nurcahyo
New member
EKONOMI RAKYAT SEPANJANG TAHUN 2002
Tahun 2002 adalah tahun yang benar-benar istimewa bagi ekonomi rakyat. Betapa tidak. Para ekonom makro pengritik pemerintah ?dengan bangga? menunjukkan data BKPM (Persetujuan investasi pemerintah) yang anjlog 57% untuk modal dalam negeri dan 35% untuk modal asing dibanding tahun 2001. Data penurunan penanaman modal yang sangat besar ini, sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa ekonomi nasional makin terpuruk atau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan (recovery). Data-data ini diperkuat lagi oleh ?taksiran? pelarian modal ke luar negeri sebesar rata-rata US $ 10 milyar per tahun sejak krismon 1997.
Yang licik atau tidak jujur (unfair) dari analisis makro ekonomi ini adalah tidak dengan menyebutkan secara jelas dan eksplisit bahwa ekonomi Indonesia selama 2002 telah tumbuh 3,5%. Jika saja mereka mau menyebutkan fakta ini memang mereka akan terpaksa mengakui kekeliruan teori ekonomi yang selalu mereka tonjolkan bahwa tanpa investasi tidak mungkin ada pertumbuhan ekonomi. Hukum atau teori ekonomi ini ternyata sama sekali tidak terbukti sepanjang tahun 2002. Investassi tidak berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, karena ternyata dalam kondisi investasi merosot ekonomi tumbuh 3,5%. Analisis makroekonomi (Neoklasik Ortodok) memang di sini menjadi buntu karena tidak ada yang dapat menerangkan mengapa ekonomi dapat tumbuh tanpa investasi. Dalam kondisi bingung inilah Chatib Basri seorang ekonom muda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lalu menunjuk adanya ekonomi tersembunyi (hidden economy) yang sulit diraba, sulit dimengerti, dan sulit diterangkan.
Bagi kelompok ekonom lain yang membela dan memihak ekonomi rakyat, yang dalam tulisan yang sama oleh ekonom senior FE-UI (Kompas, 19 Januari) disebut kelompok ekonom populis yang ?tidak realistis? dan ?tidak ilmiah?, ekonomi tersembunyi ini sangat jelas tidak tersembunyi. Inilah ekonomi rakyat yang dipahami oleh semua orang kecuali pakar-pakar ekonomi keblinger. Bung Hatta, yang ekonom Sumatera saja mengerti apa itu ekonomi rakyat dan pada majalah ?Daulat Rakyat? tahun 1931 menulis ?Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya?. Bahwa ekonom-ekonom modern zaman sekarang pura-pura tidak mengerti ekonomi rakyat dan mengatakan itu sebagai ekonomi tersembunyi (hidden economy) memang mudah dipahami karena pakar-pakar ekonomi ini sudah tercekoki oleh teori-teori ekonomi Neoliberal dari Barat yang hanya ?bergaul? dengan fakta-fakta ekonomi modern, ekonomi industri, ekonomi pasar uang/modal. Pergaulan mereka semakin sempit karena waktu mereka banyak tersita oleh komputer/internet yang mampu memberikan data-data kuantitatif dari seluruh dunia. Sungguh sangat kontradiktif, globalisasi yang arti harafiahnya adalah perluasan wawasan ternyata telah menyempitkan pendangan para ekonom makro Neoliberal hingga ekonomi rakyat di depan mata dianggap ekonomi tersembunyi.
