[Diskusi bukan debat] hukumnya bunga pada koperasi, bank, deposito dan lain lain.

izroil

New member
Apakah pendapat kalian?
"Setahu saya"
sistem seperti ini dilakukan pertama kali tuh oleh bangsa yahudi. Yang menakutkan orang islam banyak yang terlibat di dalamnya bahkan yang lebih membuat saya nangis batin 80% orang islam di pasar tuh berkata demikian "saya wong kere mas butuh duit kecepit" gimana urasanya tuh penonton?
 
kalu d koperasi ntu bukannya bagi hasil ya?

Kalu make dari dana smacam bazis, bmt dsb boleh ga ya? Kalu boleh sie bsa diambil dari situ, apalagi skrg lmbaga smacam itu dah bnyak ...

Btw, petromax dpet cendol ga? :D
 
"Setahu saya"
yang namanya bagi hasil ntuh harus perjanjian menanggung rugi dan laba secara merata.
Tapi dalam hal ini kalo untung bagi hasil kalo rugi modal 100% kembali + biaya admin.
 
yang namanya bagi hasil ntuh harus perjanjian menanggung rugi dan laba secara merata.
Ya makanya jangan asal milih koperasi :D pastikan bagi hasil secara syariah

Tapi dalam hal ini kalo untung bagi hasil kalo rugi modal 100% kembali + biaya admin.
Uceeet parraaaah :)) mau bisnis tapi takut rugi..??? ntu namanya maruk.. mending ngepet aje semua usaha mau positif & negatif semua menanggung resiko..
 
iya betul tergantung koperasinya ...ga bisa disamaratakan ...bank pun demikian, cari yang syariah ...contohnya, muamalat (promo dikit ah, maklum sebagai salah satu nasabahnya :D)
 
Hehe...
Sesuai postingnya ini diskusi bukan debat.
'pendapat saya'
sekarang sistim muamalatpun masih sedikit mengandung riba' couse perjanjian awal tuh utang piutang tpi pada perjalananya berubah melenceng menjadi perjanjian bisnis yang melakukan bagi hasil.
'pendapat saya lagi'
kalau dari awal perjanjian bisnis tuh sah aja tapi cuma penanam modal juga harus mengawasi usahanya.
Dalam hal ini mereka brsikap masa bodo tuh kata pak kyai 'bukan kata saya' tuh masih riba.
'kata pak kyai'
ngepet tuh dosa
 
'pendapat saya'
yang namanya perjanjian piutang harus berupa barang yang serupa.
Kalo bilang utang 10ribu ga boleh jadi 9ribu dengan alasan apapun cth byaya administrasi.
Pengembalian harus tepat sama. Kalo mo kasih tambahan g boleh dari hati pemberiutang harus dari penerima utang dan tidak boleh ada perjanjian dari awal. Cth aku kasih utang tapi nanti kalo sukses aku kamu kasih persen dari untung usahamuya.
Cth di atas adalah riba.
Yang benar=> aku kasih kamu utang. Kamu harus kembalikan tanggal sekian...
Stelah tanggal yg ditentukan sang pengutang memberi sebagian labanya untuk rasa trimakasih.
Trus kalo perjanjian bisnis tuh pembagian laba/rugi dilakukan tiap tutup buku bukan ketika modal ditarik abis. Klo modal di tarik abis maka tak ada pembagian hasil.
Kalo minta solusi ya yang namanya diskusi kan buat cari solusi. Intinya saya pingin solusi.
Geto. abang abang yang baek.
 
'kata pak kyai'
ngepet tuh dosa
:)) yah situ maunya kalo untung bagi hasil kalo rugi modal 100% kembali + biaya admin << kan gak mau rugi.. mau bisnis tapi takut rugi.. sama aja perbuatan dzolim, merugikan di pihak lain (menurut hukum Islam berdosa besar).


Riba dan Bunga Bank itu Haram

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda,

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ


“Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung itu akan terkena debunya” (HR Nasai no 4455, namun dinilai dhaif oleh al Albani).

Meski secara sanad hadits di atas adalah hadits yang lemah namun makna yang terkandung di dalamnya adalah benar dan zaman tersebut pun telah tiba. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi komsumsi publik bahkan suatu yang mendarah daging di tengah banyak kalangan. Padahal ancaman dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang riba sungguh mengerikan bagi orang yang masih memiliki iman kepada Allah dan hari akhir.

عَنْ عَوْفِ بن مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:”إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لا تُغْفَرُ: الْغُلُولُ، فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَآكِلُ الرِّبَا فَمَنْ أَكَلَ الرِّبَا بُعِثَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَجْنُونًا يَتَخَبَّطُ


Dari Auf bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hati-hatilah dengan dengan dosa-dosa yang tidak akan diampuni. Ghulul (baca:korupsi), barang siapa yang mengambil harta melalui jalan khianat maka harta tersebut akan didatangkan pada hari Kiamat nanti. Demikian pula pemakan harta riba. Barang siapa yang memakan harta riba maka dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat nanti dalam keadaan gila dan berjalan sempoyongan” (HR Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir no 110 dan dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib no 1862).

Berdasarkan hadits tersebut maka pelaku riba itu telah menghalangi dirinya sendiri dari ampunan Allah.
Makna hadits di atas bukanlah menunjukkan bahwa orang yang memakan riba meski sudah bertaubat tetap tidak akan diampuni oleh Allah. Akan tetapi maksudnya adalah menunjukkan tentang betapa besar dan ngerinya dosa memakan riba.

Umat Islam bersepakat berdasarkan berbagai dalil dari al Qur’an dan sunnah bahwa orang yang bertaubat dari dosa maka Allah akan menerima taubatnya baik dosa tersebut adalah dosa kecil maupun dosa besar.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَيَبِيتَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى عَلَى أَشَرٍ وَبَطَرٍ وَلَعِبٍ وَلَهْوٍ فَيُصْبِحُوا قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ بِاسْتِحْلاَلِهِمُ الْمَحَارِمَ وَاتِّخَاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ وَشُرْبِهِمُ الْخَمْرَ وَأَكْلِهِمُ الرِّبَا وَلُبْسِهِمُ الْحَرِيرَ
».

Dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tanganNya, sungguh ada sejumlah orang dari umatku yang menghabiskan waktu malamnya dengan pesta pora dengan penuh kesombongan, permainan yang melalaikan lalu pagi harinya mereka telah berubah menjadi kera dan babi. Hal ini disebabkan mereka menghalalkan berbagai yang haram, mendengarkan para penyanyi, meminum khamr, memakan riba dan memakai sutra” (HR Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaid al Musnad [Musnad Imam Ahmad no 23483], dinilai hasan li ghairihi oleh Al Albani dalam Shahih at Targhib wa at Tarhib no 1864).

Pada saat haji wada’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعَةٌ وَإِنَّ أَوَّلَ دَمٍ أَضَعُ مِنْ دِمَائِنَا دَمُ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ كَانَ مُسْتَرْضِعًا فِى بَنِى سَعْدٍ فَقَتَلَتْهُ هُذَيْلٌ وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ


“Ingatlah, segala perkara jahiliah itu terletak di bawah kedua telapak kakiku. Semua kasus pembunuhan di masa jahiliah itu sudah dihapuskan. Kasus pembunuhan yang pertama kali kuhapus adalah pembunuhan terhadap Ibnu Rabi’ah bin al Harits. Dulu dia disusui oleh salah seorang Bani Saad lalu dibunuh oleh Hudzail. Riba jahilaih juga telah dihapus. Riba yang pertama kali kuhapus adalah riba yang dilakukan oleh Abbas bin Abdil Muthallib. Sungguh semuanya telah dihapus” (HR Muslim 3009 dari Jabir bin Abdillah).

Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa riba itu berada di bawah telapak kaki beliau untuk menunjukkan betapa rendah dan hinanya pelaku riba dan riba juga dinilai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perkara jahiliah.

