Dualisme pers yang mengganjal

emansipasi

New member
Pers Indonesia dalam era reformasi ini penganut sistem liberal atau PJS? Pertanyaan sentral ini seyogianya dijawab kalangan pers sendiri. Namun, dari sudut pandang UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sepak terjang pers, serta hubungan pers dan pemerintah, dapat disimpulkan bahwa pers Indonesia dalam 10 tahun terakhir sesungguhnya sudah “berangkulan” dengan sistem pers liberal sebagaimana digambankan Siebert.

Namun, dikaji dari ketentuan KUHP yang masih berlaku sampai saat ini, Kode Etik Jurnalistik yang dibuat berbagai organisasi pers, dan aspirasi pemerintah ataupun masyarakat pada umumnya, Indonesia menganut sistem pers PJS.

Dualisme pandangan ini jadi sebab munculnya sikap pro-kontra saban mencuat kasus yang menyeret pers dan pemerintah dalam posisi berhadap-hadapan. Penganut teori pers liberal membela Ariel, Luna, dan Cut Tari sebab yang mereka lakukan, kalau benar, murni urusan pribadi yang tak boleh dicampuri siapa pun. Pemerintah dan media tak usah berpretensi sebagal penjaga moral. Pandangan seperti ini tentu ditolak keras oleh penganut pers PJS.

Penganut teori pers liberal juga percaya bahwa pers bebas mengecam pemerintah dan menelanjangi setiap petinggi pemerintah yang diduga korupsi Kalau tudingannya kelak ternyata keliru, pers tetap tak bisa disalahkan secara hukum. Kredo ini dimanifestasikan oleh putusan Mahkamah Agung AS dalam kasus landmark Sullivan vs New York Times (1964). Menurut Mahkahmah Agung, diskursus publik (termasuk kritik pedas terhadap pejabat pemerintah) harus dibuka selebar mungkin tanpa dibatasi oleh hambatan apa pun. Pejabat pemerintah baru bisa menuntut ganti rugi manakala dapat membuktikan bahwa laporan pers itu dibuat berdasarkan sikap aktual malice atau sengaja menjatuhkan martabat pejabat yang bersangkutan.

Pandangan mi didukung pula oleh teori PJS. Dalam laporannya yang kemudian menjadi dasar pemikiran teori pers PJS, Komisi Kebebasan Pers AS menegaskan bahwa ide dasar kebebasan pers adalah membolehkan setiap wacana, yang patut menjadi perhatian publik, dibahas terbuka. Hanya dengan jalan ini kebenaran bisa ditegakkan. Kebenaran tak boleh jadi monopoli satu pihak sebab kebenaran sesungguhnya milik rakyat.

Dengan perspektif teori pers liberal versus teori PSJ, kita bisa memahami laporan Tempo, “Rekening Gendut Perwira Polisi”. Polisi dan beberapa elemen masyarakat menilai laporan itu insinuatif cermin praktek pers liberal, apalagi jika KUHP yang menjadi pijakannya. Namun, panganut teori PJS juga mengakui pers sebagai pengawas pemerintah dan penegak kebenaran, Untuk itu, siapa pun yang terkena semprot media tak boleh sertamerta marah, melainkan harus bersama mencari dan menegakkan kebenaran.

Sejauh mana kebenaran laporan Tempo? Tanggungjawab pembuktiannya juga terletak pada Polri, khususnya para jenderal yang namanya disebutkan dalam laporan itu. Polri tak bisa serta-merta menuding bahwa laporan itu fitnah dan menjatuhkan nama baiknya. Fitnah baru terbukti apabila laporan Tempo bisa dibuktikan tidalc berdasarkan fakta, bahkan mengandung unsur actual malice. Bulcankah isu sentral dalam kasus itu sejauh mana kebenaran tudingan Tempo bahwa sejumlah jenderal polisi punya harta yang tak masuk akal, jauh melampaui gaji mereka setiap bulan!


TJIPTA LESMANA
Penulis Buku Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan
Pers (2005)
 
Back
Top