Dipi76
New member
56 juta tahun silam, lonjakan jumlah karbon secara misterius ke atmosfer telah membuat Bumi demam tinggi. Kehidupan pun berubah untuk selamanya.
Bumi pernah mengalami hal ini sebelumnya.
Memang bukan demam yang sama persis, karena dunia memiliki wujud berbeda sekitar 56 juta tahun silam. Samudra Atlantik belum se-penuhnya terbuka, dan fauna, barangkali termasuk primata nenek moyang kita, bisa berjalan dari Asia ke Eropa dan melintasi Greenland menuju Amerika Utara. Mereka tidak akan menemukan sebongkah es pun; bahkan sebelum peristiwa yang sedang kita bahas ini terjadi. Bumi telah jauh lebih panas daripada saat ini. Namun, begitu zaman Eosen menggantikan Paleosen, Bumi menjadi semakin panas—secara pesat dan radikal.
Penyebabnya adalah pelepasan karbon secara besar-besaran dan termasuk mendadak jika dilihat dalam kurun waktu geologis. Seberapa banyak karbon yang disuntikkan ke dalam atmosfer selama Paleocene-Eocene Thermal Maximum, atau PETM, istilah ilmuwan masa kini untuk periode demam, tidaklah bisa di-pastikan. Namun jumlahnya diperkirakan setara dengan hasil pembakaran seluruh batu bara, minyak, dan gas alam yang tersimpan di Bumi saat ini. PETM berlangsung selama lebih dari 150.000 tahun, hingga kelebihan karbon terserap kembali. Dampaknya adalah kekeringan, banjir, wabah serangga, dan beberapa kepunahan. Kehidupan di Bumi bertahan tetapi berubah drastis. Saat ini, konsekuensi evolusioner dari suntikan karbon pada masa silam tersebut ada di sekeliling kita; bahkan, kita termasuk di dalamnya. Kini, kita mengulangi eksperimen yang sama.
PETM “adalah model untuk pemanasan global yang tengah terjadi saat ini—model untuk perbuatan kita bermain-main dengan atmosfer,” ujar Philip Gingerich, ahli paleontologi.
Gingerich dan para ahli paleontologi lainnya menemukan fakta bahwa evolusi besar-besaran terjadi pada akhir zaman Paleosen, lama sebelum karbon ditengarai sebagai penyebabnya. Selama 40 tahun terakhir, Gingerich memburu fosil dari periode itu di Basin Bighorn, dataran tinggi tandus sepanjang 160 kilometer di bagian timur Taman Nasional Yellow stone, wilayah utara Wyoming. Dia memusatkan kegiatan penggaliannya di sepanjang Gigir Polecat, di lereng bukit memanjang yang membelah tepi utara daerah aliran sungai. Polecat menjadi rumah keduanya. Dia bahkan memiliki sebuah rumah pertanian kecil yang terlihat dari bukit.
Pada suatu sore di musim panas, saya dan Gingerich berkendara melintasi jalan tanah menuju puncak dan berhenti di ujung selatannya. Selama zaman es, jelasnya, Gigir Polecat merupakan dasar bebatuan Sungai Shoshone. Pada suatu titik, sungai itu bergeser ke timur dan mulai merambah sedimen yang lebih lunak dan tua di sepanjang Daerah Aliran Sungai Bighorn. Selama beribu-ribu tahun, lerengnya dipahat oleh angin musim dingin dan hujan musim panas menjadi lahan tererosi (badlands), yang menunjukkan lapisan sedimen. Sedimen dari PETM terdapat tepat di ujung selatan gigir.
Di sinilah Gingerich mendokumentasikan ledakan besar mamalia. Di kaki bukit terdapat lapisan sedimen merah setebal tiga puluhan meter, memanjang meng-ikuti kontur lipatan dan ngarai. Di lereng itulah Gingerich menemukan sejumlah fosil mamalia berkuku ganjil, mamalia berkuku rata, dan primata sejati tertua: dengan kata lain, para anggota pertama ordo yang kini mencakup, secara berurutan, kuda, sapi, dan manusia. Fosil-fosil serupa juga ditemukan di Asia dan Eropa, muncul di mana-mana, seolah-olah menjelma begitu saja. Sembilan juta tahun setelah asteroid menghantam Semenanjung Yucatán dan menimbulkan bencana besar yang diyakini oleh sebagian besar ilmuwan sebagai penyebab kepunahan dinosaurus, sistem kerja Bumi tampaknya kembali menerima guncangan dahsyat.
Sebagian besar ilmuwan memandang dua dekade pertama kerja keras Gingerich dalam mendokumentasikan transisi Paloesen-Eosen sebagai masa ketika penemuan satu set fosil membuka jalan bagi penemuan set lainnya. Per-sepsi tersebut mulai berubah pada 1991, ke-tika dua orang ahli oseanografi, James Kennett dan Lowell Stott, melakukan analisis terhadap isotop karbon—bentuk lain dari atom karbon—di dalam inti sedimen yang diekstrak dari dasar Samudra Atlantik di dekat Antartika.Tepat di perbatasan Paleosen-Eosen, pergeseran dramatis rasio isotop dalam fosil-fosil organisme kecil bernama foraminifera (disingkat foram), mengindikasikan bahwa sejumlah besar karbon “segar” telah membanjiri samudra setidaknya selama beberapa abad. Materi tersebut juga menyebar ke atmosfer, dan di sana, dalam ben-tuk karbon dioksida, menjerat panas matahari dan memanaskan Bumi. Isotop oksigen di dalam foram mengindikasikan bahwa seluruh samudra telah memanas, dari permukaan hingga lumpur di dasarnya, tempat sebagian besar foram hidup.
Pada awal 1990-an, tanda-tanda guncangan planet yang sama mulai terlihat di Gigir Polecat. Dua ilmuwan muda, Paul Koch dan James Zachos, mengumpulkan serpihan-serpihan dari tanah kaya karbonat di setiap lapisan sedimen. Mereka juga mengumpulkan gigi mamalia primitif bernama Phenacodus. Saat menganalisis rasio isotop karbon dalam tanah dan enamel gigi, Koch dan Zachos menemukan secuil karbon yang terdapat dalam foram. Jelas bahwa PETM merupakan episode pemanasan global yang tidak hanya memengaruhi organisme-organisme kecil di laut, tetapi juga fauna darat yang besar dan berkharisma. Para ilmuwan pun menyadari bahwa mereka bisa menggunakan serpihan karbon—bukti nyata pelepasan gas rumah kaca global—untuk mengidentifikasi PETM dalam batu-batuan di seluruh dunia.
Dari manakah seluruh karbon itu berasal? Kita mengetahui sumber limpahan karbon ke atmosfer saat ini: kita. Namun, 56 juta tahun silam belum ada manusia, apalagi mobil dan pembangkit listrik. Serpihan karbon PETM bisa berasal dari banyak sumber, dan mengingat jumlahnya, kemungkinan besar berasal lebih dari satu sumber. Pada akhir zaman Paleosen, Eropa dan Greenland terpisah dan Atlantik Utara terbuka, menghasilkan letusan besar gunung-gunung berapi yang mampu menyemburkan karbon dioksida dari sedimen organik di dasar laut, walaupun mungkin tidak cukup cepat untuk menjelaskan keberadaan serpihan-serpihan isotop tersebut. Api diperkirakan telah menghabiskan persediaan humus Paleosen, walaupun hingga saat ini, abunya belum terlihat di inti sedimen. Komet raksasa yang menghantam batu-batuan karbonat juga bisa melepaskan banyak karbon dengan sangat cepat, namun belum ada yang bisa membuktikan dampak tumbukan tersebut.
