Dhammacakkapavattana Sutta

singthung

New member
Dhammacakkapavattana Sutta (Pemutaran Roda Dhamma)


oleh: Ven. Acharn Thate Desaranse


Hari ini merupakan kesempatan yang paling baik. Para hadirin telah datang dari empat penjuru untuk berkumpul bersama di sini, melaksanakan upacara ASALHA PUJA (ASADHA PUJA) yang merupakan saat pertama kalinya Sang Buddha mengkhotbahkan Dhamma kepada Lima orang siswanya (Annakondanna, Bhadiya, Vappa, Mahanama, Assaji). Peristiwa ini dikenal dengan nama DHAMMACAKKAPAVATTANA SUTTA (Pemutaran Roda Dhamma). Marilah kita bersama-sama merenungkan kemuliaan Sang Buddha yang memiliki METTA (cinta kasih) yang maha luas (Universal) dan KARUNA (Belas kasihan atau kasih sayang) yang tanpa batas terhadap semua makhluk tanpa terkecuali.

Sang Buddha-lah orang pertama yang mencari MOKKHADHAMMA terhadap segala hal di segala tempat, Beliau keluar masuk hutan untuk mencari kesunyian dan bepergian seorang diri. Beliau tidak pernah memanjakan tubuh dan kehidupanNya serta telah melakukan DUKKHAKIRIYA (cara penyiksaan diri) selama enam tahun lamanya hingga tercapai hal-hal yang baik dan hal-hal yang nyata yaitu ke-Empat ARIYASACCA (Kesunyataan Mulia) atau CATTUARIYASACCANI. Setelah ditemukannya Ajaran yang terbaik ini, maka Beliau mengajarkan Ajaran ini kepada para umat manusia secara lengkap, terus terang dan blak-blakan serta sepenuh hatiNya tanpa terselipi kekikiran sedikitpun atau menyembunyikan dan merahasiakan beberapa bagiannya, diajarkanNya apa yang disebut DHAMMACAKKAPAVATTANA SUTTA ini.

Tidak seperti anda sekalian yang bersama-sama mencari uang, kekayaan, dan harta benda dengan mengeluarkan segenap tenaga dan pikiran, dengan belajar atau bekerja sebagai pedagang, dan mendapat penghasilan sebesar Lima juta rupiah atau Dua puluh juta rupiah per bulan, tetapi anda sekalian tidak pernah berterus terang atau dengan kata lain anda masih tetap saja merahasiakan jumlah penghasilan anda sendiri terhadap orang lain, dan anda baru membuka suara secara terbuka dan mengatakan dengan jujur misalnya kepada petugas kepolisian yang menginterogasi anda apabila telah terjadi perampokan di rumah anda.

Sang Buddha tidaklah seperti itu. Harta milikNya adalah lebih baik dan teramat bernilai sehingga tidak dapat diukur dengan uang, berlian maupun segala harta duniawi yang manapun juga. Batin dan pikiranNya selalu dipenuhi oleh Metta yang cenderung memberikan semua yang dimilikiNya kepada umat manusia agar semua umat manusia tanpa terkecuali dapat ikut menyaksikan dan mengetahui rasa dan DHAMMA yang tak ternilai ini, dengan melaksanakan SILA dan DHAMMA di dalam kehidupan kita sehari-hari maka kita akan dapat menyaksikan kenyataannya secara terang gemilang dalam batin kita masing-masing. DiberikanNya kepada semua umat manusia, bahkan juga kepada semua musuh-musuhNya tanpa ada yang ditutup-tutupi atau dirahasiakan sedikitpun juga, tanpa rasa kikir sama sekali, semua bagian mulai dari bagian yang pertama hingga bagian yang terakhir diobral secara terbuka dan dijelaskan secara detail dan tanpa pamrih, sehingga setiap orang dapat mengetahui, menyaksikan, dan merasakan nikmatnya sari DHAMMA tersebut sebagai DHAMMADANA.