Pada tanggal 18 Maret 2002 Redaktur JER bersama Menteri Koperasi & UKM bertemu Presiden Megawati di Istana Negara untuk melaporkan hasil lokakarya ?Ekonomi Kerakyatan? tanggal 11 September 2001. Presiden menyambut baik hasil-hasil seminar yang antara lain menyimpulkan pemihakan Presiden pada Ekonomi Kerakyatan meskipun di muka umum tidak terkesan demikian. Presiden menyatakan antara lain bahwa ekonomi rakyat tidak mungkin mengalami krisis berkepanjangan, karena daya tahan yang sangat tinggi. Daya tahan yang tinggi inilah yang menyebabkan ekonomi rakyat cepat pulih dari krisis ?laksana baju bolong-bolong yang merajut kembali sendiri?. Saat itu kami usulkan agar Presiden secara terbuka menunjukkan keberpihakan ini, beliau menjawab: ?Bapak-bapak saja, karena kalau saya bersikap demikian, para elit di sekitar saya serta merta akan menentangnya, dan saya akan terlalu sibuk berdebat dengan mereka, maka saya lebih baik tutup mulut?. Sikap dan jawaban Presiden yang demikian tentu saja mengecewakan kita, karena sepertinya perjuangan kita membela ekonomi rakyat tidak pernah akan berhasil. Presiden kita ternyata tidak bersama kita.
Sidang tahunan MPR-RI bulan Agustus 2002 merupakan tonggak sejarah bagi ekonomi rakyat ketika MPR memutuskan menarik kembali kesepakatan sebelumnya (ST-2000) untuk menghapus asas kekeluargaan dari pasal 33 UUD 1945. ST-MPR 2002 memutuskan mempertahankan asas kekeluargaan bahkan mempertahankan keseluruhan (3 Ayat) pasal 33 tanpa amandemen apapun. Ini berarti kemenangan para pembela ekonomi rakyat yang sejak Mei 2001 sebenarnya telah ?dinyatakan kalah? karena 5 dari 7 pakar ekonomi dalam BP-MPR setuju untuk menghapus asas kekeluargaan untuk digantikan dengan asas keadilan, efisiensi, dan demokrasi ekonomi. Secara lengkap rumusan pasal 33 baru hasil ST-2000 berisi 5 ayat sebagai berikut:
1. Perekonomian disusun dan dikembangkan sebagai usaha bersama seluruh rakyat secara berkelanjutan berdasar atas keadilan, efisiensi, dan demokrasi ekonomi, untuk mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan/atau diatur oleh negara berdasarkan asas keadilan dan efisiensi yang diatur dengan undang-undang;
3. Bumi, air, dan dirgantara, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan atau diatur oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang diatur dengan undang-undang;
4. Pelaku ekonomi adalah koperasi, badan usaha milik negara, dan usaha swasta termasuk usaha perseorangan;
5. Penyusunan dan pengembangan perekonomian nasional harus senantiasa menjaga dan meningkatkan tata lingkungan hidup, memperhatikan dan menghargai hak ulayat, serta menjamin keseimbangan dan kemajuan seluruh wilayah negara.
Demikian menggusur kata asas kekeluargaan dengan memasukkan kata demokrasi ekonomi, keadilan, dan efisiensi, rupanya dianggap memadai dan tidak melanggar asas kerakyatan. Tetapi jika ke 5 ayat baru pasal 33 ini dianggap cukup untuk menghidarkan sistim kapitalisme, liberalisme, dan sosialisme, maka penghapusan penjelasan seluruh pasal 33 masih tetap berbahaya karena tidak lagi ada ketentuan tentang ?mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan kemakmuran orang seorang?. Lagipula menyebutkan koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi, disamping BUMN dan usaha swasta, sebenarnya merupakan salah kaprah yang sulit dimaafkan. Koperasi bukan pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi tetap saja perorangan sebagai produsen ataupun konsumen, dan pemerintah, sedangkan koperasi adalah wadah organisasi tempat bergiatnya ekonomi rakyat. Hanya orang seorang adalah pelaku ekonomi yang instinknya bekerja keras berusaha mencapai tujuan, sedangkan organisasi koperasi adalah wadah kegiatan yang menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota-anggota koperasi.
Dalam sidang tahunan (ST) MPR-2002 para politisi kita berdebat keras melaksanakan amandemen UUD 1945 yang dikenal dengan amandemen ke-4. Memang amandemen yang paling penting menyangkut bidang politik yaitu tentang pemilihan presiden apakah melalui MPR yang selama ini berjalan atau melalui pemilihan langsung. Ternyata yang menang adalah cara pemilihan yang kedua yaitu pemilihan presiden langsung meskipun tetap tidak ada jaminan dapat terpilihnya presiden yang benar-benar mampu mempersatukan seluruh bangsa untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa yang makin komplek termasuk ancaman disintegrasi bangsa yang amat nyata.
Mungkin karena perhatian amat besar pada masalah pemilihan presiden atau katena perjuangan yang gigih dari segelintir teman-teman kita di MPR seperti Prof. Sri-Edi Swasono, mayoritas anggota nampaknya menyadari kekeliruan pendapat yang ingin menggusur asas kekeluargaan. Hasilnya cukup melegakan karena asas kekeluargaan tidak jadi digusur dan ketiga ayat pasal 33 dipertahankan utuh tanpa perubahan apapun meskipun ada tambahan ayat 4 dan 5 sebagai ?kompromi? yang memasukkan kata ?efisiensi berkeadilan?. Tetapi sekali lagi tetap merupakan kekeliruan dan kerugian besar bagi bangsa Indonesia dan sistem serta praksis perekonomian, karena MPR memutuskan menghapus seluruh penjelasan pasal 33 termasuk di antaranya hilangnya kata bangun perusahaan koperasi dan pengertian lengkap demokrasi ekonomi yang menekankan pada keharusan mendahulukan kepentingan masyarakat.
Bulan-bulan setelah selesainya ST MPR 2002 terjadi perdebatan menarik tentang perlakuan yang dianggap tepat pada para konglomerat atau eks-konglomerat yang mbandel tidak mau (bukan tidak mampu) membayar utang yang ratusan trilyun. BPPN yang merupakan rumah sakit raksasa untuk menyelamatkan sektor perbankan dari kebangkrutan total menghadapi dilema. Di satu pihak BPPN diperintahkan MPR dan UU tentang Propenas untuk ?membereskan? segala utang ini dalam 5 tahun, termasuk juga melaksanakan komitmen pada LoI-IMF, yaitu melalui restrukturisasi perusahaan yang sakit dan penjualan aset-asetnya. Tetapi TAP MPR yang sama dan UU No 25 tentang Propenas juga tegas-tegas memerintahkan pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan, bukan lagi sistem ekonomi konglomerasi yang terbukti telah menyulut bom waktu berupa krisis moneter 1997. Dilema ini berkepanjangan karena pada setiap kasus seperti penjualan BCA atau Indosat selalu muncul masalah masa depan sistem ekonomi Indonesia, apakah tetap patuh pada pelaksanaan amanat pasal 33 UUD yang nasionalistik atau sistem ekonomi Neoliberal yang kini menguasai ekonomi dunia. Pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan yang (harus) memihak rakyat berkali-kali terbentur atau berbenturan dengan kepentingan kelompok (vested interest) yang ingin tetap menguasai perekonomian Indonesia seperti masa-masa sebelum krismon.
Dilema sangat berat ini menjadi terbuka lebar pada kasus kenaikan serentak harga-harga BBM, Tarif dasar listrik, dan telepon awal Januari 2002, yang mendapat reaksi keras dari rakyat, lebih-lebih dengan pernyataan pembelaan Presiden di Bali tanggal 12 Januari. Presiden dengan tegas dan terus terang menyatakan pilihan kebijakan yang ?tidak populis? (tidak memihak rakyat) karena dianggap ?konstruktif? dalam jangka panjang. Tentu saja pernyataan ini mendapat reaksi makin keras karena tidak saja kebijakan yang demikian melawan TAP MPR dan UU Propenas tentang sistem ekonomi kerakyatan, tetapi juga secara nyata sangat memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Pemilihan kebijakan yang tidak populis inilah yang kemudian memperkuat demonstrasi mahasiswa yang selanjutnya menuntut Presiden dan Wakil Presiden mundur karena tidak lagi merasa dipihaki. Presiden dan Wakil presiden yang sangat didambakan memihak rakyat tidak lagi dipihak mereka (atau melawan mereka) sehingga tidak ada alasan lagi untuk mendukungnya.
