Efek Samping Positive Thinking\

Administrator

Administrator
“Kita harus berpikir Positif, Man!”, kata salah seorang teman Sariman. “Kalau kita selalu berpikir positif maka hasilnya akan positif”, imbuhnya.

“Ah! Masa iya?!” sergah Sariman.

Berpikir positif (positive thinking) seringkali kita nasehatkan, acapkali di sampaikan kepada kita oleh teman, guru, trainer, coach atau public speaker. Bahkan ada yang berani-beraninya meng-klaim bahwa kunci utama untuk mencapai sukses adalah dengan “Positive Thinking”. Salah kah?

“Tentu saja bukan hakku menentukan benar atau salahnya pendapat mereka” kata Sariman. “Tetapi saya berhak dong punya pendapat lain. Dan menurut saya yang namanya “positive thinking” itu tidak selalu baik.

Lho kok bisa? Bukankah selama ini itulah yang dianjurkan, bahkan kata Tuhan, “Aku (Tuhan) tergantung dari persangkaanmu”. Maksudnya kan jika kita berpikir negatif tentang kehendak Tuhan, maka ya hal negatif itulah yang akan kita dapat. Jika kita berpikir positif tentang kemurahan Tuhan (huznudzon) maka Tuhan akan memberikan kemurahan yang setimpal. Bukan begitu?

Ya begitulah. Kepada Tuhan kita memang harus selalu positif, tidak boleh ber-su’udzon. Misalnya kita berpikir, “Tuhan sudah tak sayang lagi padaku, membiarkan aku terjerembab dalam penderitaan hidup yang teramat panjang” atau “Jangan-jangan Tuhan lagi budeg sehingga tak mendengar doa-doaku, sampai detik ini belum satupun doaku yang dikabulkan”.

Manakala prasangka kita buruk kepada Tuhan, maka itu otomatis menjadi doa kita, menjadi fokus perhatian kita, terekam dalam belief system, dalam pikiran bawah sadar kita, maka terjadilah hal-hal yang negatif. Karena formulasinya sangat jelas, yang terjadi bukan apa yang kita inginkan, tetapi apa yang dengan fokus kita pikirkan dan kita yakini.

Tetapi dalam konteks ini yang Sariman maksud adalah tentang bagaimana kita bersikap terhadap berbagai peristiwa atau kejadian-kejadian dalam laku kehidupan ini dalam tingkatan kemanusiaan dengan segala keterbatasannya.

(Tolong Man, kamu jelaskan secara lebih rinci apa maksudmu, biar kita yang mendengar tidak bingung.)

Begini, andaikata anda punya mobil keluaran tahun terbaru, kemudian anda berkendara di jalan, tiba-tiba terdengar letupan “Dor..!!” dari kenalpot mobil anda. Jika anda berpikir positif paling tidak anda akan mengatakan “ah biasa, batuk sedikit, setelah ini juga baik”. Kemudian anda terus jalankan mobil dan terdengar kembali bunyi letupan “Dor..!!” dan kali ini agak sering. Bila anda tetap berpikir positif, kurang lebihnya anda akan berpikir “hmm.. ndak apa-apa hanya suara kenalpot, lha wong ini mobil baru pasti mesinnya masih oke”. Lalu anda tetap melanjutkan perjalanan dengan pikiran positif tentang mobil anda, dan beberapa saat berselang mesin mobil anda mati, pet!, dan mobil tidak bisa jalan. Mungkin anda masih bisa berpikir positif, “ooh… tidak ada yang salah kok, mungkin saya diuji untuk lebih sabar”. Lantas anda start mobil anda dan mesin tidak hidup. Sampai disini apakah anda masih ngotot menjadi pilon dengan tetap berpikir positif bahwa tidak terjadi hal-hal negatif terhadap mobil anda?