Pada umumnya sebelum melakukan proses berdana, si Pemberi Dana mempunyai anggapan bahwa barang yang akan didanakan itu adalah miliknya. Tetapi karena Sang Buddha sungguh-sungguh memiliki perasaan Metta yang tanpa batas (Universal) dan cenderung memberikan semua kebahagiaan yang telah dinikmatiNya kepada semua makhluk tanpa terkecuali sehingga Dhamma yang timbul di dalam batin Beliau yang murni tidak mengandung makna sedikitpun bahwa Dhamma itu adalah milikNya. Walaupun Dhamma tersebut akan diberikan seberapapun banyaknya, Dhamma tidak akan pernah habis, bagaikan Sumber Air yang tidak akan pernah kering selama-lamanya. Umat Buddha tidak pernah merasa bosan dan jemu mendengar khotbah Beliau, karena makin didengar terasa semakin memikat untuk didengar kembali, inilah yang disebut mendapatkan sesuatu yang tidak berbentuk, yaitu DHAMMA. Dhamma itu sedemikian indahnya dan sangat luar biasa sekali, Dhamma itu indah pada permulaannya, indah pada pertengahannya, dan tetap indah pada akhirnya.

Ke-Empat Ariyasacca Dhamma (Cattuariyasaccani) di dalam Dhammacakkapavattana Sutta dinyatakan secara singkat dengan nama DHAMMACAKKA. Mengapa disebut Dhammacakka??? Karena tiap-tiap bagian dari Ariyasacca itu memiliki 3 (Tiga) PARIVATARA bergejala 12. Diajarkan semua itu oleh Sang Buddha dengan lengkap, karena semuanya itu telah ada didalam sekejap pikiran Beliau bahwa semua itu adalah sudah menjadi tugasNya untuk membabarkan secara tengkap. Dhammacakka ini teramat halus. Sang Buddha telah mencurahkan pikiranNya untuk merenungkan dan menyaksikan semuanya itu dengan terang benderang dan sedemikian jelasnya didalam diri Beliau sendiri, lalu Beliau menyatakannya secara gamblang dan terbuka dengan sejelas-jelasnya kepada semua makhluk. Tetapi tampaknya anda sekalian akan merasa sangat sulit untuk memahami Ajaran Beliau tersebut, walaupun demikian akan saya jelaskan sekedar untuk dapat anda dengarkan agar semua yang saya jelaskan di sini dapat dijadikan bahan perenungan anda sekalian:

DUKKHA.
Fenomena Dukkha (Penderitaan)

Kesunyataan yang pertama berhubungan dengan Dukkha (Penderitaan), di sini dijelaskan fenomena daripada Dukkha yang dapat digolongkan dalam dua bagian besar yaitu:

1. SABHAVA-DUKKHA atau DUKKHA JASMANI (penderitaan yang mutlak)
a. JATIPI DUKKHA (Lahir)
b. JARAPI DUKKHA (Tua/Lapuk)
c. VYADHIPI DUKKHA (sakit)
d. MARANAM PIDUKKHA (Mati)

2. PAKINNA-DUKKHA atau DUKKHA BATIN (penderitaan yang tidak mutlak)

a. SOKA (Susah hati/sedih, menyesal)
b. PARIDEVA (Merintih karena tidak dapat memutuskan persoalan)
c. DUKKHA (ketidak-bahagiaan badan jasmani, penyakit jasmani)
d. DOMANASSA (Berkecil hati/minder)
e. UPAYASSA (Merana)
f. SAMPA YOGA (Mendapatkan sesuatu yang tidak disukai)
g. VIPPA YOGA (Berpisah dengan orang/sesuatu yang disukai)
h. ALABHA (Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan)

Kesemua Dukkha tersebut di atas harus dihadapi karena merupakan Dhamma, bukannya dibuang, ditelantarkan ataupun dilupakan begitu saja. Dukkha ini tercermin dalam Kelahiran, Ke-Tua-an, Kesakitan, Kematian, dan sebagainya yang kesemuanya itu berada di dalam diri kita masing-masing dan bukannya berada di tempat lain. Selain dari itu masih banyak sekali Dukkha-dukkha lain yang kecil dan halus yang tak terhitung jumlahnva.

SAMUDAYA
Sebab yang menimbulkan Dukkha

Kesunyataan yang kedua berhubungan dengan sebab yang menimbulkan Dukkha. Apa yang menyebabkan timbulnya Dukkha itu??? Tak lain dan tak bukan adalah ke-Tiga TANHA (nafsu keinginan), yaitu:

1. KAMATANHA
2. BHAVATANHA
3. VIBHAVATANHA

Kamatanha adalah suatu kesenangan dan kesukaan di dalam rupa, suara, bau-bauan atau kelezatan dan sentuhan yang tidak pernah ada akhirnya, senang yang ini disusul dengan senang yang itu (nafsu keinginan terhadap kesenangan indera), inilah yang disebut Kamatanha. Kamatanha inilah yang merupakan sumber utama atau kepala dan segala macam Dukkha (Penderitaaan).

