fajarsany
New member
Kota Bandung, hari Jumat di pertengahan Maret 2013.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.37, langit telah dipenuhi awan-awan hitam, keadaan cukup gelap tanpa ada sedikitpun sinar jingga matahari yang menembus awan, dan udara terasa dingin. Kukeluarkan jaket dari dalam kantong punggung, lalu kukenakan. Tak sampai satu menit, hujan turun dengan deras. Rintik-rintiknya berukuran besar, menghasilkan suara keras ketika menghantam angkot yang kunaiki ini; terdengar seperti dilempari batu.
“Kiri!” Kata salah seorang penumpang ibu-ibu yang duduk menghadap ke pintu. Angkot berhenti di depan sebuah warung kecil yang disekitarnya terdapat banyak pohon-pohon besar. Seorang perempuan muda tampak sudah menunggu ibu-ibu tadi sambil membawa payung. Aku pun ikut turun, kemudian menghampiri warung kecil tersebut. Disana ada beberapa bapak-bapak yang sedang ngopi.
Salah seorang dari mereka ada yang berprofesi sebagai guru SMA. Dia menceritakan kalau tahun kemarin dia pernah diancam oleh orang tua salah seorang siswanya karena memberikan PR (Pekerjaan Rumah) yang dianggap terlalu sulit; padahal PR tersebut dia susun berdasarkan apa yang telah dia ajarkan.
Dalam keadaan hujan seperti ini, pisang goreng dan kopi memang camilan yang pas. Apalagi suasana disini terasa sejuk. Sebenarnya aku merindukan bajigur atau bandrek yang dijual oleh para pedagang tradisional, namun keberadaannya saat ini begitu langka. Aku kurang menyukai versi instan karena rasanya tidak senikmat versi tradisional.
Pukul 17.25, hujan masih belum berhenti, meski tidak sederas tadi. Aku tidak bisa berlama-lama disini karena nanti malam aku harus ke kosan temanku memenuhi janji bertanding sepak bola. Tentunya permainan sepak bola di komputer. Tapi, aku merasa berat untuk beranjak, posisinya sudah terlanjur enak. Apalagi suasananya yang dingin seperti ini, membawaku kepada yang namanya melamun, dan itu terasa nikmat.
Kemudian, aku melihat seorang perempuan muda yang memegang payung berjalan menuju trotoar, lalu dia berdiri disana menunggu angkot yang melintas. Tubuhnya sedikit kurus, tidak terlalu tinggi, rambutnya hitam panjang melebihi bahu, dan kulitnya terang. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia tidak meliuk kearah sini, hanya sampingnya saja.
Tiba-tiba aku jadi teringat seseorang, dari masa lalu. Seseorang yang pernah membuat wajahku memerah di depan teman-temanku, dan itu membuatku malu. Seseorang yang pernah membuatku menjadi bisa menggambar sebuah taman kota dengan sangat indah, padahal sebelumnya aku tidak bisa menggambar seperti itu. Dan berbagai kenangan indah lainnya. Perempuan itu bernama Yayu. 4 tahun lalu, ketika kami diwisuda, selesailah ceritaku di kampus, begitupula dengannya. Kejadian saat itu memang menyakitkan, bahkan aku belum meminta maaf kepadanya. Aku sungguh menyesal selama 4 tahun ini. Maka dari itu, aku ingin meminta maaf. Mungkin perempuan di trotoar itu adalah Yayu.
Aku beranjak dari tempat duduk, kemudian berjalan ke dekatnya. Tadinya aku hanya ingin memastikan saja dengan melihat wajahnya kalau itu Yayu, tapi aku keceplosan mengatakan 'Yayu' dengan cukup keras. Perempuan itu pun melihat kearahku, sehingga aku pun bisa melihat wajahnya. Ternyata benar itu Yayu! Wajahnya tidak berubah, tapi sekarang terlihat lebih berseri.
“Yayu, itukah kamu, sedang apa disini?” Tanyaku.
Dia hanya tersenyum.
Aku berjalan perlahan mendekatinya.
“Yay?” Kataku lagi.
Dia masih tersenyum.
Lalu sebuah telapak tangan berada di depanku, menghalangi penglihatan. Telapak tangan milik seorang bapak-bapak yang berada di sampingku.
“Hey jang, ari kamu kenapa?” Tanyanya.
“Mau nyapa teman saya.” Jawabku.
“Kamu berkhayal atau bagaimana?” Katanya lagi.
Kulihat Yayu sudah tidak ada.
“Tadi disitu ada seorang perempuan pak, pake payung.” Kataku.
“Perempuan pake payung? Dari tadi tidak ada siapa-siapa disitu. Kamu berbicara sendiri seperti orang yang melindur.”
Kulihat kembali, memang benar tidak ada siapa-siapa. Orang-orang di warung kecil itu semuanya melihat ke arahku, yang sedang melewat juga.
Ibu-ibu pemilik warung menghampiriku, kemudian memberikan sebotol air tawar. “Minum Aqua dulu jang, gratis.” Katanya.
Oh, ternyata tadi hanya halusinasi akibat lamunanku saja. Sialan.
Jam di tanganku menunjukkan pukul 16.37, langit telah dipenuhi awan-awan hitam, keadaan cukup gelap tanpa ada sedikitpun sinar jingga matahari yang menembus awan, dan udara terasa dingin. Kukeluarkan jaket dari dalam kantong punggung, lalu kukenakan. Tak sampai satu menit, hujan turun dengan deras. Rintik-rintiknya berukuran besar, menghasilkan suara keras ketika menghantam angkot yang kunaiki ini; terdengar seperti dilempari batu.
“Kiri!” Kata salah seorang penumpang ibu-ibu yang duduk menghadap ke pintu. Angkot berhenti di depan sebuah warung kecil yang disekitarnya terdapat banyak pohon-pohon besar. Seorang perempuan muda tampak sudah menunggu ibu-ibu tadi sambil membawa payung. Aku pun ikut turun, kemudian menghampiri warung kecil tersebut. Disana ada beberapa bapak-bapak yang sedang ngopi.
Salah seorang dari mereka ada yang berprofesi sebagai guru SMA. Dia menceritakan kalau tahun kemarin dia pernah diancam oleh orang tua salah seorang siswanya karena memberikan PR (Pekerjaan Rumah) yang dianggap terlalu sulit; padahal PR tersebut dia susun berdasarkan apa yang telah dia ajarkan.
Dalam keadaan hujan seperti ini, pisang goreng dan kopi memang camilan yang pas. Apalagi suasana disini terasa sejuk. Sebenarnya aku merindukan bajigur atau bandrek yang dijual oleh para pedagang tradisional, namun keberadaannya saat ini begitu langka. Aku kurang menyukai versi instan karena rasanya tidak senikmat versi tradisional.
Pukul 17.25, hujan masih belum berhenti, meski tidak sederas tadi. Aku tidak bisa berlama-lama disini karena nanti malam aku harus ke kosan temanku memenuhi janji bertanding sepak bola. Tentunya permainan sepak bola di komputer. Tapi, aku merasa berat untuk beranjak, posisinya sudah terlanjur enak. Apalagi suasananya yang dingin seperti ini, membawaku kepada yang namanya melamun, dan itu terasa nikmat.
Kemudian, aku melihat seorang perempuan muda yang memegang payung berjalan menuju trotoar, lalu dia berdiri disana menunggu angkot yang melintas. Tubuhnya sedikit kurus, tidak terlalu tinggi, rambutnya hitam panjang melebihi bahu, dan kulitnya terang. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia tidak meliuk kearah sini, hanya sampingnya saja.
Tiba-tiba aku jadi teringat seseorang, dari masa lalu. Seseorang yang pernah membuat wajahku memerah di depan teman-temanku, dan itu membuatku malu. Seseorang yang pernah membuatku menjadi bisa menggambar sebuah taman kota dengan sangat indah, padahal sebelumnya aku tidak bisa menggambar seperti itu. Dan berbagai kenangan indah lainnya. Perempuan itu bernama Yayu. 4 tahun lalu, ketika kami diwisuda, selesailah ceritaku di kampus, begitupula dengannya. Kejadian saat itu memang menyakitkan, bahkan aku belum meminta maaf kepadanya. Aku sungguh menyesal selama 4 tahun ini. Maka dari itu, aku ingin meminta maaf. Mungkin perempuan di trotoar itu adalah Yayu.
Aku beranjak dari tempat duduk, kemudian berjalan ke dekatnya. Tadinya aku hanya ingin memastikan saja dengan melihat wajahnya kalau itu Yayu, tapi aku keceplosan mengatakan 'Yayu' dengan cukup keras. Perempuan itu pun melihat kearahku, sehingga aku pun bisa melihat wajahnya. Ternyata benar itu Yayu! Wajahnya tidak berubah, tapi sekarang terlihat lebih berseri.
“Yayu, itukah kamu, sedang apa disini?” Tanyaku.
Dia hanya tersenyum.
Aku berjalan perlahan mendekatinya.
“Yay?” Kataku lagi.
Dia masih tersenyum.
Lalu sebuah telapak tangan berada di depanku, menghalangi penglihatan. Telapak tangan milik seorang bapak-bapak yang berada di sampingku.
“Hey jang, ari kamu kenapa?” Tanyanya.
“Mau nyapa teman saya.” Jawabku.
“Kamu berkhayal atau bagaimana?” Katanya lagi.
Kulihat Yayu sudah tidak ada.
“Tadi disitu ada seorang perempuan pak, pake payung.” Kataku.
“Perempuan pake payung? Dari tadi tidak ada siapa-siapa disitu. Kamu berbicara sendiri seperti orang yang melindur.”
Kulihat kembali, memang benar tidak ada siapa-siapa. Orang-orang di warung kecil itu semuanya melihat ke arahku, yang sedang melewat juga.
Ibu-ibu pemilik warung menghampiriku, kemudian memberikan sebotol air tawar. “Minum Aqua dulu jang, gratis.” Katanya.
Oh, ternyata tadi hanya halusinasi akibat lamunanku saja. Sialan.