Linda
linda - pernah menjadi wartawan selama 23 tahun untuk majalah Tempo, Gatra dan penulis lepas di beberapa majalah wanita. Berhenti menjadi wartawan 10 tahun silam ternyata sulit dibarengi dengan berhenti menulis. Musik dan tulis menulis adalah aliran jiwa, semburan nafas yang dasyat dan sebuah semangat kehidupan.....
Dahlan Iskan: Menteri BUMN, Sepatu Kets, dan Air Mata
Dahlan Iskan bergerak terus. Sakitnya yang menahun, yang sempat amat serius ditangani, nyatanya tidak menjadi penghalang bagi semangatnya yang senantiasa menggebu-gebu. Ia tidak malu-malu membeberkan dalam cerita bersambung di media, beberapa tahun lalu, tentang perjuangannya melawan penyakitnya. Pria yang ulang tahunnya tiap tahun dimeriahkan berkibarnya bendera merah putih seluruh negeri ini ( ia lahir 17 Agustus 1951), adalah pemilik dari surat kabar raksasa Jawa Pos. Sekedar dicatat, sebelum ia meraih kehebatnnya sebagai pemilik Jawa Pos, ia menelusuri karirnya dari bawah. Calon reporter di Samarinda, kemudian menjadi wartawan Majalah Tempo tahun 1976. Lalu menjadi pebisnis yang merambah sampai ke Cina, akhirnya ia ‘terdampar’ di perusahaan milik negara PLN, menduduki posisi direktur utama. Hari ini, Senin 17 Oktober 2011, Presiden memerintahkannya untuk menjadi menteri BUMN.
Dahlan terbata-bata memberikan keterangan pers di depan wartawan Istana. Air matanya mengembang. Ia mengaku sedih meninggalkan PLN yang tengah serius dirintisnya. “Kami di seluruh Indonesia sedang semangat-semangatnya”, ujarnya. Itulah air mata seorang mantan wartawan yang jiwanya masih jiwa wartawan. Dahlan tetap mudah dihubungi teman-temannya saat ia menjadi Dirut PLN. Ia memang mudah terenyuh. Senyumnya cepat tergerai, tapi kadang emosinya, menurut berbagai wartawan juniornya, juga meledak sekenanya. Kehidupan dunia jurnalistik yang tiap detik dikejar deadline dan harus selalu aktual, menjadikannya seorang laki-laki yang gesit melompat sana-sini berkejaran dengan waktu dalam menangani bisnisnya.
Sebagai petinggi di Jawa Pos, sekian tahun lalu saya pernah memintanya untuk datang pada pertemuan di kawasan Kemang. Teman saya, jenderal Sudrajat, yang sempat menjadi Kapuspen ABRI dan pernah pula menjadi Sekjen Hankam, akan bersiap diri menjadi Duta Besar di Cina. Saya mengusulkannya agar ia bertemu dulu bertukar pikiran dengan berbagai orang yang ahli dalam masalah Cina. Saya memilih pebisnis Indonesia yang berkaitan dengan Cina, wartawan senior, maupun sinolog yang hebat. Maka Dahlan saya mintakan kesediaannya datang sebagai pebisnis ulungnya, Ninok Leksono sebagai wartawan senior yang sangat paham masalah luar negeri dan ketentaraan, juga Dahana, sinolog terkenal yang amat paham dengan kultur budaya Cina secara mendalam.
Dahlan datang dengan sepatu kets dan jaket biru gelap. Ia memaparkan secara rinci di depan sang jendral, calon Duta Besar ini tentang kondisi hubungan perdagangan Indonesia dengan Cina - tentu saja dilihat dari kacamata seorang pengusaha swasta pribumi yang berkecimpung tahunan di negeri itu. Suara medok Jawa-nya tetap kental dan mewarnai pembicaraan. Pak Drajat tampak puas dengan ‘kuliah kilat khusus’ yang diberikan oleh Dahlan, juga yang dipaparkan oleh Dahana maupun Ninok Leksono.
Dahlan adalah wartawan sejati. Intuisinya tajam. Bicaranya ceplas ceplos, tak pernah merasa minder bertutur kata di depan pejabat tinggi manapun, hampir selalu memakai kaos atau kemeja bersahaja, maupun sepatu ketsnya tak pernah tertinggal. Dan tampaknya sulit diubah. Meski sudah menjadi ‘boss’ Jawa Pos, jadi pengusaha sukses yang hebat, sampai-sampai orang sering mencibir di kantor PLN, saat melirik gaya berbaju Dahlan yang masih ‘begitu-begitu juga’, ia seakan tidak ambil pusing.
Dengan terpilihnya Dahlan menduduki posisi maha penting di jajaran kabinet saat ini, tentu saja saya turut bergembira. Sudah sering saya alami dan saya rasakan, wartawan acapkali dianggap sebagai warga kelas tiga di bumi Indonesia ini. Bahkan dulu saat saya masih bertugas di Istana, seorang menteri perempuan pernah menghina wartawan, “Kalian dulu waktu sekolah belum pakai seragam? Pantes, jadinya cuma wartawan!” — ungkapan yang menyakiti hati saya dan teman-teman sesama wartawan, khususnya yang pada saat itu bertugas di lingkungan Istana, Sekneg dan BinaGraha. Mensesneg Moerdiono marah besar ketika kami mengadukan hal ini. Ia sangat tidak suka wartawan diremehkan seenaknya.
Lihatlah juga saat keributan wartawan dengan murid-murid sekolah yang baru saja terjadi. Lepas dari siapa yang salah, terasa sekali berbagai opini dan tulisan yang sangat menghina wartawan. Mungkin mereka lupa, Menlu Ali Alatas, Adam Malik yang juga sempat menjadi Wakil Presiden, Sabam Siagian yang pernah menjadi Duta Besar di Australia, maupun Assegaf yang pernah menjadi Duta Besar di Vietnam, Susanto Pujomartono Duta Besar di Rusia, bahkan saat ini masih ada pula Hamid Awaludin masih menjadi Duta Besar, semua merintis karirnya dari profesi wartawan.
Dahlan, tentu akan bekerja lebih keras lagi. Secara jujur di acara keterangan pers tadi di Istana ia mengakui, “Besok test kesehatan. Tidak tahu, lulus atau tidak. Kan saya memang sakit!”. Itulah ungkapan sekenanya. Tanpa beban. Tanpa rasa takut dan ‘madatan’ menjadi seorang menteri. Lalu, buru-buru saya ingat dengan sepatu ketsnya yang ‘ampun-ampun’ itu. Saya hubungi sahabat saya di Istana, barusan. “Dia tadi pakai sepatu apa’an?”, tanya saya. “Ya itulah… menghadap presiden pakai sepatu kets…teteeeeeeeuuuuuup!” jawab teman saya. Huahahahahaaaaaaaaa…..!!