Bhavatanha adalah keinginan untuk menjadi seperti ini atau menjadi seperti itu. Setelah mendapatkannya rasanya masih kurang cukup dan puas, dan masih ingin mendapatkannya lagi, demikian terus menerus tanpa tahu batas dan kecukupan dan tak pernah merasa terpuaskan. Sehingga merupakan sebab yang berhubungan erat dengan Kamatanha (yang datangnya dari Kamatanha), dan merupakan penyokong atau penyambung yang menimbulkan Dukkha (Penderitaan).

Vibhavatanha adalah perasaan tidak senang di dalam hal-hal yang menyenangkan dalam bentuk (rupa), misalnya setelah mendapatkan segala yang diinginkan, berbalik menjadi tidak puas karena telah mendapatkannya. Tidak sudi lagi untuk merasakannya, tidak mau lagi melihatnya, tidak ingin menyaksikannya dan berproses dengan semuanya itu. Inilah yang digunakan sebagai alat penghapus yang merupakan penyebab timbulnya Dukkha (Penderitaan).

Semua hal yang wajar ini adalah yang ada di dalam dunia kita ini. Secara wajar harus ada si pengembang, tetapi bila cuma ada si pengembang saja tanpa ada si penghapus, tidak akan ada tempat yang cukup untuk menyimpan semua hasil dari pengembangan tersebut, jadi harus ada si pengembang dan si penghapus (penghancur) agar dapat disebut dunia yaitu tumbuhnya Samudaya. Kamatanha dan Bhavatanha sebagai si pengembang, sedangkan Vibhavatanha sebagai si penghapus. Bila kita selalu merasa puas dan kenyang, dapat diibaratkan dengan air yang selalu penuh di dalam gentong. Bila ditambah air yang baru, akan tumpah keluar. Ini berarti selalu damai, puas dan bahagia. Sedangkan ketiga TANHA ini bagaikan batin yang selalu kosong, tidak penah kenyang, tidak pernah puas.

Inilah yang menyebabkan kita terpontang-panting dalam memenuhi keinginan kita yang menjadi Dukkha bagi diri kita sendiri.

NIRODHA
Padamnya Dukkha

Nirodha artinya padamnya atau tidak adanya keinginan untuk menjadi atau tidak menjadi. Muncullah batin yang netral dan kosong, selalu demikian keadaannya. Kekosongan merupakan pusat yang netral dan seimbang. Kalau keadaannya selalu demikian, bagaimana Dukkha itu dapat muncul??? Baiklah, meskipun kita masih belum sanggup membuang semuanya itu setiap saat, selama kehidupan kita ini pergunakanlah dengan kesungguhan hati terhadap apa yang sedang kita hadapi saat ini, yaitu waktu yang nyata sekarang ini saja. Buang semua pembuat kekacauan hanya di saat ini saja dengan membebaskan batin kita secara netral dan seimbang di dalam pusatnya. Inilah NIRODHA! Inilah Nirodha milik kita, bukan milik para Ariya Puggala. Kalau kita sudah mampu berbuat seperti ini dan melaksanakannya sesering mungkin, pada suatu hari pasti akan menjadi milik kita seutuhnya pada waktu mendatang.

MAGGA
Jalan untuk melenyapkan Dukkha

Ada 8 (Delapan) unsur dalam jalan untuk mencapai Nirodha (padamnya dukkha). SAMMADITTHI ?pemimpin yang terutama. SAMMA berarti benar, DITTHI berarti pandangan. Pandangan benar ini sebenarnya agak berat. Siapapun yang berpandangan apapun pasti menyatakan pandangannya itulah yang paling benar. Kesulitannya tepat disini. Dukkha dan Nirodha itu merupakan hasil/akibat. Samudaya dan Magga merupakan bibit/sebab. Dhamma pasti harus memiliki sebab dan akibat. Adanya sebab akan menimbulkan Dhamma yang ini berkembang. Ketika sebabnya padam, semua Dhamma yang ini akan padam semua. Oleh karena itulah ketika Sang Buddha mendapatkan penerangan sempurna menjadi SammaSamBuddha, Samaditthi muncul di dalam hati nuraniNya dan membuat pandanganNya tidak berkecenderungan kemanapun, tidak ke kiri, ke kanan, ke depan atau ke belakang. PandanganNya terjadi dipusat yang netral sama sekali. Karena itu dikhotbahkannya Dhammacakka yang menyatakan dua jalur ekstrim yang harus dihindari oleh petapa sejati.