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِى ، فَأَخْرَجَانِى إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ ، فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ ، وَعَلَى وَسَطِ النَّهْرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِى فِى النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِى فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ ، فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِى فِيهِ بِحَجَرٍ ، فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ ، فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِى رَأَيْتَهُ فِى النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا »

Dari Samurah bin Jundab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semalam aku bermimpi ada dua orang yang datang lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang suci. Kami berangkat sehingga kami sampai di sebuah sungai berisi darah. Di tepi sungai tersebut terdapat seorang yang berdiri. Di hadapannya terdapat batu. Di tengah sungai ada seorang yang sedang berenang. Orang yang berada di tepi sungai memandangi orang yang berenang di sungai. Jika orang yang berenang tersebut ingin keluar maka orang yang berada di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya. Akhirnya orang tersebut kembali ke posisinya semula. Setiap kali orang tersebut ingin keluar dari sungai maka orang yang di tepi sungai melemparkan batu ke arah mulutnya sehingga dia kembali ke posisinya semula di tengah sungai. Kukatakan, “Siapakah orang tersebut?”. Salah satu malaikat menjawab, “Yang kau lihat berada di tengah sungai adalah pemakan riba” (HR Bukhari no 1979).

Dalam hadits di atas jelas sekali betapa kerasnya hukuman bagi pemakan riba sementara ketika di dunia dia mengira bahwa dirinya bergelimang kenikmatan.

Akhirnya seluruh umat Islam beserta segenap ulamanya baik yang terdahulu ataupun yang datang kemudian telah sepakat bahwa riba adalah haram. Mereka juga menegaskan bahwa bunga bank dan yang semisal dengannya adalah haram. Mereka juga sepakat bahwa siapa saja yang menghalalkan riba maka dia kafir. Sedangkan siapa saja yang melakukan transaksi riba namun masih memiliki keyakinan bahwa riba itu haram maka dia telah melakukan dosa besar, orang yang fasik dan berani memerangi Allah dan rasulNya.

Para ulama telah menetapkan haramnya bunga yang telah dipatok di awal transaksi misal 3%, 5% dan seterusnya. Para ulama telah membantah orang-orang yang menghalalkan bunga bank dan merontokkan argument-argumen mereka secara total. Tidak ada beda antara bunga dalam jumlah kecil ataupun dalam jumlah besar. Semuanya adalah riba yang diharamkan.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Sumber

Artikel di atas penjelasan tentang hukum riba & bunga di bank konvensional, makanya segeralah pindah ke bank" syariah

Semoga bermanfaat :)(
 
Buat mas jmw yang saya maksud bisnis kalo untung bagi hasil kalo rugi modal kembali tuh bank muamalat.
Truz ada juga kpr syariah, "12 ribu rupiah per bulan selama 15 tahun untuk uang sebesar 1juta" apa tuh namanya bukan riba?
Sekarang bank syariah pun dah melakukan riba terselubung. Bagi orang awam dan bodoh seperti saya tuh sangat mudah ketipu. Makasih buat masukan hadist hadistnya.
Jadi itu memang dah takdir semua orang jaman sekarang tuh terlibat riba.
Subhanaloh gimana tuh.
Kalo sesama muslim ga mau saling mengingatkan tuh kan sama dosanya.
 
Coba konsultasi langsung dgn CS Bank Muamalat & kpr syariah untuk lebih jelasnya. Jangan cuma baca dari brosur atau media lainnya.

Bagaimana menghindari hal" yg tidak diinginkan seperti riba terselubung dll?
Tingkatkan iman, seringlah berpuasa untuk meningkatkan kontrol terhadap nafsu, latihan untuk menghindari segala sesuatu yg termasuk syubhat apalagi yg haram, teruslah berdzikir disetiap keadaan.

Kalo sesama muslim ga mau saling mengingatkan tuh kan sama dosanya.
Betul, mengingatkan sesama muslim hukumnya wajib.
 
mari kita lanjutkan diskusinya, mas izrail :D

bicara masalah ini, maka mau tidak mau harus melibatkan yang namanya mudharabah :D

http://www.koperasisyariah.com said:
Secara bahasa mudharabah berasal dari akar kata dharaba – yadhribu – dharban yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.

Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.

Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.

Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.

“Dan orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari keutamaan Allah” (Q.S. Al-Muzammil : 20)

Ayat ini menjelaskan bahwa mudharabah ( berjalan di muka bumi) dengan tujuan mendapatkan keutamaan dari Allah (rizki). Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

“Maka apabila shalat (jum’at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah keutamaan Allah” (Q.S al-Jum’ah : 10)

Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.