Hipotesis tertua dan masih terpopuler menyatakan bahwa sebagian besar karbon tersebut berasal dari deposit metan hidrat berjumlah besar, materi unik serupa es yang terdiri dari molekul air dan membentuk sangkar di sekeliling satu molekul metan. Hidrat hanya stabil pada suhu rendah dan tekanan tinggi; deposit hidrat dalam jumlah besar saat ini ditemukan terkubur di bawah tundra Arktika dan dasar laut, pada lereng-lereng yang menghubungkan lempeng benua dengan palung. Pada PETM, awal mula pemanasan berasal dari suatu daerah —mungkin gunung berapi, mungkin sedikit fluk-tuasi pada orbit Bumi yang menyebabkan daerah tersebut terpapar lebih banyak sinar matahari—bisa jadi telah melumerkan hidrat dan memungkinkan molekul-molekul metan lepas dari sangkarnya dan memasuki atmosfer.
Hipotesis tersebut meresahkan. Metan di atmosfer memanaskan Bumi lebih dari 20 kali lipat per molekul daripada karbon dioksida, kemudian setelah satu atau dua dekade akan ber-oksidasi menjadi CO2 dan terus memanas hingga lama. Banyak ilmuwan menduga bahwa pemanasan yang disebabkan oleh bahan bakar fosil bisa memicu pelepasan metan dari laut dalam dan kutub utara.
Berdasarkan data mereka, Koch dan Zachos menyimpulkan bahwa PETM telah menaikkan temperatur rata-rata tahunan di Basin Bighorn hingga sekitar lima derajat Celsius. Itu lebih tinggi daripada pemanasan yang terjadi di sana sejak zaman es terakhir. Itu juga sedikit lebih tinggi daripada yang diperkirakan oleh model-model iklim di sana untuk abad ke-21 namun tidak melebihi hasil perkiraan untuk berabad-abad mendatang jika manusia terus menggunakan bahan bakar fosil. Model-model tersebut juga memperkirakan adanya gangguan terhadap pola curah hujan dunia, bahkan pada abad ini, terutama di wilayah-wilayah subtropis. Namun bagaimanakah cara untuk mengujinya? “Anda tidak bisa menunggu hingga 100 atau 200 tahun untuk melihat apa yang terjadi,” ujar Birger Schmitz, ahli geologi Swedia yang telah menghabiskan satu dekade untuk mempelajari batu-batuan PETM di Pyrenees, Spanyol. “Itulah yang menjadikan PETM sangat menarik. Anda sudah memperoleh hasil akhirnya. Anda bisa melihat apa yang telah terjadi.”
Apa yang terjadi di Bighorn merupakan pengaturan ulang menyeluruh terhadap kehidupan. Scott Wing, ahli paleobotani dari Smithsonian National Museum of National History, telah mengumpulkan fosil dedaunan di Bighorn selama 36 musim panas.
“Saya sudah sekitar sepuluh tahun mencari fosil seperti ini,” ujar Wing. Kami duduk di lereng sebuah bukit, di sebelah barat Pegunungan Bighorn, memalu batu-batuan dari parit hasil galian para asisten Wing. Di kejauhan, kami bisa melihat garis-garis horizontal rapi berwarna merah, diselingi oleh abu-abu dan kuning, yang menunjukkan jejak Bumi sejak PETM. Di bawah kami, sebuah pompa angguk berjungkat-jungkit; dari puncak bukit, kami bisa melihat beberapa pompa lainnya. Di tengah jeda pembicaraan kami, satu-satunya bunyi yang terdengar adalah alunan palu—hantaman teredam, dentingan menggema seolah-olah dari garpu tala, dan gemeretak batuan yang runtuh. Ketukan terus-menerus akan memisahkan dua lapisan lumpur, dan terkadang menampilkan selembar daun yang terawetkan sempurna. Di bawah kaca pembesar Wing, tampaklah jejak-jejak gigitan serangga dari 56 juta tahun silam.