Inilah nasib ekonomi rakyat yang cukup suram dan merisaukan. Berbagai upaya untuk memihakinya selalu kandas ditengah jalan karena kepentingn-kepentingan yang mapan bercokol (vested interest) selalu berusaha keras pula untuk menyabotnya demi kepentingan mereka, sehingga Direktur Utama BRI Rudjito menyatakan di DPR ?vested interest lebih tinggi dari interest rate? (yang sudah cukup tinggi!). Pada forum sama di DPR-RI tanggal 28 Januari Nyoman Muna dan Bambang Ismawan mengusulkan dikembangkannya ?microcredit wholesaler? (pemasok modal besar untuk ekonomi rakyat) tetapi yang harus dijaga benar-benar agar tidak dicegat oleh pemangsa (predator) yang akan memangsa kredit-kredit mikro ini untuk mereka sendiri. Dalam kaitan ini Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) perlu berhati-hati karena UKM inilah salah satu wadah kelompok yang sangat mudah diselundupi sehingga menjadi pemangsa (predator) barbagai program kredit bagi ekonomi rakyat. Bahaya ini sungguh jelas terlihat karena definisi kredit UKM adalah nilai kredit antara Rp 50 juta dan Rp 500 juta yang jelas bukan kelompok ekonomi mikro yang miskin.
Usulan Filipina dalam AIPO-ASEAN (Organisasi antar Parlemen ASEAN) untuk membentuk Bank Penanggulangan Kemiskinan (ASEAN Poverty Alleviation Bank), dikawatirkan makin melembagakan kehidupan predator-predator kredit mikro bagi penduduk/warga miskin yang haus kredit di negara-negara ASEAN. Di Indonesia sejarah dan praktek BRI sudah dukup meyakinkan sebagai Bank bagi penduduk miskin terutama di perdesaan. Dan praktek perbankan BRI dengan unit-unit desanya dapat didukung kegiatan BPR dan Koperasi yang dikembangkan berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sudah tumbuh di mana-mana secara mandiri dengan modal tabungan anggota. Praktek-praktek BRI ini sebenarnya sudah ditiru/direplikasi di sejumlah negara Asia seperti India tetapi rupanya kurang mendapat perhatian di negeri sendiri.
Kiranya menjadi jelas bagaimana kehidupan ekonomi rakyat sepanjang tahun 2002 sampai awal 2003 ini. Pertumbuhan ekonomi nasional yang dilaporkan BPS 3,5% jelas-jelas merupakan sumbangan ekonomi rakyat yang dapat diandalkan ketahanannya. Ekonomi rakyat bukanlah ekonomi tersembunyi (hidden economy) tetapi ekonominya wong cilik yang dapat dengan mudah dilihat dan ditemui di mana-mana di sekitar kita, di desa-desa maupun di kota-kota. Menjamurnya pedagang kaki lima di mana-mana di kota-kota besar dan kecil, adalah indikator penemuan ekonomi rakyat pada habitatnya yang benar, ketika ekonomi sektor industri modern makin tertutup dan bermasalah. Jika pemerintah menganggap menjamurnya pedagang kaki lima sebagai masalah yang memusingkan, ditinjau dari para pelaku ekonomi rakyat ia merupakan pemecahan masalah (solution). Dan jalan keluar atau pemecahan masalah ini sama sekali tidak memperoleh bantuan modal dari pemerintah atau bank-bank pemerintah, tetapi semuanya dengan modal mereka sendiri. Ekonomi rakyat menjadi pendukung utama perekonomian nasional, meskipun hampir tidak pernah dipihaki kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemulihan ekonomi nasional dari krisis yang berkepanjangan justru terletak pada ekonomi rakyat.
Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM)
Tahun 2002 adalah tahun yang benar-benar istimewa bagi ekonomi rakyat. Betapa tidak. Para ekonom makro pengritik pemerintah ?dengan bangga? menunjukkan data BKPM (Persetujuan investasi pemerintah) yang anjlog 57% untuk modal dalam negeri dan 35% untuk modal asing dibanding tahun 2001. Data penurunan penanaman modal yang sangat besar ini, sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa ekonomi nasional makin terpuruk atau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan (recovery). Data-data ini diperkuat lagi oleh ?taksiran? pelarian modal ke luar negeri sebesar rata-rata US $ 10 milyar per tahun sejak krismon 1997.
Yang licik atau tidak jujur (unfair) dari analisis makro ekonomi ini adalah tidak dengan menyebutkan secara jelas dan eksplisit bahwa ekonomi Indonesia selama 2002 telah tumbuh 3,5%. Jika saja mereka mau menyebutkan fakta ini memang mereka akan terpaksa mengakui kekeliruan teori ekonomi yang selalu mereka tonjolkan bahwa tanpa investasi tidak mungkin ada pertumbuhan ekonomi. Hukum atau teori ekonomi ini ternyata sama sekali tidak terbukti sepanjang tahun 2002. Investassi tidak berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, karena ternyata dalam kondisi investasi merosot ekonomi tumbuh 3,5%. Analisis makroekonomi (Neoklasik Ortodok) memang di sini menjadi buntu karena tidak ada yang dapat menerangkan mengapa ekonomi dapat tumbuh tanpa investasi. Dalam kondisi bingung inilah Chatib Basri seorang ekonom muda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lalu menunjuk adanya ekonomi tersembunyi (hidden economy) yang sulit diraba, sulit dimengerti, dan sulit diterangkan.
Bagi kelompok ekonom lain yang membela dan memihak ekonomi rakyat, yang dalam tulisan yang sama oleh ekonom senior FE-UI (Kompas, 19 Januari) disebut kelompok ekonom populis yang ?tidak realistis? dan ?tidak ilmiah?, ekonomi tersembunyi ini sangat jelas tidak tersembunyi. Inilah ekonomi rakyat yang dipahami oleh semua orang kecuali pakar-pakar ekonomi keblinger. Bung Hatta, yang ekonom Sumatera saja mengerti apa itu ekonomi rakyat dan pada majalah ?Daulat Rakyat? tahun 1931 menulis ?Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya?. Bahwa ekonom-ekonom modern zaman sekarang pura-pura tidak mengerti ekonomi rakyat dan mengatakan itu sebagai ekonomi tersembunyi (hidden economy) memang mudah dipahami karena pakar-pakar ekonomi ini sudah tercekoki oleh teori-teori ekonomi Neoliberal dari Barat yang hanya ?bergaul? dengan fakta-fakta ekonomi modern, ekonomi industri, ekonomi pasar uang/modal. Pergaulan mereka semakin sempit karena waktu mereka banyak tersita oleh komputer/internet yang mampu memberikan data-data kuantitatif dari seluruh dunia. Sungguh sangat kontradiktif, globalisasi yang arti harafiahnya adalah perluasan wawasan ternyata telah menyempitkan pendangan para ekonom makro Neoliberal hingga ekonomi rakyat di depan mata dianggap ekonomi tersembunyi.