Menurut Madzhab Hanafi rukun mudharabah itu ada dua yaitu Ijab dan Qobul.

Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun mudharabah ada tiga macam yaitu:

  • Adanya pemilik modal dan mudhorib,
  • Adanya modal, kerja dan keuntungan,
  • Adanya shighot yaitu Ijab dan Qobul.

Secara umum mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:

  1. Mudharabah muthlaqoh
    Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
  2. Mudharabah muqoyyadah.
    Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya


ebook: tentang mudharabah

mengenai bank Muamalat, saia copykan dari blog http://komunitasamam.wordpress.com/2009/12/13/pembiayaan-mudharabah-bank-muamalat-menguntungkan/

Penulis Lukman Hakim Zuhdi

Perbankan syariah (bank Islam) telah menjadi istilah yang sudah tidak asing lagi, baik di dunia muslim maupun dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu sistem perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas ‘bunga’ kepada para nasabah.

Di Indonesia, bank yang kali pertama berlabel syariah (Islam) adalah PT Bank Muamalat Indonesia, Tbk. Muamalat didirikan pada 1 Nopember 1991, yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah Indonesia . Lahirnya Muamalat juga didukung oleh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.

Visi Muamalat menjadi bank syariah utama di Indonesia, dominan di pasar spiritual dan dikagumi di pasar rasional. Sedangkan misinya menjadi role model Lembaga Keuangan Syariah dunia dengan penekanan pada semangat kewirausahaan, keunggulan manajemen dan orientasi investasi yang inovatif untuk memaksimumkan nilai bagi stakeholder.

Berbekal visi dan misi tersebut, Muamalat kemudian mengeluarkan berbagai produk, jasa dan layanan. Salah satunya pembiayaan mudharabah (bagi hasil). Menurut Anang Rachmadi, Retail Product Development Division Head Bank Muamalat, mudharabah merupakan skema yang telah umum dimiliki perbankan syariah dan diakui Bank Indonesia .

“Mudharabah adalah konsep bagi hasil, dimana Muamalat sebagai sahibul maal (pihak yang mempunyai dana) memberikan atau menyalurkan dananya kepada mudharib (penerima dana atau pelaku usaha),” kata Anang kepada Indonesia Monitor, Jumat (04/12).

Anang menjelaskan, ada tiga bentuk pembiayaan mudharabah. Pertama, pembiayaan modal kerja. Pembiayaan ini ditujukan bagi orang yang memerlukan dana untuk menjalankan usahanya atau orang itu membutuhkan barang-barang produktif.

“Tapi, barang yang menjadi obyek pembiayaan harus punya putaran perdagangan dalam periode tertentu, contohnya warung. Umpamanya ada orang yang sedang kebentur modal. Nah, Muamalat berani membiayai, asal dia punya keahlian di bidang itu,” tegasnya.

Kedua, pembiayaan investasi. Maksudnya, pembiayaan ini ditujukan pada objek tetap yang menjadi salah satu infrastruktur dalam sistem perdagangan. Misalnya pembiayaan dalam bentuk kios atau ruko.

“Kalau ada orang mau usaha dan dia punya keahlian, tapi belum punya tempat usaha, maka Muamalat yang akan membiayai kios atau ruko itu. Ini yang disebut investasi,” ujar Anang.

Ketiga, pembiayaan gabungan antara modal kerja dan investasi. Dalam hal ini, Muamalat menyiapkan tempat usaha sekaligus membelikan barang-barang dagangan. Sementara modal mudharib hanya keahlian dan menjadi operator.

“Yang perlu diketahui, jenis usaha yang akan dikelola adalah usaha yang telah disepakati bersama antara sahibul maal dengan mudharib. Contohnya perdagangan, industri/manufacturing atau usaha atas dasar kontrak,” bebernya.

Dalam sistem mudharabah, sambung Anang, rasionya 100:0. Artinya, seluruh porsi pembiayaan 100% ditanggung bank dan risiko kerugian juga ditanggung penuh oleh pihak bank. Muamalat menanggung risiko penuh jika kerugian tidak diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian, penyimpangan atau penyalahgunaan pihak mudharib.

