d-net
Mod
Akankah Kita Tergantung KPK Selamanya?
Kata2 ini tentu akan selalu menggelitik nurani kita sebagai anak bangsa. Pertanyaan kecil ini juga muncul bukan karena ketidakpuasan terhadap rekam jejak keberhasilan KPK menyeret koruptor. Toh dalam 7 tahun terakhir, tidak sedikit anggota DPR, mantan menteri, petinggi Polri, jaksa, hakim, gubernur, atau bupati yang berhasil diseret oleh KPK ke meja hijau. Pertanyaan ini justru muncul karena rasa kagum kita terhadap sepak terjang KPK. Ada rasa ironi yang tak tertahankan dalam menikmati kedigjayaan KPK memberantas korupsi. Begitu besarnya kepercayaan publik terhadap KPK, hingga rasa-rasanya tidak ada satupun lembaga yang pantas dan berhak menangani kasus korupsi besar selain KPK. Animo masyarakat bahwa Kepolisan dan Kejaksaan penuh dengan oknum yang memperjual-belikan keadilan seakan menjadi dogma yang tak terbantahkan. Akibatnya, KPK kini justru terlihat seperti 'lone ranger'. Koboi jago tembak yang sendirian dan kesepian.
Potret tersebut bertentangan dengan logika dasar kelahiran sebuah komisi. Sejatinya komisi negara dibentuk untuk memperkuat fungsi lembaga negara yang telah lebih dulu hadir, bukan malah mengalienasi atau mereduksinya. Inilah mengapa UU No 30 tahun 2002 menjadikan belum optimalnya lembaga pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, sebagai pertimbangan strategis lahirnya KPK.
Khittah KPK adalah katalis. Katalis yang merangsang penguatan lembaga kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Sehingga, jika setelah 3 generasi kepemimpinan KPK, kepolisian dan kejaksaan justru tak kebagian peran, ada sesuatu yang sangat salah dalam 'grand strategy' perang terhadap korupsi.
Langkah radikal mutlak diperlukan. Sederhananya, selama pihak yang melakukan investigasi internal di tubuh kepolisian dan kejaksaan tidak bisa bersikap independen dari korps masing-masing, bisa dipastikan upaya bersih-bersih akan menemui jalan buntu. ICD (Independent Complaints Directorate) (lihat Building public Confidence through Civilian Oversight, Vera Institute of Justice) di Afrika Selatan dan PIC (Police Integrity Commission) di Australia (lihat Civilian Oversight of Police in Australia, journal no 141, Australian Institute of Criminology) dapat dijadikan contoh.
Kedua lembaga tersebut dibekali wewenang yang luar biasa untuk memberantas prilaku korup di korps kepolisian. Lembaga tersebut berwenang memeriksa, menangkap, menyadap, dan merekomendasikan hukuman bagi aparat yang terbukti melakukan tindakan korup.
Kejaksaan dan Kompolnas harus di Reformasi
Sejatinya Lembaga ini harus difungsikan sebagai lembaga yang dapat melakukan kontrol dalam arti sesunguhnya. Ini berarti, mereka harus diberi wewenang tambahan untuk terlibat secara penuh dan bila perlu mengambil alih investigasi internal terhadap oknum di kepolisian dan kejaksaan. Setelah itu mereka juga diberi wewenang untuk merekomendasikan serta mempublikasikan jenis sanksi yang diberikan.
Jika langkah ini tidak segera dirintis, kita kuatir, Bangsa ini tidak akan pernah memiliki Kepolisian dan Kejaksaan yang berintegritas tinggi serta dapat diandalkan untuk memberantas korupsi. Artinya, kebutuhan akan KPK menjadi sesuatu yang permanen. Bangsa ini akan tetap nomor urut terakhir dalam peringkat Negara terkorup di dunia. [berbagai sumber]
Kata2 ini tentu akan selalu menggelitik nurani kita sebagai anak bangsa. Pertanyaan kecil ini juga muncul bukan karena ketidakpuasan terhadap rekam jejak keberhasilan KPK menyeret koruptor. Toh dalam 7 tahun terakhir, tidak sedikit anggota DPR, mantan menteri, petinggi Polri, jaksa, hakim, gubernur, atau bupati yang berhasil diseret oleh KPK ke meja hijau. Pertanyaan ini justru muncul karena rasa kagum kita terhadap sepak terjang KPK. Ada rasa ironi yang tak tertahankan dalam menikmati kedigjayaan KPK memberantas korupsi. Begitu besarnya kepercayaan publik terhadap KPK, hingga rasa-rasanya tidak ada satupun lembaga yang pantas dan berhak menangani kasus korupsi besar selain KPK. Animo masyarakat bahwa Kepolisan dan Kejaksaan penuh dengan oknum yang memperjual-belikan keadilan seakan menjadi dogma yang tak terbantahkan. Akibatnya, KPK kini justru terlihat seperti 'lone ranger'. Koboi jago tembak yang sendirian dan kesepian.
Potret tersebut bertentangan dengan logika dasar kelahiran sebuah komisi. Sejatinya komisi negara dibentuk untuk memperkuat fungsi lembaga negara yang telah lebih dulu hadir, bukan malah mengalienasi atau mereduksinya. Inilah mengapa UU No 30 tahun 2002 menjadikan belum optimalnya lembaga pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi, sebagai pertimbangan strategis lahirnya KPK.
Khittah KPK adalah katalis. Katalis yang merangsang penguatan lembaga kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Sehingga, jika setelah 3 generasi kepemimpinan KPK, kepolisian dan kejaksaan justru tak kebagian peran, ada sesuatu yang sangat salah dalam 'grand strategy' perang terhadap korupsi.
Langkah radikal mutlak diperlukan. Sederhananya, selama pihak yang melakukan investigasi internal di tubuh kepolisian dan kejaksaan tidak bisa bersikap independen dari korps masing-masing, bisa dipastikan upaya bersih-bersih akan menemui jalan buntu. ICD (Independent Complaints Directorate) (lihat Building public Confidence through Civilian Oversight, Vera Institute of Justice) di Afrika Selatan dan PIC (Police Integrity Commission) di Australia (lihat Civilian Oversight of Police in Australia, journal no 141, Australian Institute of Criminology) dapat dijadikan contoh.
Kedua lembaga tersebut dibekali wewenang yang luar biasa untuk memberantas prilaku korup di korps kepolisian. Lembaga tersebut berwenang memeriksa, menangkap, menyadap, dan merekomendasikan hukuman bagi aparat yang terbukti melakukan tindakan korup.
Kejaksaan dan Kompolnas harus di Reformasi
Sejatinya Lembaga ini harus difungsikan sebagai lembaga yang dapat melakukan kontrol dalam arti sesunguhnya. Ini berarti, mereka harus diberi wewenang tambahan untuk terlibat secara penuh dan bila perlu mengambil alih investigasi internal terhadap oknum di kepolisian dan kejaksaan. Setelah itu mereka juga diberi wewenang untuk merekomendasikan serta mempublikasikan jenis sanksi yang diberikan.
Jika langkah ini tidak segera dirintis, kita kuatir, Bangsa ini tidak akan pernah memiliki Kepolisian dan Kejaksaan yang berintegritas tinggi serta dapat diandalkan untuk memberantas korupsi. Artinya, kebutuhan akan KPK menjadi sesuatu yang permanen. Bangsa ini akan tetap nomor urut terakhir dalam peringkat Negara terkorup di dunia. [berbagai sumber]
Last edited by a moderator: