Megha
New member
majalah tempo pernah memuat sebuah laporan tentang bayi tabung. Disitu diungkapkan, enam dari tujuh sel telur menghasilkan embrio. lalu empat embrio terbaik dimasukan kerahim seorang wanita yang ingin punya anak dari hasil bayi tabung. Berarti dua embrio lain (yang kalah baik) dimusnahkan? Nah, dari segi etnik, apakah dokter punya "hak" memusnahkan embrio?
ada satu kisah Dari Australia (kalau nggak salah diMelbourne) pada medio 1986 : dokter mempertahankan dengan gigih embrio yang sudah yatim piatu.
ceritanya begini :
sepasang saumi isteri yang sudah mempunyai anak berusia 10 tahun belum punya anak lagi. Karena sudah sepuluh tahun tidakbelum punya anak lagi, mereka diterima dalam proyek bayi tabung. Maka, terjadilah pembuahan yang menghasilkan sejumlah embrio itu. Lalu, sebagian dari embrio itu dimasukan kerahim sang ibu. Dan tersisa delapan embrio.
nah, disinilah mulai cerita etnik dan hukum yang menarik. Kedelapan embrio tersebuttidak dimusnahkan, tapi disimpan secara "Cyrogenic" yakni pada suhu sangat rendah dalam keadaan beku. maksudnya pada suatu saat, embrio itu bisa "ditanamkan" lagi pada ibu pemilik. Namun, sebelum sang ibu melahirkan, pasangan tersebut tewas pada kecelakaan pesawat terbang. Jadi, kedelapan embrio yang disimpan tadi menajdi "yatim piatu".
Sang dokter tak mau dan menolak memusnahkan embrio tersebut sesuai dengan sumpah dokter : menghormati kehidupan insani sejak terjadinya pembuahan. Pengadilan mengusulkan memusnahkan embrio tersebut dengan alasan, kalau dimasukan rahim surrogate mother (ibu lain untuk dibesarkan & dilahirkan), setelah lahir, akan menimbulkan masalah hukum : hukum waris. Mungkinkah seorang bayi yang lahir (dari rahim orang lain) memperoleh warisan dari orangtua genetiknya yang sudah meninggal sebelum sang bayi lahir? apakah bayi "susulan" itu berbagi warisan dengan anak pasangan tadi, yang sudah berumur sepuluh tahun setelah ibu bapaknya wafat?
sayang sekali saya nggak tau kelanjutan kasus tersebut. Tapi yang pokok dalam kasus tersebut dokter bidan Australia tersebut menolak memusnahkan embrio meskipun pasangan pemilik telah meninggal dunia.
sampai disini adakah orang-orang indonesiaindonesia yang ingin menanggapi?
ada satu kisah Dari Australia (kalau nggak salah diMelbourne) pada medio 1986 : dokter mempertahankan dengan gigih embrio yang sudah yatim piatu.
ceritanya begini :
sepasang saumi isteri yang sudah mempunyai anak berusia 10 tahun belum punya anak lagi. Karena sudah sepuluh tahun tidakbelum punya anak lagi, mereka diterima dalam proyek bayi tabung. Maka, terjadilah pembuahan yang menghasilkan sejumlah embrio itu. Lalu, sebagian dari embrio itu dimasukan kerahim sang ibu. Dan tersisa delapan embrio.
nah, disinilah mulai cerita etnik dan hukum yang menarik. Kedelapan embrio tersebuttidak dimusnahkan, tapi disimpan secara "Cyrogenic" yakni pada suhu sangat rendah dalam keadaan beku. maksudnya pada suatu saat, embrio itu bisa "ditanamkan" lagi pada ibu pemilik. Namun, sebelum sang ibu melahirkan, pasangan tersebut tewas pada kecelakaan pesawat terbang. Jadi, kedelapan embrio yang disimpan tadi menajdi "yatim piatu".
Sang dokter tak mau dan menolak memusnahkan embrio tersebut sesuai dengan sumpah dokter : menghormati kehidupan insani sejak terjadinya pembuahan. Pengadilan mengusulkan memusnahkan embrio tersebut dengan alasan, kalau dimasukan rahim surrogate mother (ibu lain untuk dibesarkan & dilahirkan), setelah lahir, akan menimbulkan masalah hukum : hukum waris. Mungkinkah seorang bayi yang lahir (dari rahim orang lain) memperoleh warisan dari orangtua genetiknya yang sudah meninggal sebelum sang bayi lahir? apakah bayi "susulan" itu berbagi warisan dengan anak pasangan tadi, yang sudah berumur sepuluh tahun setelah ibu bapaknya wafat?
sayang sekali saya nggak tau kelanjutan kasus tersebut. Tapi yang pokok dalam kasus tersebut dokter bidan Australia tersebut menolak memusnahkan embrio meskipun pasangan pemilik telah meninggal dunia.
sampai disini adakah orang-orang indonesiaindonesia yang ingin menanggapi?