Pada tanggal 18 Maret 2002 Redaktur JER bersama Menteri Koperasi & UKM bertemu Presiden Megawati di Istana Negara untuk melaporkan hasil lokakarya ?Ekonomi Kerakyatan? tanggal 11 September 2001. Presiden menyambut baik hasil-hasil seminar yang antara lain menyimpulkan pemihakan Presiden pada Ekonomi Kerakyatan meskipun di muka umum tidak terkesan demikian. Presiden menyatakan antara lain bahwa ekonomi rakyat tidak mungkin mengalami krisis berkepanjangan, karena daya tahan yang sangat tinggi. Daya tahan yang tinggi inilah yang menyebabkan ekonomi rakyat cepat pulih dari krisis ?laksana baju bolong-bolong yang merajut kembali sendiri?. Saat itu kami usulkan agar Presiden secara terbuka menunjukkan keberpihakan ini, beliau menjawab: ?Bapak-bapak saja, karena kalau saya bersikap demikian, para elit di sekitar saya serta merta akan menentangnya, dan saya akan terlalu sibuk berdebat dengan mereka, maka saya lebih baik tutup mulut?. Sikap dan jawaban Presiden yang demikian tentu saja mengecewakan kita, karena sepertinya perjuangan kita membela ekonomi rakyat tidak pernah akan berhasil. Presiden kita ternyata tidak bersama kita.
Sidang tahunan MPR-RI bulan Agustus 2002 merupakan tonggak sejarah bagi ekonomi rakyat ketika MPR memutuskan menarik kembali kesepakatan sebelumnya (ST-2000) untuk menghapus asas kekeluargaan dari pasal 33 UUD 1945. ST-MPR 2002 memutuskan mempertahankan asas kekeluargaan bahkan mempertahankan keseluruhan (3 Ayat) pasal 33 tanpa amandemen apapun. Ini berarti kemenangan para pembela ekonomi rakyat yang sejak Mei 2001 sebenarnya telah ?dinyatakan kalah? karena 5 dari 7 pakar ekonomi dalam BP-MPR setuju untuk menghapus asas kekeluargaan untuk digantikan dengan asas keadilan, efisiensi, dan demokrasi ekonomi. Secara lengkap rumusan pasal 33 baru hasil ST-2000 berisi 5 ayat sebagai berikut:
1. Perekonomian disusun dan dikembangkan sebagai usaha bersama seluruh rakyat secara berkelanjutan berdasar atas keadilan, efisiensi, dan demokrasi ekonomi, untuk mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai dan/atau diatur oleh negara berdasarkan asas keadilan dan efisiensi yang diatur dengan undang-undang;
3. Bumi, air, dan dirgantara, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai dan atau diatur oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang diatur dengan undang-undang;
4. Pelaku ekonomi adalah koperasi, badan usaha milik negara, dan usaha swasta termasuk usaha perseorangan;
5. Penyusunan dan pengembangan perekonomian nasional harus senantiasa menjaga dan meningkatkan tata lingkungan hidup, memperhatikan dan menghargai hak ulayat, serta menjamin keseimbangan dan kemajuan seluruh wilayah negara.
Demikian menggusur kata asas kekeluargaan dengan memasukkan kata demokrasi ekonomi, keadilan, dan efisiensi, rupanya dianggap memadai dan tidak melanggar asas kerakyatan. Tetapi jika ke 5 ayat baru pasal 33 ini dianggap cukup untuk menghidarkan sistim kapitalisme, liberalisme, dan sosialisme, maka penghapusan penjelasan seluruh pasal 33 masih tetap berbahaya karena tidak lagi ada ketentuan tentang ?mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan kemakmuran orang seorang?. Lagipula menyebutkan koperasi sebagai salah satu pelaku ekonomi, disamping BUMN dan usaha swasta, sebenarnya merupakan salah kaprah yang sulit dimaafkan. Koperasi bukan pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi tetap saja perorangan sebagai produsen ataupun konsumen, dan pemerintah, sedangkan koperasi adalah wadah organisasi tempat bergiatnya ekonomi rakyat. Hanya orang seorang adalah pelaku ekonomi yang instinknya bekerja keras berusaha mencapai tujuan, sedangkan organisasi koperasi adalah wadah kegiatan yang menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota-anggota koperasi.