Wing langsung menyadari sejak pertama kali-nya dia menemukan deposit daun dari PETM. “Saya tidak pernah melihat sebagian besar dari tumbuhan-tumbuhan itu,” ujarnya. Fosil-fosil yang telah dikumpulkannya menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah pemanasan, hutan lebat yang terdiri dari pepohonan birch, sycamore, dawn redwood, palem, dan tumbuhan hijau yang menyerupai magnolia berada di daerah aliran sungai. Baik pada masa Paleosen maupun Eosen, Bighorn telah menyerupai wilayah utara Florida pada masa kini.
Namun pada masa kejayaan PETM, Wing mendapati, wilayah itu lambat laun berubah menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Iklimnya lebih kering dan terbuka, seperti hutan tropis kering di Amerika Tengah. Bersamaan dengan memanasnya Bumi, spesies tumbuhan baru dengan cepat bermigrasi ke daerah aliran sungai dari wilayah selatan sejauh Teluk Persia, yang berjarak lebih dari 1.500 kilometer. Kebanyakan berjenis kacang-kacangan—bukan varietas kebun, namun tumbuhan dari famili yang sama, mirip dengan mimosa modern. Dan sebagian besarnya diserbu serangga.
Dari ratusan fosil daun yang diperiksa oleh Wing dan rekannya, Ellen Curano, sekitar enam dari sepuluh fosil memiliki lubang-lubang atau jalur-jalur bekas gigitan serangga. Mungkin udara yang panas memicu metabolisme se-rangga, sehingga mereka lebih banyak makan dan bereproduksi. Atau mungkin ekstra karbon dioksida berdampak langsung pada tanaman; ketika CO2 disuntikkan ke rumah-rumah kaca modern, tanaman akan tumbuh lebih subur, namun kandungan proteinnya akan menyusut dan daun-daunnya kekurangan gizi. Hal yang sama bisa terjadi di dunia rumah kaca PETM—mungkin serangga menyantap banyak dedaunan hanya untuk bertahan hidup.
Namun, daun-daun PETM yang dimakan serangga juga jauh lebih kecil daripada nenek moyang Paleosen mereka, karena, menurut Wing, curah hujan telah turun hingga sekitar 40 persen. (Ketika air sulit didapatkan, tumbuhan mengatasinya dengan menyusutkan ukuran daun mereka.) Penurunan curah hujan juga mem-berikan kesempatan bagi tanah untuk mengering setiap tahun, sehingga kandungan besinya bisa beroksidasi dan warnanya men-jadi semerah karat. Tanah kering musiman ini menjadi larik-larik lebar di lereng bukit. Kemudian, pada masa kejayaan PETM, tanah merah menghilang—bukan karena iklim men-jadi lebih basah, menurut Wing, melainkan karena hujan semakin terkonsentrasi, seperti monsun. Sungai-sungai terus-menerus meluap dan membanjiri wilayah di sekelilingnya, menyapu tanah sebelum sempat mengendap.
Di wilayah timur Pyrenees, Birger Schmitz menemukan bukti yang lebih dramatis dari banjir besar semasa PETM. Dia dan rekannya, Victoriano Pujalte dari University of the Basque Country di Bilbao, Spanyol, mengidentifikasi serpihan karbon khas di dasar sebuah formasi batuan, yang meskipun kini berada di atas gunung, dahulu mungkin berada di dataran pesisir. Bongkahan-bongkahan batu besar terkikis dari pegunungan yang baru berdiri dan terlempar menuju dataran luas yang diyakini oleh para ilmuwan membentang hingga ribuan kilometer persegi. Beberapa bongkah batu ber-gerombol dengan jarak setengah meter dan hanya mungkin dibawa oleh arus air yang dahsyat. Tersimpan selama berabad-abad akibat luapan air sungai, batu-batu itu bagaikan bentuk fosil dari energi dalam atmosfer rumah kaca.
