Pantai tersapu angin, si umang-umang mencari cinta atau apakabar cinta dalam lag
Jelaslah ... 'kan aku tergerak oleh sentilan erwin, perihal "mayat" [[[[[[ yang bukan bangkai tetapi ]]]]] ---- simbolisasi akan-hal kenangan [mungkin] lama atau sesuatu yang tak-perlu engkau ungkit-ungkit lagi; Bahkan, "aku"ku disini pun merupa umang-umang, ketam yang hidup dipesisir tepi-tepi pantai [ Aa, sapuan landai ombak, bukan-angin yang cuma mengelus ] yang bertabiat semulajadi [ pada kosmologi alam Melayu ] dilihat sebagai negatif. Karena selalu menduduki, atau mendiami kulit kerang bangsa siput lainnya. Ingatlah peribahasa Melayu : 'umpama si umang-umang' -- yang mengumpamakan orang bergaya dengan memakai milik orang lain.
Kenapa aku disini adalah umang-umang? Karena tiadalah mahluk lain yang berumah kerang di pasir dengan ombak lalu pergi tinggalkan tanpa mati, selain "meng[k]ubur sebuah mayat di rumah-rumah kerang di dalam pasir" --- Umang-umang menipu sekian banyak orang, yang mengira dirinya adalah sebangsa siput, toh yang sebenarnya ia sebangsa ketam yang beraga mungil, berkulit lembut, berkaki panjang-panjang, berwarna cokelat dengan garis-garis kekuningan yang membuatnya seperti mahluk tercantik di dunia bak small is beautiful. Justru begitulah ia keseringan menjadi mangsa predator macam-macam bangsa. Mulai dari unggas-unggas pantai, sampai jadi mainan manusia.
Jadi, jika umang-umang pergi meninggalkan rumah bajakannya itu, dan tinggalkan dengan " --- [kubur]an sebuah mayat" disana; Maka interpretasi om Erwin Sitorus, ada benar juga. Bahwa mayat merupakan "kenangan-lama" -- Sesuatu yang [seakan] momok, menakutkan, menyakitkan, [hendak dilupakan, tetapi tidak tak-lupa ngga]; Namun bila kita anggap adanya otonom [rasa] benci, atau perang-teritori untuk membebaskan beban [ beban? adalah momok tadi ], maka mengapa ada " --- prasasti?" Dan diperlukannya imej "goresan sebuah nyanyian cinta?" Sekalipun, "di atas pasir pantai" "yang [sebentar nanti kemudian akan] belum sempat disapu angin" --- Begitulah om Erwin Sitorus berkesimpulan, ia adalah "sebuah kontrol dan perdamaian terhadap rasa takut dan objek ketakutan itu sendiri yang sewajarnya [harap-harap cemas mas] telah terdoktrin dalam setiap diri manusia sejak dia lahir." Setidaknya, inteligensia manusia konon ada begitu. Tentu umang-umang bakal protes nda setuju.
Sanjak "dyahwijaya" yang dijudulkan sebagai : BARANGKALI MASIH ADA YANG TERTINGGAL, ini cukup padat. Sekalipun beberapa kata membuat kejanggalan ritma puitiknya, khususnya mengingat bahaya Indonesia yang baek dan beneran, eh! Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar. Masaq ada "sebuah mayat" bukannya sebangkai-mayat atau sebuah-babyBenz lebih cocok to. Jika pun ayam mati, bangkainya aku akan bilang : Bangkai seekor ayam, bukannya bangkai sebuah ayam. Ya, disinilah permainan sang aku, si umang-umang [[[[[[ bukan bangsa kita, manusia yang sok pintar-pandai-lihai, alias sok-tau mex! ]]]]]]] Pena seorang penyair "dyahwijaya" [ sambil ngedip2 kelilipan, koq zadi inget sama diyah patiloka -kembarannye nkali- hehehe sst sst... dibalik kloset eh, korsetlah ] bahasa yang bener dan baik adalah versi si umang-umang. Bukanlah bahasa si tarzan atawa gombloh maupun jojon, apalagi srimulat bulat, dan itu teater kebangsaan kamus. Dan si kerang palsu "umang-umang" masih beringsut romantik, sambil pergi mengubur kenangan membajak sarang kerang siput lain mengharap-harap jejak-langkahnya [sebagai mahluk pembajak] diatas pasir menjadi prasasti yang dikelak hari kemudian, [pikirnya] insyallah boleh dibaca para penyair, dan disyairkan menjadi sesuatu "goresan sebuah nyanyian cinta." Tetapi harapan begitu saja, telah disambut pesimisme, bahwa terjangan angin, apalagi hempasan ombak lautan dan air pasangnya, pastilah menyapu lenyap petanda dan pertanda maupun tanda-tanda yang ditinggalkannya itu. Toh, sekalipun demikian, aku [si] umang-umang masih berbesar hati, masih ada tempo, sebelum .... ya, sebelum disapu angin, atau dihempas ombak, dan ditenggelamkan pasang. Jaman
[sehari ada beberapa musim dalam hidup si mungil umang-umang] sebelum petaka menghapuskan semuanya itu. Sekecil, atau secuil apapun juga masih merupakan asa yang tak terberhingga. Si kecil umang-umang masih bisa dan mampu berharap. Dari biarpun cuma setetes, umang-umang sanggup melangkah pergi. Tinggalkan kenangan [sebuah mayat] dengan jiwa besar untuk membajak kerang siput yang lain lagi. Itu semua karena rasa cintanya,.Tanda cintanya, dan prasasti jejak-langkah pada peri kehidupannya. Hindup dan cinta umang-umang mungkinlah sesuatu barangkali. Apalagi kita manusia, bukan ?
Begitulah goresan "sebuah nyanyian [untuk] cinta"ku buat para kekasih dimanapun, dan sedang apapun juga.
aku kubur sebuah mayat
di rumah-rumah kerang
di dalam pasir
sementara ombak lautan mengawasiku
barangkali masih tertinggal sebuah prasasti
goresan sebuah nyanyian cinta
di atas pasir pantai
yang belum sempat disapu angin