“Karena itu, biasanya Muamalat menurunkan tim peneliti bila terjadi kerugian pada mudharib. Muamalat melihat dulu konteks kerugiannya. Kalau memang akibat kelalaian mudharib, maka mudharib harus ikut menanggung kerugian dan risiko dari pembiayaan,” Anang menegaskan.

Namun, lanjut Anang, jika kerugian mudharib terjadi karena kondisi atau dampak ekonomi secara global atau force majeur, maka sudah pasti Muamalat menanggung seluruh kerugian. Anang mencontohkan, gempa di Padang beberapa waktu lalu mengakibatkan para mudharib yang dibiayai Muamalat mengalami kerugian besar, karena usahanya porak poranda.

“Itu sudah jelas faktor utamanya bencana alam. Dalam kondisi begitu, Muamalat harus merelakan uangnya melayang. Itu sudah menjadi aturan main. Seumpama mereka ingin mendapatkan pembiayaan lagi, Muamalat akan mempertimbangkan. Misalnya, apakah mudharib masih punya semangat untuk berwirausaha. Apakah kondisi tempat dan lingkungan masyarakat sudah memungkinkan perekonomian berjalan normal,” paparnya.

Selanjutnya dalam aturan pembiayaan mudharabah, sambung Anang, Muamalat dan mudharib sepakat untuk berbagi hasil atas pendapatan usaha tersebut. Pembagian hasil (keuntungan) dihitung berdasarkan laba bersih, misalnya 40% untuk bank dan 60% untuk mudharib, dimana pembayarannya dilaksanakan setiap periode tertentu.

Sepintas, bentuk pembiayaan mudharabah memang sangat menguntungkan mudharib. Namun, hal yang patut diketahui bahwa mudharib juga harus mengembalikan dana pokok (tanpa bunga) dari total pembiayaan dan memberikan jaminan (agunan) untuk mendapatkan kucuran dana.

“Ke depan, Muamalat akan mengemas produk-produk pembiayaan mudharabah secara apik dan lebih memfokuskan pada segmentasi pasar, sesuai kapasitas mudharib di berbagai daerah. Misalnya menggandeng para pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Sebab, Muamalat menargetkan lebih dari 30% pertumbuhan pembiayaan pada tahun depan,” pungkas Anang Rachmadi, optimis. (Tulisan ini dimuat di Tabloid INDONESIA MONITOR, Edisi 75 Tahun II, 9-15 Desember 2009, halaman 27)

memang sie antara bunga (riba) dengan bagi hasil itu hampir sama ...di Qur'an sendiri disebut jual beli itu seperti riba, tapi Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ...(surat Al Baqarah kalu g salah, maklum bukan hafidz :D) v^^
 
Terus gimana hukumnya untuk orang yang bekerja di Bank konvensional?


-dipi-

saia kutipkan fatwa dari Qaradhawi
Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan bahwa sistem ekonomi islam ditegakkan pada asas memerangi riba dan menganggapnya sebagai dosa besar yang dapat menghapuskan berkah dari individu dan masyarakat, bahkan dapat mendatangkan bencana di dunia dan akherat.

Hal ini telah disinyalir di dalam Al Qur’an dan As Sunnah serta telah disepakati oleh umat. Cukuplah kiranya jika kita membaca firman Allah swt :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al Baqoroh : 278 – 279)

Sabda Rasulullah saw,”Apabila zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti mereka telah menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah.” (HR. Hakim)

Dalam peraturan dan tuntunannya, Islam memerintahkan umatnya untuk memerangi kemaksiatan. Apabila tidak sanggup minimal ia harus menahan diri agar perkataan maupun perbuatannya tidak terlihat dalam kemaksiatan itu. Oleh karena itu Islam mengharamkan semua bentuk kerja sama atas dosa dan permusuhan, dan menganggap setiap orang yang membantu kemaksiatan bersekutu dalam dosanya bersama pelakunya, baik pertolongan itu dalam bentuk moril ataupun materiil, perbuatan ataupun perkataan. Dalam sebuah hadits hasan, Rasulullah saw bersabda mengenai kejahatan pembunuhan :

“Kalau penduduk langit dan penduduk bumi bersekutu dalam membunuh seorang mukmin, niscaya Allah akan membenamkan mereka dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)

Sedangkan tentang khamr, beliau saw bersabda,”Allah melaknat khamr, peminumnya, penuangnya, pemerasnya, yang minta diperaskan, pembawanya dan yang dibawakannya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Demikian juga terhadap praktek suap-menyuap,”Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yeng menerima suap dan yang menjadi perantaranya.” (HR. Ibnu Hibban dan Hakim)

Kemudian mengenai riba, Jabir bin Abdullah ra meriwayatkan,”Rasulullah saw melaknat pemakan riba, yang memberi makan dengan hasil riba, dan dua orang yang menjadi saksinya.” Dan beliau saw bersabda,”Mereka itu sama.” (HR. Muslim)

Ibnu Masud meriwayatkan,”Rasulullah saw melaknat orang yang makan riba dan yang memberi makan dari hasil riba, dua orang saksinya, dan penulisnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Tirmidzi), sementara itu didalam riwayat lain disebutkan :

“Orang yang makan riba, orang yang memberi makan dengan riba, dan dua orang saksinya—jika mereka mengetahui hal itu—maka mereka dilaknat melalui lisan Nabi Muhammad saw hingga hari kiamat.” (HR. An Nasa’i)

Hadits-hadits shahih itulah yang menyiksa hati orang-orang islam yang bekerja di bank-bank atau kongsi yang aktivitasnya tidak lepas dari tulis-menulis dan bunga riba. Namun perlu diperhatikan bahwa masalah riba ini tidak hanya berkaitan dengan pegawai bank atau penulisnya pada berbagai kongsi, tetapi hal ini sudah menyusup ke dalam sistem ekonomi kita dan semua kegiatan yang berhubungan dengan keuangan, sehingga merupakan bencana umum sebagaimana yang diperingatkan Rasulullah saw,”Sungguh akan datang pada manusia suatu masa yang pada waktu itu tidak tersisa seorang pun melainkan akan makan riba; barangsiapa yang tidak memakannya maka ia terkena debunya.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Kondisi seperti ini tidak dapat dirubah dan diperbaiki hanya dengan melarang seseorang bekerja di bank atau perusahaan yang mempraktekkan riba. Tetapi kerusakan sistem ekonomi yang disebabkan ulah golongan kapitalis ini hanya dapat dirubah oleh sikap seluruh bangsa dan masyarakat islam. Perubahan itu tentu saja harus diusahakan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga tidak menimbulkan guncangan perekonomian yang dapat menimbulkan bencana pada negara dan bangsa. Islam sendiri tidak melarang umatnya untuk melakukan perubahan secara bertahap dalam memecahkan setiap permasalahan yang pelik. Cara ini pernah ditempuh Islam ketika mulai mengharamkan riba, khmar dan yang lainnya. Dalam hal ini yang terpenting adalah tekad dan kemauan bersama, apabila tekad itu telah bulat maka jalan pun akan terbuka lebar.

Setiap muslim yang mempunyai kepedulian dengan hal ini hendaklah bekerja dengan hatinya, lisannya dan segenap kemampuannya dengan berbagai sarana yang tepat untuk mengembangkan sistem perekonomian kita sendiri, sehingga sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh perbandingan, di dunia ini terdapat beberapa negara yang tidak memberlakukan sistem riba, yaitu mereka yang berfaham sosialis.

Di sisi lain apabila kita melarang semua muslim bekerja di bank, maka dunia perbankan dan sejenisnya akan dikuasai oleh orang-orang non muslim seperti Yahudi dan sebagainya. Pada akhirnya, negara-negara Islam akan dikuasai mereka.