Dalam sidang tahunan (ST) MPR-2002 para politisi kita berdebat keras melaksanakan amandemen UUD 1945 yang dikenal dengan amandemen ke-4. Memang amandemen yang paling penting menyangkut bidang politik yaitu tentang pemilihan presiden apakah melalui MPR yang selama ini berjalan atau melalui pemilihan langsung. Ternyata yang menang adalah cara pemilihan yang kedua yaitu pemilihan presiden langsung meskipun tetap tidak ada jaminan dapat terpilihnya presiden yang benar-benar mampu mempersatukan seluruh bangsa untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan bangsa yang makin komplek termasuk ancaman disintegrasi bangsa yang amat nyata.
Mungkin karena perhatian amat besar pada masalah pemilihan presiden atau katena perjuangan yang gigih dari segelintir teman-teman kita di MPR seperti Prof. Sri-Edi Swasono, mayoritas anggota nampaknya menyadari kekeliruan pendapat yang ingin menggusur asas kekeluargaan. Hasilnya cukup melegakan karena asas kekeluargaan tidak jadi digusur dan ketiga ayat pasal 33 dipertahankan utuh tanpa perubahan apapun meskipun ada tambahan ayat 4 dan 5 sebagai ?kompromi? yang memasukkan kata ?efisiensi berkeadilan?. Tetapi sekali lagi tetap merupakan kekeliruan dan kerugian besar bagi bangsa Indonesia dan sistem serta praksis perekonomian, karena MPR memutuskan menghapus seluruh penjelasan pasal 33 termasuk di antaranya hilangnya kata bangun perusahaan koperasi dan pengertian lengkap demokrasi ekonomi yang menekankan pada keharusan mendahulukan kepentingan masyarakat.
Bulan-bulan setelah selesainya ST MPR 2002 terjadi perdebatan menarik tentang perlakuan yang dianggap tepat pada para konglomerat atau eks-konglomerat yang mbandel tidak mau (bukan tidak mampu) membayar utang yang ratusan trilyun. BPPN yang merupakan rumah sakit raksasa untuk menyelamatkan sektor perbankan dari kebangkrutan total menghadapi dilema. Di satu pihak BPPN diperintahkan MPR dan UU tentang Propenas untuk ?membereskan? segala utang ini dalam 5 tahun, termasuk juga melaksanakan komitmen pada LoI-IMF, yaitu melalui restrukturisasi perusahaan yang sakit dan penjualan aset-asetnya. Tetapi TAP MPR yang sama dan UU No 25 tentang Propenas juga tegas-tegas memerintahkan pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan, bukan lagi sistem ekonomi konglomerasi yang terbukti telah menyulut bom waktu berupa krisis moneter 1997. Dilema ini berkepanjangan karena pada setiap kasus seperti penjualan BCA atau Indosat selalu muncul masalah masa depan sistem ekonomi Indonesia, apakah tetap patuh pada pelaksanaan amanat pasal 33 UUD yang nasionalistik atau sistem ekonomi Neoliberal yang kini menguasai ekonomi dunia. Pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan yang (harus) memihak rakyat berkali-kali terbentur atau berbenturan dengan kepentingan kelompok (vested interest) yang ingin tetap menguasai perekonomian Indonesia seperti masa-masa sebelum krismon.
Dilema sangat berat ini menjadi terbuka lebar pada kasus kenaikan serentak harga-harga BBM, Tarif dasar listrik, dan telepon awal Januari 2002, yang mendapat reaksi keras dari rakyat, lebih-lebih dengan pernyataan pembelaan Presiden di Bali tanggal 12 Januari. Presiden dengan tegas dan terus terang menyatakan pilihan kebijakan yang ?tidak populis? (tidak memihak rakyat) karena dianggap ?konstruktif? dalam jangka panjang. Tentu saja pernyataan ini mendapat reaksi makin keras karena tidak saja kebijakan yang demikian melawan TAP MPR dan UU Propenas tentang sistem ekonomi kerakyatan, tetapi juga secara nyata sangat memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Pemilihan kebijakan yang tidak populis inilah yang kemudian memperkuat demonstrasi mahasiswa yang selanjutnya menuntut Presiden dan Wakil Presiden mundur karena tidak lagi merasa dipihaki. Presiden dan Wakil presiden yang sangat didambakan memihak rakyat tidak lagi dipihak mereka (atau melawan mereka) sehingga tidak ada alasan lagi untuk mendukungnya.
