Istri Presiden Haiti Sebut Pembunuhan Suaminya Terjadi 'Dalam Satu Kedipan Mata'
Istri Presiden Haiti Jovenel Moise yang terbunuh akhirnya angkat bicara untuk pertama kalinya sejak sekelompok pria bersenjata menyerbu rumah mereka di Port-au-Prince. Martine Moise mengatakan serangan yang menewaskan suaminya itu terjadi “dalam satu kedipan mata” atau hanya dalam sekejap.
Dalam sebuah pesan audio yang diunggah di akun Twitter resminya pada Sabtu, Martine Moise menyerukan Haiti agar tidak kehilangan arah setelah serangan yang membuatnya terluka parah itu.
“Saya masih hidup, terima kasih Tuhan,” ujarnya dalam pesan audio tersebut, dikutip dari Al Jazeera, Minggu (11/7).
Pesan suara ini telah dikonfirmasi kebenarannya oleh Menteri Kebudayaan dan Komunikasi Haiti, Pradel Henriquez, kepada AFP.
“Saya masih hidup tapi saya kehilangan suami saya Jovenel,” lanjutnya.
Jovenel Moise (53) dibunuh pria bersenjata pada Rabu dini hari di kediaman pribadinya. Pihak berwenang Haiti menyebut serangan itu sebagai “serangan dengan koordinasi tinggi oleh kelompok terlatih dan bersenjata berat”.
Otoritas Haiti mengatakan komando bersenjata terdiri dari 28 pria – 26 warga Kolumbia dan dua orang keturunan Haiti-Amerika – menyerbu dan menembak Jovenel dan Martine di rumah mereka. Sebanyak 17 orang telah ditangkap dan tiga tersangka terbunuh, namun motif pembunuhan belum diungkap ke publik.
Setelah serangan tersebut, Martine Moise dibawa ke rumah sakit Haiti dan kemudian dievakuasi ke Miami, Florida, untuk pengobatan lebih lanjut.
“Dalam satu kedipan mata, para tentara bayaran memasuki rumah saya dan memberondong suami saya dengan peluru bahkan tanpa memberikan dia kesempatan untuk mengucapkan satu kata pun,” jelasnya.
Dia juga mengatakan tentara bayaran itu dikirim untuk membunuh suaminya “karena jalan-jalan, air, listrik, dan referendum termasuk pemilu pada akhir tahun supaya tidak ada transisi dalam negara”.
“Saya menangis, itu benar, tapi kita tidak bisa membiarkan negara kehilangan arah,” ujarnya.
“Kita tidak bisa membiarkan darahnya tumpah sia-sia.”
Jovenel Moise menjabat sebagai presiden sejak 2017 di tengah meningkatnya kekerasan geng yang membuat ribuan orang mengungsi di seluruh ibu kota negara, Port-au-Prince, dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah jurnalis dan aktivis politik juga ditembak mati.
Dalam beberapa bulan terakhir, unjuk rasa juga terjadi di Haiti mendesak pengunduran diri Moise. Namun Moise bersikeras menghabiskan masa jabatannya sampai tahun depan.
Instabilitas politik
Pembunuhan Presiden Moise memicu instabilitas politik, terutama karena sebelum kematiannya, Moise telah memerintah dengan dekrit dan dituduh melucuti fungsi beberapa lembaga penting.
Perebutan kekuasaan tampaknya sedang terjadi ketika ahli bedah saraf Ariel Henry, yang ditunjuk sebagai perdana menteri oleh Jovenel Moise hanya beberapa hari sebelum dia terbunuh, mengatakan dia – bukan penjabat perdana menteri – yang harus memimpin negara.
“Setelah pembunuhan presiden, saya menjadi otoritas tertinggi, legal dan reguler karena ada dekrit yang mencalonkan saya," kata Henry kepada kantor berita Reuters dalam wawancara telepon Jumat malam.
Henry belum dilantik pada saat pembunuhan. Hal ini memicu kebingungan tentang siapa pemimpin sah Haiti.
Claude Joseph, yang diangkat sebagai perdana menteri sementara pada April setelah pengunduran diri Joseph Jouthe, telah mengambil kendali kekuasaan sejauh ini, menanggapi pembunuhan Presiden Moise, meminta Amerika Serikat untuk mengirim pasukan dan mendeklarasikan 15 hari "keadaan perang".
Menteri Pemilihan Mathias Pierre mengatakan Claude Joseph akan mempertahankan perannya sampai pemilihan presiden dan legislatif pada 26 September.