Terlepas dari semua itu, perlu juga diingat bahwa tidak semua pekerjaan yang berhubungan dengan perbankan tergolong riba. Ada diantaranya yang halal dan baik, seperti kegiatan penitipan, dan sebagainya; bahkan sedikit pekerjaan di sana yang termasuk haram. Oleh karena itu, tidak mengapa bagi seorang muslim menerima (melakukan) pekerjaan tersebut—meskipun hatinya tidak rela—dengan harapan tata perekonomian akan mengalami perubahan menuju kondisi yang diredhoi agama dan hatinya. Hanya saja dalam hal ini, hendaklah ia melaksanakan tugasnya dengan baik, hendaklah menunaikan kewajiban terhadap dirinya dan Tuhan-nya beserta umatnya sambil menantikan pahala atas kebaikan niatnya, sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari)

Jangan pula dilupakan adanya kebutuhan hidup yang oleh para fuqaha diistilahkan telah sampai tingkat darurat. Kondisi inilah yang menjadikan saudara penanya untuk menerima –tetap bekerja di bank—sebagai sarana mencari kehidupan dan rezeki, sebagaimana firman Allah swt :


فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


Artinya : “…..tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqoroh : 173)
(Fatwa-fatwa Kontemporer, juz I hal 766 – 770)

Wallahu A’lam

Sumber: Eramuslim

kalu dari lajnah Daimah (MUI nya saudi)

Bekerja di bank konvensional:

Menurut para ulama bahwa bekerja di bank-bank konvensional secara mutlak tidak diperbolehkan, karena termasuk memakan harta riba, atau menuliskannya, atau menyaksikannya, atau membantu mereka yang bermuamalah dengannya.
Sejumlah ulama besar telah mengeluarkan fatwa haramnya bekerja di bank-bank konvensional, meskipun pekerjaannya tidak berkaitan secara langsung dengan riba, seperti satpam, petugas kebersihan, pelayanan.

Kami akan menukilkan sebagian fatwa para ulama, diantaranya:

Fatwa Lajnah Daimah 15/41:

(seorang muslim tidak boleh bekerja di bank yang bermuamalah dengan riba, meskipun pekerjaannya tidak langsung berkaitan dengan riba, tetapi karena dia menyediakan keperluan para pegawai yang bermuamalah dengan riba dan bantuan yang mereka perlukan untuk muamalah riba. Allah Ta’alaa berfirman: (janganlah kalian tolong menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al-Maidah:2).

Lajnah Daimah pernah ditanya (15/38): Apa hukum bekerja di bank-bank sekarang ini?
Maka Lajnah menjawab:

(Kebanyakan muamalah keuangan sekarang ini mengandung unsur riba, dan itu haram berdasarkan Al-Qur’an, Sunah dan Ijma umat. Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah menghukumi bahwa orang yang membantu pemakan riba dan wakil yang menuliskannya, atau yang bersaksi untuknya atau semacamnya, maka dia bersekutu dengan pemakannya dan wakilnya dalam laknat dan kutukan dari rahmat Allah.

Telah diriwayatkan dalam Shahih Muslim dan yang lain dari hadits Jabir radhiallahu ’anhu: (Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, pemberi makannya, penulisnya, dan para saksinya) dan beliau bersabda: (mereka sama (pent yakni dalam dosa)).

Dan mereka yang bekerja di bank-bank konvensional adalah para pembantu bagi majikan-majikan bank tersebut dalam mengatur pekerjaannya: sebagai penulis, saksi, pemindah dokumen, kasir, atau yang menerima uangnya dsb yang termasuk ”memberi bantuan bagi para pelaku riba”, oleh karena itu jelas bahwa pekerjaan di bank-bank sekarang adalah haram, dan hendaklah setiap muslim menghindarinya, dan mencari pendapatan dengan cara yang dihalalkan Allah, dan itu banyak, hendaklah bertakwa kepada Allah Rabbnya, dengan tidak menjerumuskan dirinya kepada laknat Allah dan Rasul-Nya.

Lajnah Daimah juga ditanya (15/55):

1- apakah bekerja di bank-bank terutama di negeri-negeri Islam halal atau haram ?
2- apakah ada bagian-bagian tertentu di bank yang halal sebagaimana yang diragukan sekarang, dan bagaimana statusnya jika itu benar ?

Maka Lajnah menjawab:

Pertama: bekerja di bank-bank yang bermuamalah dengan riba haram, baik itu di negara Islam atau kafir, karena termasuk tolong-menolong dalam dosa dan pemusuhan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa dalam firman-Nya: (Tolong- menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan) (QS Al-Maidah: 2).

Kedua: Yang nampak bagi kami tidak ada bagian tertentu di bank kenvensional yang dikecualikan dalam Syariat yang suci ini, karena tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan terjadi diantara seluruh pegawai bank).

Dan Lajnah Daimah juga ditanya (15/18):

(Apa hukum bekerja sebagai insinyur maintenance di salah satu perusahaan perangkat elektronika yang bermualah dengan sejumlah bank- bank riba, perusahaan menjual perangkat tersebut (komputer, mesin fotokopi, telefon) kepada bank, dan menugaskan kami sebagai insinyur maintenance untuk pergi ke bank untuk merawat perangkat ini secara rutin, maka apakah pekerjaan ini haram dengan dasar bahwa bank menggunakan perangkat ini untuk menyiapkan tagihan-tagihannya dan mengatur kerja-kerjanya, dengan demikian kami membantunya dalam maksiat? ).

Maka Lajnah menjawab:

Anda tidak boleh bekerja di perusahaan seperti yang diceritakan karena termasuk tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.

Syaikh Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Apakah boleh bekerja di lembaga riba sebagai supir atau satpam ?

Beliau menjawab:

(tidak boleh bekerja di lembaga-lembaga riba meskipun hanya sebagai supir atau satpam, karena masuknya dia sebagai pegawai di lembaga riba bermakna dia rela, karena yang mengingkari sesuatu tidak mungkin bekerja untuk kepentingannya, jika bekerja untuk kepentingannya maka berarti dia ridho dengannya, dan yang ridho dengan sesuatu yang diharamkan akan menanggung dosanya. Adapun orang yang secara langsung bertugas dalam penulisan, pengiriman, penyimpanan, dan semacamnya maka tidak ragu lagi dia berhubungan langsung dengan hal haram. Telah diriwayatkan dari Jabir radhiallahu anhu dalam hadits yang shahih bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, kedua saksinya, dan penulisnya dan beliau berkata: mereka semua sama).Kitab Fatawa Islamiyah (2/401).

Dan banyak lagi fatwa yang masyhur dan terkenal yang mengharamkan bekerja di bank-bank konvensional, apapun posisinya, maka bagi yang masih bekerja di bank-bank tersebut hendaklah bertaubat kepada Allah serta meninggalkan pekerjaannya, dan memohon kepada Allah dengan bertawakal kepada-Nya serta yakin bahwa rizki dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’alaa: (Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikannya jalan keluar dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka. Barang siapa yang bertawakal kepada Allah maka Dia Yang mencukupinya. Sesungguhnya Allah akan menyampaikan urusannya. Allah telah menentukan takdir bagi segala urusan) (QS Ath-thalaq:2-3).

Hendaknya kita semua betul-betul mencamkan ayat diatas dan berpegang dengannya dalam segala urusan kita.
(Diterjemahkan dari Islam Soal dan Jawab)

tapi memang sulit jika kita melihat sebuah hitam-putih :D
saia jadi inget cerita teman, kalu ada seorang yang bertanya pada dirinya bagaimana hukumnya bekerja di alf*m*rt yang juga menjual bir dan minuman keras...teman saia hanya diam, karena kalu liat di lapangan, rada2 susah pelaksanaannya dan juga mentalitas umat Islam itu sendiri v^^ temen saia aja mpe salut ada orang menanyakan seperti itu
 
Pake aja fasilitas Bank konvensional sebagai sarana transaksi online, begitu ditransfer langsung tarik uangnya ampe abiz :)) jadi ga sempet berbunga :D
 
Makasih atas penjelasanya.
Skarang dah agak jelas.
Diskusi berikutnya.
"Kpr syariah"
spt yang saia jelaskan tadi untuk pinjaman sebesar rp 1jt peminjam harus membayar max 12rb untuk 15 thn
jika di itung 12x12=144
144x15=2160ribu rupiah.
Maka yang Rp1160000,00 hukumnya apa?
Padahal ga buat modal usaha.
Tu pinjeman buat bangun rumah.
Tolong jelasin.
Arigatoo
 
kalu akadnya pinjam meminjam sie itu riba, tp kalu akadnya jual beli kredit sie diperbolehkan, misalnya jika beli rumah kas, 100 juta, tp kalu kredit, jd 120 juta krna akadnya jual beli ...cmiiw
 
Back
Top