, maka salahkan DNA anda. DNA tertentu dapat memacu gejala flu memburuk berdasarkan penelitian pada tikus.
Sebuah penelitian tikus terinfeksi flu ditemukan bahwa gen tertentu memacu respon kekebalan yang kuat pada paru-paru sehingga menyebabkan sakit yang lebih berat. Tikus yang tidak menunjukkan respon kekebalan yang kuat lebih mudah untuk sembuh, menurut peneliti.
Penemuan ini dapat membantu manusia selamat dari musim flu setiap tahun tapi juga pandemik flu burung.
"Implikasi jangka panjang mungkin menuju ide obat pencegahan berdasarkan genetik," jelas peneliti Dr. Linda Toth, wakil dekan penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Illinois Selatan di Springfield. ?Untuk mengetahui bahwa beberapa orang dipengaruhi oleh penyakit apa pun, kami dapat memberikan nasehat yang baik atau mengawasi orang-orang untuk membatasi risiko kesehatan mereka."
?Dalam kasus influenza, pengobatan virus dan vaksin yang tersedia terbatas dan jika kita memiliki informasi ini, hal ini dapat menjadi sasaran usaha untuk mereka yang memiliki risiko tinggi,? ujar Toth.
Ahli yang lain menyebutkan bahwa penelitian tersebut memiliki implikasi untuk pengobatan flu.
?Penelitian tersebut mengangkat pertanyaan apakah anti-inflamasi memiliki peran dalam mengobati flu dengan banyak inflamasi (radang),?ujar Dr. Marc Siegel, pengarang Flu Burung: Semua yang Anda Perlu Ketahui Tentang Pandemik Selanjutnya dan profesor uji klinis obat di Fakultas Kedokteran Universitas New York.
?Selain itu, penelitian juga mengangkat pertanyaan apakah genetik membiarkan anda untuk mengatasi grup mana yang akan mengalami respon inflamasi yang lebih merusak?tentunya akan sangat membantu secara epidemiologi.?
Pertanyaan siapa yang meninggal karena influenza telah menjadi topik yang hangat sejak pandemik 1918 yang telah menewaskan jutaan orang di seluruh dunia. Saat itu, dokter mencatat bahwa sistem kekebalan dewasa yang sehat sering berlebihan sehingga menghasilkan keparahan.
Hal ini telah menjadi perhatian para peneliti sejak 1918 ketika teori yang berkembang adalah orang-orang tersebut tenggelam dalam sekresi (lendir, dahak) mereka sendiri,?jelas Siegel. ?Tubuh melihat influenza dan merespon dengan kekebalan yang kuat dan respon tersebut menyebabkan banyak sekali sekresi.
Pandemik tahun 1918 dan avian flu sekarang (yang sejauh ini telah menewaskan sejumlah kecil manusia) memiliki beberapa kemiripan yaitu keduanya menyebabkan respon kekebalan dan inflamasi yang kuat pada paru-paru tikus dan manusia.
?Berdasarkan data di atas, influenza menyebabkan respon kekebalan dan inflamasi yang kuat dan meningkat pada paru-paru yang membunuh tikus,? ujar Trammell. ?Sangat penting untuk mengetahui mengapa tikus tersebut mati. Kami ingin melihat latar belakang genetik tikus, bagaimana mereka bereaksi secara berbeda.?
Dalam penelitian mereka, Trammell dan Toth menginfeksi dua strain di laboratorium tikus disebut tipe B dan C dengan virus influenza A. Hasil penelitian lalu telah menunjukkan sekitar setengah dari tikus tipe B mati, dibandingkan dengan 10% tikus tipe C.
Ketika jaringan paru-paru dari tikus diperiksa sekitar 30 jam setelah infeksi, peneliti menemukan tingkat dari semua sitokin pro-inflamasi (pro-inflammatory cytokines ) dengan satu pengecualian ditemukan meningkat dan lebih tinggi pada tikus yang sensitif. Hal ini mengindikasikan suatu respon inflamasi yang lebih parah, ujar peneliti. Sitokin adalah protein yang dapat menyebabkan inflamasi ketika respon kekebalan dikeluarkan.
Meskipun inflamasi bervariasi, tingkat virus pada paru-paru tikus sama pada kedua kelompok. Penelitian yang berkaitan menemukan bahwa tingkat immune-related messenger RNA (mRNA) pada tikus tipe B rata-rata 24 kali lebih tinggi (dan bahkan 100 kali lebih tinggi)dibandingkan tikus yang tidak terinfeksi. Tingkat mRNA pada tikus tipe C meningkat kurang dari 3 kali lipat setelah infeksi.
Tahap selanjutnya
"Kami hendak mencoba untuk mengidentifikasi gen spesifik atau susunan gen yang mengkontribusikan resisten atau respon parah terhadap virus,?ujar Toth. ?Sekarang kami memiliki beberapa ide tetapi kami belum membuatnya secara definitif.?
Trammell menyebutkan bahwa informasi ini dapat membuat implikasi yang sangat besar untuk memahami dan mencegah kematian terkait virus influenza.
sumber : Apotik online dan media informasi obat - penyakit :: m e d i c a s t o r e . c o m
28/12/2006 - Health Information, Health Articles, Health Tips and Online Medical Advice for Healthy Living: Home - www.HealthAtoZ.com
property of Leigh Day & Co - Personal injury solicitors clinical negligence human rights lawyers
Jika flu menyerang dengan keras musim ini, maka salahkan DNA anda. DNA tertentu dapat memacu gejala flu memburuk berdasarkan penelitian pada tikus.