Inilah nasib ekonomi rakyat yang cukup suram dan merisaukan. Berbagai upaya untuk memihakinya selalu kandas ditengah jalan karena kepentingn-kepentingan yang mapan bercokol (vested interest) selalu berusaha keras pula untuk menyabotnya demi kepentingan mereka, sehingga Direktur Utama BRI Rudjito menyatakan di DPR ?vested interest lebih tinggi dari interest rate? (yang sudah cukup tinggi!). Pada forum sama di DPR-RI tanggal 28 Januari Nyoman Muna dan Bambang Ismawan mengusulkan dikembangkannya ?microcredit wholesaler? (pemasok modal besar untuk ekonomi rakyat) tetapi yang harus dijaga benar-benar agar tidak dicegat oleh pemangsa (predator) yang akan memangsa kredit-kredit mikro ini untuk mereka sendiri. Dalam kaitan ini Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) perlu berhati-hati karena UKM inilah salah satu wadah kelompok yang sangat mudah diselundupi sehingga menjadi pemangsa (predator) barbagai program kredit bagi ekonomi rakyat. Bahaya ini sungguh jelas terlihat karena definisi kredit UKM adalah nilai kredit antara Rp 50 juta dan Rp 500 juta yang jelas bukan kelompok ekonomi mikro yang miskin.
Usulan Filipina dalam AIPO-ASEAN (Organisasi antar Parlemen ASEAN) untuk membentuk Bank Penanggulangan Kemiskinan (ASEAN Poverty Alleviation Bank), dikawatirkan makin melembagakan kehidupan predator-predator kredit mikro bagi penduduk/warga miskin yang haus kredit di negara-negara ASEAN. Di Indonesia sejarah dan praktek BRI sudah dukup meyakinkan sebagai Bank bagi penduduk miskin terutama di perdesaan. Dan praktek perbankan BRI dengan unit-unit desanya dapat didukung kegiatan BPR dan Koperasi yang dikembangkan berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sudah tumbuh di mana-mana secara mandiri dengan modal tabungan anggota. Praktek-praktek BRI ini sebenarnya sudah ditiru/direplikasi di sejumlah negara Asia seperti India tetapi rupanya kurang mendapat perhatian di negeri sendiri.
Kiranya menjadi jelas bagaimana kehidupan ekonomi rakyat sepanjang tahun 2002 sampai awal 2003 ini. Pertumbuhan ekonomi nasional yang dilaporkan BPS 3,5% jelas-jelas merupakan sumbangan ekonomi rakyat yang dapat diandalkan ketahanannya. Ekonomi rakyat bukanlah ekonomi tersembunyi (hidden economy) tetapi ekonominya wong cilik yang dapat dengan mudah dilihat dan ditemui di mana-mana di sekitar kita, di desa-desa maupun di kota-kota. Menjamurnya pedagang kaki lima di mana-mana di kota-kota besar dan kecil, adalah indikator penemuan ekonomi rakyat pada habitatnya yang benar, ketika ekonomi sektor industri modern makin tertutup dan bermasalah. Jika pemerintah menganggap menjamurnya pedagang kaki lima sebagai masalah yang memusingkan, ditinjau dari para pelaku ekonomi rakyat ia merupakan pemecahan masalah (solution). Dan jalan keluar atau pemecahan masalah ini sama sekali tidak memperoleh bantuan modal dari pemerintah atau bank-bank pemerintah, tetapi semuanya dengan modal mereka sendiri. Ekonomi rakyat menjadi pendukung utama perekonomian nasional, meskipun hampir tidak pernah dipihaki kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemulihan ekonomi nasional dari krisis yang berkepanjangan justru terletak pada ekonomi rakyat.
Prof. Dr. Mubyarto, Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM)