spirit
Mod
Penduduk pulau Norfolk Island, wilayah Australia di Pasifik Selatan, kini terlibat perdebatan sengit soal bagaimana mengelola mobil bekas, yang sudah dianggap sampah.
Sebagian menghendaki praktek membakar mobil bekas dan membuang kerangkanya ke laut tetap diteruskan. Namun yang lain menyarankan agar sampah besi tua ini dikembalikan ke Australia.
Pulau itu terletak 1.412 kilometer dari Benua Kanguru. Selama beberapa dekade, membakar mobil bekas dan membuangnya ke laut merupakan kebijakan resmi.
Di sana juga tidak ada layanan pengambilan sampah rumah tangga.
Pasalnya, hingga tahun 2016, penduduk Norfolk menjalankan pemerintahan sendiri dengan mengandalkan pajak penghasilan dari sekitar 1.750 penduduknya.
Menurut Walikota Robin Adams, karena masalah biaya, model pengolahan sampah di sana dilakukan dengan cara pembakaran dan sisa-sisanya dibuang ke laut.
Walikota Norfolk Island Robin Adams menyatakan pihaknya telah berusaha keras menerapkan sistem pengolahan sampah yang baik. (ABC: Jessie Davies)
Saat ini sudah terbentuk Pemkot Norfolk Island yang diberi tanggung jawab untuk mengurus jalan raya, pajak dan sampah.
Sejak menjalankan tugasnya, Pemkot mengembalikan agenda menjaga lingkungan dan berhasil mengurangi 70 persen pembuangan sampah ke laut.
Sampah aluminium misalnya, sekarang dikirim ke luar pulau. Sampah kaca dihancurkan untuk digunakan kembali. Ada juga sistem kompos yang kini sedang dibangun.
"Kita harus memastikan keindahan pulau ini selama mungkin," ujar Lotta Jackson dari Pemkot setempat.
Pemkot telah membeli peralatan untuk menghancurkan mobil bekas dan mengirimnya ke daratan Australia.
Namun hal ini terkendala pengapalan, sehingga peralatan itu tidak berfungsi selama berbulan-bulan.
Jackson mengatakan dirinya kini fokus menjadikan Norfolk sebagai pulau kecil terbaik di dunia.
Ratusan mobil bekas kini menumpuk di pulau Norfolk Island yang luasnya hanya 34 km persegi. (ABC: Jessie Davies)
Keputusan Pemkot Norfolk untuk menghentikan praktik pembuangan mobil ke laut tidak didukung oleh semua penduduk.
Salah satunya bernama Jim Taverner. "Buang mobil-mobil itu di laut, biarkan terurai dan membentuk terumbu bagi ikan-ikan dengan biaya sangat murah," katanya.
Dia melihat pulau ini sudah penuh dengan mobil bekas. Hal itu, katanya, justru akan merusak reputasi industri utama, yaitu pariwisata.
"Pulau Norfolk sangat indah tetapi begitu tiba di bandara hal pertama yang kita lihat dari jendela pesawat adalah tumpukan mobil," katanya.
Menurut Taverner, biaya dan logistik untuk mengekspor limbah mobil tidak masuk akal.
"Jika Anda punya mobil dan semuanya hancur, itu akan memiliki ujung yang tajam. Ini tidak akan seperti mengangkut es batu," kata Taverner.
Karena Norfolk tidak memiliki pelabuhan, pasokan barang-barang dialihkan ke dermaga dengan kapal tradisional.
Kondisi laut yang ganas seringkali menjadi kendala kapal kargo, dan menurut Taverner, semua kargo juga harus melalui Selandia Baru.
"Apakah Australia menginginkan limbah kita? Sama sekali tidak," ujarnya.
Penduduk pulau Norfolk Island sudah terbiasa membakar sampah sebelum membuang sisa-sisanya ke laut. (ABC: Nathan Morris)
Sudah jadi pemandangan sehari-hari jika di pulau itu terlihat adanya asap dari pekarangan rumah warga.
Bahkan, empat hari seminggu, asap pembakaran sampah di Headstone Point selalu terlihat jelas. Di situlah Pemkot Norfolk membakar sampah rumahtangga termasuk kertas, kardus, dan plastik.
Meskipun kini mereka tak membakar mobil bekas, namun sisa-sisa pembakaran itu masih tetap dibuang ke laut.
Sejumlah warga mengeluhkan kondisi perekonomian di pulau ini yang tidak bersahabat sejak dekade terakhir.
Banyak usaha yang tutup dan yang masih bukan pun tampak sepi dari pembeli.
Namun ada salah satu usaha baru yang kini menjual bahan makanan dengan pilihan tanpa sampah.
Pemilik toko Claire Quintal mengatakan pihaknya mendukung upaya Pemkot dalam pengelolaan limbah berkelanjutan.
"Saya kira saat sistemnya sudah jalan, semuanya akan jadi bagus," katanya.
sumber