Sementara kacang-kacangan tumbuh subur di Daerah Aliran Sungai Bighorn, Apectodinium merajai samudra. Spesies tersebut adalah bentuk yang telah punah dari dinoflagellate—sekelompok plankton bersel satu, yang sebagian di antaranya memicu kesuburan alga beracun yang dikenal sebagai “gelombang merah”. Pada musim dingin, sel-sel Apectodinium akan berlindung ke balik cangkang keras yang mengendap di dasar laut. Pada musim semi, kelopak pada masing-masing cangkang akan terbuka seperti tingkap. Sel tersebut kemudian akan merayap ke luar dan naik ke permukaan laut, meninggalkan cangkang kosongnya, yang 56 juta tahun kemudian diidentifikasi oleh Brinkhuis dan rekannya Appy Sluijs dalam contoh sedimen.
Sebelum PETM, Brinkhuis dan Sluijs hanya menemukan Apectodinium di wilayah beriklim subtropis. Namun dalam sedimen PETM, mereka menemukannya di seluruh dunia—yang menegaskan bahwa pemasanan samudra terjadi di mana-mana. Pada zaman Paleosen, suhu air saat musim panas di Samudra Arktika telah mencapai sekitar 18 derajat Celsius; selama PETM, suhunya melonjak hingga sekitar 23 derajat. Berenang di sana akan terasa seperti berenang di pantai mid-Atlantik saat ini. Jika diukur dari inti sedimen New Jersey yang juga diteliti oleh Brinkhuis dan Sluijs, suhunya se-perti di Karibia. Saat ini, air di dasar laut dalam bersuhu hanya sedikit di atas titik beku; pada masa PETM suhunya belasan derajat Celsius.
Selama laut menyerap karbon dioksida yang memanaskan Bumi, kandungan asam di dalamnya juga meningkat, seperti halnya yang akan terjadi pada abad mendatang, jika level CO2 kembali naik. Ini bisa dilihat pada sebagian sedimen laut dalam, tempat PETM tampak senyata larik-larik di Basin Bighorn.
Selama PETM, tingkat keasaman yang tinggi menghancurkan kalsium karbonat. Pada titik ini, kita bisa mengambil hikmah dari sebuah kisah moralitas sederhana: Laut yang asam menyapu bersih sejumlah besar bentuk kehidupan, melumerkan cangkang koral, kerang, dan foram—skenario yang dibayangkan oleh banyak ilmuwan untuk abad ke-21. Namun PETM lebih rumit daripada itu. Walaupun terumbu karang di Samudra Tethys, asal muasal Laut Mediterania yang membelah Timur Tengah, tampak rusak parah, satu-satunya kepunahan massal yang terdokumentasi dari masa PETM justru tidak terduga: setengah dari seluruh spesies foram yang menghuni dasar lumpur. Foram adalah spesies yang mudah ber-adaptasi, dan mereka semestinya bisa mengatasi apa pun dampak PETM.
Dengan memperhitungkan derajat peningkatan keasaman laut, Zachos dan rekan-rekan-nya memperkirakan bahwa pada tahap awal sekitar tiga triliun metrik ton karbon mula-mula membanjiri atmosfer, kemudian satu setengah triliun lainnya bocor sedikit demi sedikit. Jumlah keseluruhannya, yakni 4,5 triliun ton, hampir setara dengan total karbon yang saat ini diperkirakan tersimpan di dalam deposit bahan bakar fosil; jumlah karbon pada tahap awal tersebut setara dengan sekitar tiga abad emisi yang dihasilkan oleh manusia saat ini. Walaupun data ini tidak bisa dibuktikan, kebanyakan ilmuwan berasumsi bahwa pelepasan karbon pada masa PETM berlangsung lebih lambat dan membutuhkan waktu hingga ribuan tahun.