Yang pertama adalah ATTAKILA MATHANUYOGA, yaitu melakukan penyiksaan diri secara berlebih-lebihan, membuat diri sendiri lelah dan susah di dalam kesia-siaan yang tak berguna seperti para Resi dan Yogi dalam berbagai aliran yang membuat dirinya susah, menderita, dan sakit beraneka ragam. Pada saat ini di India masih ada jenis seperti ini, kelompok yang tidak menggunakan pakaian sama sekali. Menurut mereka, kita lahir dengan tubuh telanjang, tidak berpakaian. Pakaian ini sejenis KILESA (kekotoran batin), karena itu mereka bertelanjang bulat dan tidurpun demikian. Mereka disebut DIGHAMBARA.

Yang kedua adalah KAMESU KAMASUKKHALIKA NUYOGA, yaitu menuruti kesenangan hawa nafsu, demi mencari kesenangan melalui kesenangan indrawi menyebabkan batinnya selalu bergerak dan bergetar bagaikan kabut.

Menurut Beliau kedua jalur ini adalah jalur ekstrim yang tidak akan dapat membawa kita terbebas dari Dukkha. Pengetahuan seperti ini didapatkan Sang Buddha dengan jelas sekali di dalam hati nuraniNya, tanpa ada yang mengatakan kepadaNya, bukan pula diajarkan oleh siapa atau apapun, timbul dan berkembang dengan sempurna di dalam batin Beliau.

CAKKHUM UDAPADI. Cakkhu adalah alat mata yang berupa intan berlian yang mampu mengetahui dan menyaksikan dengan jelas Dhamma di setiap tempat. Tiada satupun yang mampu menutupi kenyataan itu hingga berakhirnya semua keragu-raguan yang bersarang di dalam batin Beliau yang telah sempurna.

NANAM UDAPADI. Nana adalah kemampuan untuk mengetahui masa lampau dan masa yang akan datang pada dirinya sendiri serta pada makhluk-makhluk lain. BatinNya yang telah berkembang dengan sempurna tak bisa dibandingkan dan diukur dengan apapun.

PANNA UDAPADI. Panna yang mengetahui secara menyeluruh segala SABBANIYADHAMMA tanpa dapat dibandingkan dan diukur dengan apapun telah muncul dengan sempurna di dalam batin Beliau.

VIJJA UDAPADI ialah pengetahuan yang khusus berada di luar kemampuan manusia umum, Dewa, Indra dan Brahma. Beliau mampu mengetahui hal ini dan tak ada satupun dari mereka ini yang dapat menyamai pengetahuan yang dimiliki oleh Sang Buddha. Hal ini telah muncul dan berkembang dengan sempurna di dalam batin Beliau.

ALOKO UDAPADI. Dengan kemampuan ini Beliau dapat memandang ke segala penjuru alam semesta hanya sekedar DHATU (Unsur) saja, tiada manusia pria ataupun wanita. Semuanya melebur menjadi satu kesatuan secara menyeluruh. Hal ini bukan dilihat jelas seperti siang hari karena adanya sinar terang dari matahari, melainkan disaksikan dengan jelas sekali melalui mata batinNya yang telah muncul dan berkembang dengan sempurna.

Sesungguhnya di dunia itu menjadi duniaNya sendiri, lahir di dunia ini harus menjadi dunia ini. Tapi pengetahuan Sang Buddha berada di luar kemampuan manusia biasa. PengetahuanNya itu muncul dan berkembang dari kekekuatan BHAVANA (pengembangan batin) yang mantap dan teguh di hatiNya. Mengetahui dan menyaksikan apapun semuanya menjadi Dhamma. Umat manusia yang lahir di dunia ini semuanya menjadi dunia. Sudah demikian keadaannya dengan sendirinya. Inilah dunia bagi tiap-tiap manusia. Semua orang harus menjadi dunia seperti itu. Sedangkan Sang Buddha telah mengetahui dan menyaksikan bahwa setiap kelahiran pasti akan diikuti ketuaan, kesakitan, dan kematian. Semuanya merupakan hal yang tidak kekal. Semuanya Dukkha bagi setiap orang. Setiap makhluk sama demikian adanya. Inilah yang disebut Dhamma menyaksikan dunia. Dengan menyaksikan Dhamma seperti itu, dunia ini bagaikan tidak ada.

Semuanya muncul dan berkembang dalam hati nurani Beliau tanpa dipikirkan, tanpa mengikuti kitab-kitab manapun, tanpa mendengarkan atau mendapatkan iklan dari siapapun, sekedar muncul dan terlihat dengan sendirinya di dalam nuraniNya sendiri yang senantiasa dalam keadaan bersih, murni, suci dan gilang-gemilang sekali, terbebas sama sekali dari debu-debu pengotor batin. Karena memiliki Samadhi yang sangat cemerlang, suci dan murni sekali, yang timbul dan berkembang dengan sendirinya didalam diriNya sendiri, beliau disebut SABBANNU BUDDHA. Kita, umat manusia yang mendengarkan ajaran khotbah Beliau sehingga mampu menyaksikan kenyataan yang sebenarnya dengan sejelas-jelasnya di dalam hati nurani kita sendiri disebut SAVAKABUDDHA.

Singkatnya Dhammacakka mengandung 4 hal dhamma yaitu Dukkha, Samudaya, Nirodha, dan Magga yang masing-masing memiliki 3 PARIVATARA yaitu:

PARIVATARA I: Inilah yang menyatakan adanya Dukkha, Samudaya, Nirodha, dan Magga, yang masing-masing merupakan hal pokok.

PARIVATARA II: Dukkha adalah hal yang harus dihadapi oleh diri sendiri, bukannya dibuang, dilepas, semuanya merupakan kenyataan yang harus teijadi pada semua insan. Samudaya-lah yang patut dibuang, dilenyapkan, dan dihentikan. Sedangkan Nirodha harus direalisasikan, dibuat terang dan jelas sekali, adapun Magga harus dikembangkan dengan sempurna.

PARIVATARA III: Karena Dukkha harus dihadapi, kami sudah menghadapinya. Karena Samudaya harus dibuang/dilepas kami sudah melepaskannya. Karena Nirodha harus direalisasikan dengan jelas, kami sudah merealisasikannya dengan sempurna. Karena Magga harus dikembangkan, kami sudah mengembangkannya. Mengembangkannya dengan sempurna hingga menjadi Parivatara III dengan ke-12 gejalanya.

Ke-12 gejala ini, ketika muncul akan muncul dengan sendirinya di dalam satu kesatuan waktu, bukannya bertingkat seperti diterangkan di atas, timbul hanya dalam sesaat satu pikiran saja dan mampu mengetahui dengan jelas dan terang sekali semua kenyataan atas segala sesuatu disertai lenyapnya semua keragu-raguan atas Dhamma. Hal ini teramat sulit bagi umat biasa untuk memahaminya, tapi bagi mereka yang telah mampu melaksanakannya, segala pengetahuan itu akan timbul dengan sendirinya hingga dapat disaksikan di dalam dirinya sendiri. Dhamma seperti ini adalah hal yang teramat dalam, diketahui dan disaksikan secara khusus dan secara pribadi oleh diri sendiri, tanpa diketahui oleh orang lain.

Ketika Sang Buddha mengkhotbahkan DHAMMADESANA (khotbah tentang Dhamma) yang disebut DHAMMACAKAPAVATTANASUTTA untuk yang pertama kalinya kepada PANCAVAGGIYA (Lima pertapa), salah seorang diantaranya yaitu ANNNAKONDANNA langsung memperoleh Mata Dhamma bahwa \"Segala sesuatu yang ada di dunia ini setelah timbul sewajarnya pasti akan lenyap\". Beliau mencapai SOTAPANA (kesucian tingkat pertama yang disebut Penentang Arus), kemudian memohon kepada Sang Buddha untuk ditahbiskan menjadi muridNya yang pertama, demikian pula ke-empat temannya. Dengan ditahbiskan secara EHI BHIKKHU oleh Sang Buddha sendiri, lengkaplah TIRATANA (TRIRATNA) atau Tiga permata mulia pada masa itu. DiajarkanNya Dhamma kepada kelima siswaNya untuk melatih dan memperkuat keyakinan dan watak mereka, hingga setelah dikhotbahkan ANATTALAKKHANA SUTTA oleh Beliau, semuanya mencapai ARAHAT (Kesucian tingkat tertinggi).