Sebuah penelitian tikus terinfeksi flu ditemukan bahwa gen tertentu memacu respon kekebalan yang kuat pada paru-paru sehingga menyebabkan sakit yang lebih berat. Tikus yang tidak menunjukkan respon kekebalan yang kuat lebih mudah untuk sembuh, menurut peneliti.
Penemuan ini dapat membantu manusia selamat dari musim flu setiap tahun tapi juga pandemik flu burung.
"Implikasi jangka panjang mungkin menuju ide obat pencegahan berdasarkan genetik," jelas peneliti Dr. Linda Toth, wakil dekan penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Illinois Selatan di Springfield. ?Untuk mengetahui bahwa beberapa orang dipengaruhi oleh penyakit apa pun, kami dapat memberikan nasehat yang baik atau mengawasi orang-orang untuk membatasi risiko kesehatan mereka."
?Dalam kasus influenza, pengobatan virus dan vaksin yang tersedia terbatas dan jika kita memiliki informasi ini, hal ini dapat menjadi sasaran usaha untuk mereka yang memiliki risiko tinggi,? ujar Toth.
Ahli yang lain menyebutkan bahwa penelitian tersebut memiliki implikasi untuk pengobatan flu.
?Penelitian tersebut mengangkat pertanyaan apakah anti-inflamasi memiliki peran dalam mengobati flu dengan banyak inflamasi (radang),?ujar Dr. Marc Siegel, pengarang Flu Burung: Semua yang Anda Perlu Ketahui Tentang Pandemik Selanjutnya dan profesor uji klinis obat di Fakultas Kedokteran Universitas New York.
?Selain itu, penelitian juga mengangkat pertanyaan apakah genetik membiarkan anda untuk mengatasi grup mana yang akan mengalami respon inflamasi yang lebih merusak?tentunya akan sangat membantu secara epidemiologi.?
Pertanyaan siapa yang meninggal karena influenza telah menjadi topik yang hangat sejak pandemik 1918 yang telah menewaskan jutaan orang di seluruh dunia. Saat itu, dokter mencatat bahwa sistem kekebalan dewasa yang sehat sering berlebihan sehingga menghasilkan keparahan.
Hal ini telah menjadi perhatian para peneliti sejak 1918 ketika teori yang berkembang adalah orang-orang tersebut tenggelam dalam sekresi (lendir, dahak) mereka sendiri,?jelas Siegel. ?Tubuh melihat influenza dan merespon dengan kekebalan yang kuat dan respon tersebut menyebabkan banyak sekali sekresi.
Pandemik tahun 1918 dan avian flu sekarang (yang sejauh ini telah menewaskan sejumlah kecil manusia) memiliki beberapa kemiripan yaitu keduanya menyebabkan respon kekebalan dan inflamasi yang kuat pada paru-paru tikus dan manusia.
?Berdasarkan data di atas, influenza menyebabkan respon kekebalan dan inflamasi yang kuat dan meningkat pada paru-paru yang membunuh tikus,? ujar Trammell. ?Sangat penting untuk mengetahui mengapa tikus tersebut mati. Kami ingin melihat latar belakang genetik tikus, bagaimana mereka bereaksi secara berbeda.?
Dalam penelitian mereka, Trammell dan Toth menginfeksi dua strain di laboratorium tikus disebut tipe B dan C dengan virus influenza A. Hasil penelitian lalu telah menunjukkan sekitar setengah dari tikus tipe B mati, dibandingkan dengan 10% tikus tipe C.
Ketika jaringan paru-paru dari tikus diperiksa sekitar 30 jam setelah infeksi, peneliti menemukan tingkat dari semua sitokin pro-inflamasi (pro-inflammatory cytokines ) dengan satu pengecualian ditemukan meningkat dan lebih tinggi pada tikus yang sensitif. Hal ini mengindikasikan suatu respon inflamasi yang lebih parah, ujar peneliti. Sitokin adalah protein yang dapat menyebabkan inflamasi ketika respon kekebalan dikeluarkan.
Meskipun inflamasi bervariasi, tingkat virus pada paru-paru tikus sama pada kedua kelompok. Penelitian yang berkaitan menemukan bahwa tingkat immune-related messenger RNA (mRNA) pada tikus tipe B rata-rata 24 kali lebih tinggi (dan bahkan 100 kali lebih tinggi)dibandingkan tikus yang tidak terinfeksi. Tingkat mRNA pada tikus tipe C meningkat kurang dari 3 kali lipat setelah infeksi.
Tahap selanjutnya
"Kami hendak mencoba untuk mengidentifikasi gen spesifik atau susunan gen yang mengkontribusikan resisten atau respon parah terhadap virus,?ujar Toth. ?Sekarang kami memiliki beberapa ide tetapi kami belum membuatnya secara definitif.?
Trammell menyebutkan bahwa informasi ini dapat membuat implikasi yang sangat besar untuk memahami dan mencegah kematian terkait virus influenza.
sumber : Apotik online dan media informasi obat - penyakit :: m e d i c a s t o r e . c o m