Dalam bisnis misalnya, kalau anda memiliki modal lumayan besar, kemudian tiba-tiba ada seseorang yang tidak anda kenal baik datang dan merayu anda untuk melakukan investasi bisnis. Ya, tentu saja anda ditunjukkan keunggulan bisnis yang di tawarkannya beserta proyeksi keuntungan yang menggiurkan.

Apakah anda tidak menaruh curiga sejumputpun kepada orang belum anda kenal secara baik yang menawarkan investasi bisnis itu? Apakah anda tidak juga menghitung-hitung, menganalisis, menduga-duga resiko yang bakal terjadi, walaupun orang itu mendiskripsikan keunggulan bisnisnya secara detail lengkap dengan proyeksi keuntungan yang bisa masuk kantong anda? Apakah anda akan langsung bilang “OK, I take it!”?

Oke, katakanlah anda ambil tawaran itu dengan pikiran positif, dan ternyata setelah anda masukkan modal investasi anda yang sebesar ratusan juta itu, teman anda tadi mulai susah ditemui, telepon selulernya selalu tidak aktif, rumahnya kosong. Apakah anda akan tetap bertahan dengan pikiran positif, misalnya “hmmm… pasti dia sedang serius dan sangat sibuk mengurusi bisnis baru saya ini sehingga sulit ditemui”. Begitukah? Jika memang begitu, maka SELAMAT! Anda adalah “The Real Victim”, pilon sejati.

Biar lebih jelas, saya kemukakan satu contoh lagi. Ini mungkin terjadi di rumah tangga anda.

Suatu hari saat anda pulang kerja, istri anda tidak menyambut anda dengan senyum dan ciuman hangat seperti biasanya, apakah anda sama sekali tidak memiliki pikiran negatif?

Baiklah. Katakanlah anda masih bisa berpikir positif, “ah itu mah wajar saja, mungkin capek mengerjakan pekerjaan rumah tangga”. Selanjutnya setelah anda mandi dan hendak makan malam, tidak ada satupun hidangan di meja makan bahkan istri anda yang biasanya menemani, malah mengunci diri di kamar. Apakah anda tidak sedikitpun berpikir negatif?

Oke, oke. Sampai pada titik itu anda masih bisa berpikir positif, “saya yakin istriku hendak memberiku surprise, pastilah sesuatu yang sangat istimewa”. Tapi tiba-tiba terdengar suara tangis istri anda di kamar, meraung-raung, ditambah bunyi barang-barang yang pecah dibanting dan dilempar. Apakah anda tetap keukeuh menjadi orang pilon dengan tetap berpikir positif, “alaah.. itu cuma acting, biar aku lebih sayang padanya” Begitu kah?

“Apakah penjelasan saya sudah cukup jelas?”, Tanya Sariman.

Jadi ternyata berpikir positif itu tidak selalu baik, dan malah bisa menjadi awal dari penyangkalan terhadap realita dan fakta-fakta (denial). Bukankah hidup ini selalu ada dua hal yang berpasangan, siang-malam, baik-buruk, pria-wanita, untung-rugi, yin-yang atau positif-negatif, kata Sariman.

Namun begitu, berpikir negatif melulu juga tidak baik. Kita akan menjadi paranoia, ketakutan dan selalu penuh kecurigaan yang berlebihan, sulit tidur, tidak tenang hidupnya, dan tidak akan pernah melakukan tindakan apa-apa karena selalu dihantui oleh pikiran buruk. Mau mendekati seseorang, takut ditolak. Ingin memulai bisnis, takut merugi. Mau sukses tapi takut dengan konsekwensi logisnya. Ini pilon permanen, namanya!

Saya menawarkan agar kita memilih untuk berpikir realistis (realistic thinhking) saja, kata Sariman. Karena setiap kejadian atau peristiwa selalu memiliki dua sisi berbeda, tergantung dari sudut mana kita melihatnya dan pada konteks yang bagaimana.

Kenaikan harga BBM, positif atau negatif? Dari sudut pandang pemerintah dalam kaitannya dengan penekanan anggaran, tentu itu positif. Dengan menekan anggaran pemerintah dapat mengalokasikan anggaran tersebut untuk program intensifikasi usaha kecil atau pendidikan, misalnya. Sedangkan dari sudut pandang lain, misalnya kesejahteraan rakyat, bila diukur dengan rata-rata daya beli masyarakat itu bisa menjadi negatif. Maka yang terjadi kemudian pemerintah seolah tidak pernah berpikir untuk rakyat, seolah rakyatlah yang selalu menjadi korban, seolah-olah semua menjadi oposan pemerintah, dan sebagainya.

Hujan, positif atau negatif? Bagi penjual jas hujan dan jasa cuci kendaraan itu berkah. Namun bagi penjual es cendol, orang-orang yang tinggal di bantaran sungai, itu ancaman atau bahkan bencana. Dan penjual jas hujan pasti menyadari resiko terburuk (negatif) saat ia berjualan pada musim kemarau. Demikian juga penjual es cendol, mereka tahu betul ada resiko rugi pada saat musim hujan. Yang dapat mereka lakukan adalah mengurangi kapasitas produksi cendolnya, sehingga dapat meminimalisir kerugiannya, atau saat musim panas jualan es cendol dan saat musim hujan jualan jas hujan.

Apabila istri anda dirumah marah-marah dan mukanya cemberut melulu. Jangan-jangan ia sedang kehabisan uang belanja, atau bertengkar dengan tetangga, atau dengar gosip perselingkuhan anda, atau hal-hal negatif lainnya. Dengan begitu anda bisa tahu duduk persoalannya sehingga lebih mudah mencari solusi pemecahan masalahnya daripada tidak tahu sama sekali akar permasalahannya, bukan begitu?

Itulah yang saya sebut dengan realistic thinking, kata Sariman. Berpikir realistis itu mencoba menempatkan pikiran positif dan negatif pada porsi dan takaran yang pas. Ujung-ujungnya hasil yang diharapkan positif juga. Misalnya saja dalam investasi bisnis, kita bisa secara positif membuat proyeksi-proyeksi profit, tapi kita juga perlu membuat strategi-strategi untuk meminimalisir kerugian dengan cara membuat asumsi-asumsi resiko negatif yang mungkin terjadi.

Dan perlu ditegaskan disini bahwa ini sangat kontekstual. Dalam konteks tertentu positive thinking adalah cara terbaik. Dalam konteks yang lain kadang kita juga perlu melihat sisi negatifnya untuk tujuan positif.

Makan atau minum air putih itu bagus buat kesehatan (positif), tapi kalau kita makan atau minum air putih secara membabibuta melebihi takaran tubuh kita, bukan sehat yang kita dapatkan, malah sakit dan perlu perawatan medis (negatif). Prinsipnya sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Tapi gambaran seperti ini tidak bisa diterapkan dalam segala kondisi. Setiap peristiwa memerlukan pendekatan dan perlakuan yang seringkali berbeda-beda. Maka judul diatas (yang terdengar sangat provokatif) memiliki catatan-catatan, terutama dalam sisi kontekstualnya, harus dipertanyakan pada konteks apa, pada peristiwa seperti apa, karena kalau kita tidak pertanyakan itu salah-salah kita malah jadi pilon.
 
Bls: Efek Samping Positive Thinking\

iya bah..positiv thingking mang penting sekali...tapi haduuuuuuuuuuuuh abah saking semangat sampe bikin thread yang sama 5 kali..hooooooalaah..hihihi
 
Bls: Efek Samping Positive Thinking\

Setuju sama abah ....

Tp pusing banget milah antara harus ambil sikap positif, netral aja atau pikirkan sisi negatifnya.

Tanda harus byk belajar, keknya, ya? Hahaha....
 
Back
Top