Ada beberapa orang yang menanyakan mengapa Sang Buddha masih memiliki rasa cemas dan kuatir pada umat manusia dan semua makhluk? Bila kita renungkan lebih dalam akan terlihat kenyataannya bahwa hal ini adalah hal yang wajar seperti misalnya kita memiliki barang-barang yang baik yang mempunyai manfaat yang amat menggembirakan, maka kita akan cenderung membagikannya kepada orang lain agar dapat bersama-sama menikmatinya. Sebenarnya Beliau tidak pernah memiliki sedikitpun rasa cemas dan kuatir terhadap apa pun. Bila mereka mau menerima dan mengikutiNya, silakan mendapatkannya. Tetapi bila mereka tidak mau menerima dan menjalaninya, ini akan menjadi masalah dan problem bagi diri mereka sendiri. Tidak sama dengan orang tua yang cemas dan kuatir terhadap anak dan cucunya. Bila anaknya tidak mengikuti kehendaknya maka akan timbullah kebencian dan kejengkelan. Bila anak-anak mereka mengikuti perintahnya dan menjalankannya, timbullah rasa senang dan gembira. Sang Buddha tidaklah seperti itu, Beliau hanya mau memberikan secara mutlak kepada semua makhluk dalam hal yang terbaik, terbagus dan terharum sehingga dapat ikut menikmati rasa DHAMMADESANA dan AMATA DHAMMA ini.

Siapapun yang menerima dan menjalankannya pasti akan menjadi miliknya yang paling berharga dan bermanfaat. Mereka yang tidak sudi menerima dan menjalankannya, jelas tidak akan menerima manfaatnya. Mereka tidak mau menerimanya dikarenakan Kamma mereka sendiri secara pribadi. Sang Buddha menyaksikan dan mengetahuinya seperti ini, sehingga Beliau membebaskannya dan tetap seimbang. Cukup sekian inti khotbah dari DHAMMACAKKAPAVATTANA SUTTA yang saya sampaikan hari ini.

Selesai berkhotbah, Beliau (Phra Acharn Thate Desaranse) mengajak semua umat untuk bermeditasi selama ?30 menit. Sebelumnya Beliau memberikan tambahan khotbah khusus untuk pengantar bermeditasi:

Hari ini adalah hari penting, yaitu hari ASALHA PUJA (ASADHA PUJA). Setelah melaksanakan DUKKHAKIRIYA (cara penyiksaan diri) selama 6 tahun, didapatkanNya BODHINANA oleh Sang Buddha, yang kemudian diajarkanNya kepada umat manusia sekalian. Tidak mampukah kita melaksanakannya walau hanya sehari? Kita semua berkeinginan untuk mendapatkan kebahagiaan itu, bukankah demikian? Kita ingin menjadi sebaik dan semulia Beliau, bukankah demikian? Tapi kita tidak mau melaksanakannya, bila kita belum melaksanakannya sebaik Beliau, tapi hanya melaksanakan sekejap atau sebentar saja, hal itu pun sudah baik sekali. Kita harus bersikap seperti ini sebelum sanggup melaksanakan kegiatan di dalam Bhavana. Kita, umat manusia, bila belum menyaksikan Dukkha, belum dapat dikatakan melihat Dhamma. Ketika mendapatkan kesulitan dan penderitaan yang paling berat, saat itulah kita melihat Dhamma. Dukkha itulah yang merupakan Dhamma. Bila Dukkha yang kecil dan sedikit itu kita buang dan biarkan berlalu begitu saja tanpa diperhatikan dan direnungkan, kita tak akan pernah memiliki kesempatan sama sekali untuk menyaksikan Dhamma.

Dukkha adalah hal yang harus dihadapi dan diperhatikan, bukan dilepaskan dan dibuang begitu saja. Dukkha itu berada tepat di tubuh ini. Bila tak dihadapi dan diperhatikan, kita tak akan mengetahuiNya. Ketika kita telah mengetahuinya, baru kita sadar, "Oh ini toh yang dikatakan Dukkha, keadaannya seperti ini", rasa Dukkha itu akan berkurang dan akan menjadi lebih baik. Lama kelamaan Dukkha itu akan lenyap sedikit demi sedikit dengan sendirinya karena pikiran kita menjadi tenang dan damai akibat Samadhi. Batin dan pikiran kita akan berada dalam keadaan yang ringan, damai, cemerlang dan bahagia sekali.

Oleh karena itu, patutlah kita berjuang dengan kesungguhan hati untuk melaksanakan Bhavana. Dalam mengembangkan Bhavana ini, kita hanya membangun Sati (perhatian sempurna) dengan mantap untuk memperhatikan pikiran, dan tiada yang lainnya untuk mempraktekkan ajaran Buddha, hanya membangunkan Sati yang ini saja. Demikian hainya dengan keadaan duniawi, bila seseorang mengerjakan secara tidak baik, sembrono, ceroboh, tidak teliti, dia disebut kekurangan Sati.

Apakah Sati itu? Di manakah Sati harus dibangunkan? Sang Buddha mengajarkan untuk membawa Sati kearah pikiran dan dibangunkan di sana agar mampu menguasai keadaan pikiran itu hingga akhirnya pikiran berada dalam kekuasaan dan pengendalian kita, bukan pikiran yang menggunakan dan menguasai diri kita. Pikiran yang menguasai dan menggunakan diri kita itu seperti apa? Bila sedih kita menangis. Bila senang kita tertawa terbahak-bahak dan merasa gembira. Bila kehendak jahat timbul, kita melakukan kejahatan-kejahatan atau kesalahan-kesalahan di dalam jalurnya. Dalam mengerjakan apapun kita mengikuti kehendak DUCARITA (kelakuan buruk) yang berbagai macam itu. Inilah yang disebut pikiran menguasai dan menggunakan diri kita. Bila kita yang menggunakan pikiran itu, kita mampu menguasai dan menggunakan pikiran sehingga berada di dalam kekuasaan kita dan pikiran tidak sanggup menggunakan diri kita. Kita menguasai dan menaklukkannya agar tidak terkacaukan dengan berbagai KILESA (Kekotoran batin). Kita menguasai dan menaklukkan pikiran agar tidak marah, kita dapat mengerjakannya demikian. Kita menguasai dan menaklukkannya agar tidak serakah atau bernafsu, kita dapat menaklukkannya demikian, kita kuasai agar tenang adanya dan netral kondisinya. Kita mampu mengerjakannya demikian, meski pikiran ini sedang bekerja dalam menyelesaikan satu masalah, kita selalu mengetahui keadaannya. Bila kita bertekad untuk mengunakan pikiran dalam pemikiran yang baik dan bagus, kita berada dalam SUCARITA (Kelakuan baik).

Pikiran tidak selalu dalam keadaan diam dan netral, tetapi selalu dalam keadaan membentuk dan menciptakan suatu hal. Demikian juga yang terjadi dengan Sang Buddha, pikiran-Nya juga dalam keadaan demikian, tetapi Beliau dapat menguasai dan menaklukkan pikiran-Nya. Dalam mengajarkan kepada masyarakat luas, umat Buddha yang berbagai macam, Beliau selalu dalam keadaan mencipta dan membentuk. Setelah mencipta dan membentuk, diberikannya semua kepada mereka untuk disimpan.

Bila kita sudah mampu menguasai dan menaklukkan pikiran ini seperti apa yang diajarkanNya, pikiran akan berkumpul masuk menjadi satu kesatuan. Pikiran hanya satu tetapi memiliki gejala lebih dari 1001 macam yang kesemuanya bagaikan terdiri dari banyak sekali coraknya, tetapi sesungguhnya hanya dalam keadaan satu pikiran. Pikiran itu bergetar dengan teramat cepat sekali. Kita tak sempat mengikutinya. Kita masih tetap berada dalam kekuasaannya. Sebenarnya Pikiran yang sejati itu hanya satu.

Apa yang harus kita lakukan agar dapat meyakinkan pikiran? Kita harus menguasai pikiran agar tetap berada dalam BUDDHO-BUDDHO-BUDDHO terlebih dahulu. Sejak itu pikiran akan bergerak makin lambat. Ketika sudah menjadi teramat pelan, pikiran akan berkumpul menjadi satu dengan sendirinya, masuk sampai menjadi APANNA SAMADHI. Sampailah sudah pada tujuan tertinggi dari latihan kita. Samadhi di dalam Agama Buddha hanya Apanna Samadhi ini.

Dalam melatih pikiran ada berbagai cara, tetapi semuanya hanya bertujuan satu dan sama yaitu melatih pikiran agar menyatu menjadi Apanna Samadhi yang merupakan suatu latihan pikiran yang paling tinggi.

Dari manakah munculnya PANNA (Kebijaksanaan)? Panna muncul dari pikiran, timbul dari Sati yang mengontrol dan menguasai pikiran, mengetahui keadaan pikiran setiap saat, saat pikiran tersebut mencipta dan membentuk, saat mengingat dan berpikir. Hal itu yang menimbulkan Panna. Panna seperti ini merupakan PANNA SAMANA miliknya para petapa (pelaksana untuk melatih pikiran). PANNA VIPASSANA adalah hal lain lagi. Jangan berkhayal untuk mendapatkan ini sebelumnya, karena hal itu berada sangat jauh di atas sekali. Hal ini tidak dapat dibentuk atau diambil begitu saja, tapi akan menjadi dengan sendirinya. Bila akan timbul, ia akan muncul sesaat dalam satu kesatuan pikiran saja bagi setiap Magga, seperti SOTAPATI-MAGGA, SAKADAGAMI-MAGGA, ANAGAMI-MAGGA, dan ARAHATA-MAGGA. Timbul hanya dalam sesaat satu kesatuan pikiran saja, setelah itu tidak timbul lagi. Bila tidak timbul lagi, apakah tidak akan hancur atau mundur? Tidak, tidak akan hancur, lenyap, mundur karena pengetahuan dalam sesaat, Panna Vipassana yang muncul tidak akan dapat terlupakan. Kita dapat menggunakannya lagi untuk direnungkan kembali. Seperti kejadian dalam mimpi. Setelah bangun, kita dapat menceritakan semua masalahnya. Ketika Panna Vipassana timbul dan berkembang dalam sesaat pikiran, lenyaplah semua keragu-raguan atas semua Dhamma. Memandang dan melihat semua makhluk yang berada di dunia ini sebagai kondisi yang sama dalam satu kesatuan yang sama, tiada yang rendah, tiada yang tinggi, tiada yang kecil, tiada yang besar, tiada yang perempuan, tiada yang laki-laki, yang ada hanya ke-4 DHATU yang timbul dan berkembang lalu akhirnya padam. Demikianlah adanya.

Ingat, ambillah ini untuk direnungkan setiap saat. Panna Vipassana harus menjadi seperti itu. Bila kita ingin agar dapat muncul sesering mungkin, dia pasti tidak akan muncul. Hal ini harus dimengerti seperti JHANA. Umatlah yang mempratekkan dan memahaminya sebagai Vipasssana atau mungkin sebagai ingatan yang membentuk pikiran. Demikianlah adanya.

Latihlah terus seperti itu setiap saat agar mahir dalam pengalaman, sampai atau tidak sampai, masa bodoh. Pikiran kita makin lama akan makin melemah. Kondisi demikian merupakan pengumpulan energi pikiran sehingga dengan sendirinya batin bertambah banyak kekuatannya.

Apakah manfaat dari pikiran yang menyatu? Amat banyak kegunaan, dan luar biasa manfaatnya. Bagaikan arus listrik!! Bila arus listrik digunakan dengan lampu yang sangat banyak, sinar yang terpancar makin melemah. Tapi bila hanya menggunakan satu bola lampu, sinarnya akan memancar dengan terang sekali. Pikiran yang menyatu, memiliki kekuatan yang mampu memotong arus Kilesa yang amat kasar dan kuat menjadi putus dan berantakan.

Laksanakanlah Samadhi untuk membuat pikiran menjadi tenang, damai, teguh, dan mantap. Kita semua sudah memahaminya, bukankah demikian? Kita sudah tahu cara menumbuhkan yang betul dan benar, yang mampu memadamkan Kilesa yang sebenarnya. Karena itu usahakanlah dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan ini terus, jangan sampai merasa segan dan bosan dengannya. Walaupun masih belum mampu mencapai tujuan yang tertinggi dari jalan KEBEBASAN DARI PENDERITAAN, tapi kita sedang memasuki jalur yang telah dijalani oleh Sang Buddha.***

Sumber:

DHAMMACAKKAPAVATTANA SUTTA; Dhammavijayo Thera (alih-bahasa);
 
Back
Top