Megha
New member
Note: Akan ada banyak fakta-fakta yang melenceng dari cerita aslinya di ‘Prince of Tennis’ apakah itu? Cari tahu saja sendiri~ *digebukin secara massal* No Smut, No Lemon, No… errr…. mungkin Yaoi iyah kali ya~ *dihajar kontra Yaoi*
——————————–Douzo!—————————————
———— Kanagawa, Musim Semi —————
Sanada Akaya – 5 tahun, terdiam diruang guru – ditenangkan untuk sementara karena perbuatannya tadi.
“Aka-chan, mengapa kau melakukannya?” tanya Niou-sensei – guru tempat dimana Akaya selalu dititipkan.
“Dia duluan yang mengejekku,” ucap Akaya dingin. Ia tidak lagi menangis seperti pertama kali Ia melakukannya – ini sudah kesekian kalinya dalam bulan ini. Akaya sudah hapal apa yang akan terjadi selanjutnya jika Ia diamankan diruangan seperti ini.
“Akaya!”
Ia pasti akan dihajar habis-habisan oleh sang Ayah; Sanada Genichirou, yang datang untuk menjemputnya — terkadang lebih cepat datang, jika ia membuat masalah seperti ini.
—PLAAK!
Dan selalu sebuah tamparan mendarat di pipinya. Akaya kecil hanya bisa meneteskan air mata untuk menahan sakit di pipinya. Ia tidak menangis. Karena, menurutnya memalukan untuk menangis dihadapan ayahnya yang memegang teguh jalan hidup bushido ini.
“Minta maaf!” Genichirou selalu dipusingkan oleh tingkah laku putra satu-satunya ini.
“Tidak mau,” Akaya buang muka dari sang Ayah.
“Minta maaf!” Genichirou makin naik darah.
“Tidak mau!” Akaya meninggikan intonasi suaranya.
“Dasar anak kurang ajar!” Sanada bersiap memukul anak satu-satunya tersebut.
“Akaya tidak terima kalau mamah di jelek-jeleki!” kemarahan Akaya meledak, “dibilang tidak punya mamah lah, tidak bisa bermain dengan orang tua lah, mamah masuk rumah sakit gara-gara aku lah, bukankah itu menyakitkan!”
Sanada mengurungkan niatnya untuk menampar Akaya. Dilihatnya Akaya terengah-engah; menahan tangis. Suasana menjadi tegang sejenak. Hening menyelimuti mereka berdua. Niou hanya bisa terdiam; tidak tahu harus berbuat apa.
“Walau begitu, minta maaf Akaya,” Sanada mengatur nafasnya. Emosinya sudah mulai mereda melihat guratan-guratan merah diwajah sang anak akibat menahan tangis yang terlalu dalam.
Akaya tidak lagi menjawab, Ia berlari keluar ruangan.
“Ah, maafkan saya…” walhasil Genichirou meminta maaf sendirian pada orang tua murid tersebut.
“Lain kali, tolong jaga anaknya ya. Kurang ajar sekali,” jawab orang tua murid tersebut angkuh.
Sanada pun sama dengan Akaya; ingin sekali menghajar orang ini, namun…
“Akaya… pasti sangat merepotkan…” gumam Genichirou bersalah.
“Ah, tidak. Rasanya… aku pun akan begitu…” Niou menghela nafas dengan menatap jendela.
Ia sudah hapal dengan sikap Akaya yang terkesan… kesepian.
“Sekarang, aku harus pergi mencarinya,” Genichirou merundukkan badannya – bersiap untuk pergi.
“Tidak perlu mencari Aka-chan,” Niou tersenyum simpul sembari menunjuk kearah luar jendela – arah taman belakang.
Benar saja saat dirinya menapaki tempat sepi tersebut, tampaklah Akaya yang sedang terduduk memandangi bunga-bunga liar yang tumbuh dihalaman belakang tempat penitipan ini.
Melihat sang Ayah datang, Akaya langsung membuang muka. Genichirou pun lantas menghentikan langkahnya untuk mendekati sang anak.
“Akaya,” suara beratnya menyebutkan nama sang anak.
Akaya tetap tak bergeming. Ia terus mencorat-coret tanah dengan sebatang ranting.
“Akaya.” Suaranya sedikit ditinggikan.
Akaya masih tidak menghiraukan panggilan ayahnya.
“Ayo pulang…” Genichirou membelakangi putranya dan berjalan pergi.
“Selamat datang, Nii-san,” Sanada Akiko – sepupu Genichirou, menyapa sang kakak sepupu yang pulang dengan wajah asem kayak kehabisan gaji di tanggal tua.
Akiko – 20 tahun, langsung mengerutkan alisnya. Gak biasanya wajah sang kakak asem di tanggal gajian. Belum sempat Ia menjawab, muncullah Akaya dengan wajah yang tak kalah kusutnya dengan sang Ayah.
“Aka-chan? Kenapa?” Akiko berlutut dihadapan keponakannya tersebut.
Akaya tidak menjawab, dan langsung pergi. Akiko mengerti, Akaya sedang kesal. Ia pun langsung membuntuti sang keponakan hingga ke dalam kamar tidurnya.
“Ne~ Aka-chan, ceritakan padaku…” Akiko berlutut dihadapan Akaya yang sedang duduk cemberut diatas kasurnya.
Akaya terdiam.
“Ini kenapa?” Akiko menyentuh lebam di pipi Akaya dengan hati-hati.
Sejenak Akaya meringis.
“Ah, maafkan aku!” Akiko langsung menarik tangannya.
“Aku bertengkar…”
“Lagi?”
Akaya mengangguk.
Akiko bangkit dari hadapan keponakannya, untuk mengambil beberapa lembar kapas dan sebotol alkohol yang ada di meja samping tempat tidur sang Keponakan, “Ttou-san lagi ya?” tanyanya.
“Iya,” jawab Akaya yang lalu membanting tubuhnya ke atas kasur empuk.
“Sssshh,” Akiko langsung menyanggah tubuh Akaya kembali, “jangan tiduran dulu, lukanya belum dibersihkan,” Akiko mengusapkan kapas yang telah basah oleh alkohol ke pipi Akaya, “tahan ya,”
Akaya meringis, jemarinya dengan kuat mencengkram lengan yukata Akiko.
“Naah, sudah selesai!” Akiko menempelkan plester di pipi Akaya yang tembem.
Akaya masih dengan wajahnya yang menekuk.
“Ne~ Aka-chan…”
“Hm?”
“Jadi cowok, harus kuat! Agar bisa melindungi cewek yang disukainya kelak. Seperti papahmu~”
“Aku benci dia,” Akaya langsung mencium bantal dan memunggungi sang Bibi, “aku mau tidur, ceramahnya besok saja,”
Akiko mengerti. Ia segera bangkit dan mengusap rambut wakame sang keponakan, “oyasumi,”
“Kau seharusnya bertindak sebagai seorang yang bijak, Nii-san,” ceramah Akiko saat diruang teh bersama sang kakak sepupu.
“Aku bijak,” Genichirou menyesap tehnya.
“Menampar anakmu sendiri? Itu konyol,”
“Apa urusannya denganmu?”
“Cara didik mu itu salah, Gen nii-san Kalau terus dilanjutkan, ini akan berdampak pada kondisi phisikis Aka-chan. Terlebih Ia masih sangat kecil. Apa yang Ia mengerti tentang aliran bushido yang kau anut sedari dulu itu?”
Genichirou terdiam. Tehnya dibiarkan dingin oleh tarian angin senja.
“Cobalah untuk sedikit lembut terhadapnya. Terlebih lagi, Seiichi-chan tidak menginginkan hal ini, bukan? Aku hanya….”
—-BRAAK!
Genichirou memukulkan gelasnya pada meja, sehingga isinya mewarnai pemukaan kayu jati tersebut.
“Aku ini laki-laki, Aki,”
Giliran Akiko yang terdiam.
“Aku tidak tahu cara mendidik seorang anak dengan cara perempuan. Inilah yang kudapat dari masa kecilku,” matanya tajam membelah cakrawala di ufuk barat sana, “Aku… Aku hanya tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghadapi anak laki-laki yang masih berusia lima tahun,” Genichirou menundukkan pandangannya, “andai Seiichi di sini… Akaya… Akaya pasti tidak akan mendapatkan perlakuan seperti ini…”
Akiko menghela nafas panjang. Urusannya menjadi tambah rumit bila sudah menyinggung istri sang kakak – Seiichi.
Yukimura Seiichi – yang kini menjadi Sanada Seiichi, menikah dengan Genichirou diusianya yang terbilang muda; 20 tahun. Kondisi fisiknya memang lemah. Namun hanya Ia wanita yang bisa meredam keangkuhan dan keras kepalanya Genichirou. Melahirkan di usia 21tahun, yang menyebabkan kondisi tubuhnya yang lemah menjadi tidak stabil. Harus berulang kali memasuki kamar perawatan Rumah Sakit.
“Lalu? Mengapa kau tidak meluangkan waktumu dengan Akaya untuk membawanya ke Rumah Sakit? Untuk menemui Seiichi-chan. Sekaligus… curhatlah padanya. Kuyakin, sebagai seorang ibu, Ia mengerti apa yang harus dilakukan,” saran Akiko sebelum beranjak mengambilkan lap untuk menghapus ‘perbuatan’ sang kakak sepupu.
— Kamis Pagi yang Cerah —
Seiichi mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca menuju pintu masuk kamar perawatannya. Dua sosok bayangan dari seberang pintu tergambar samar melalui kaca pintu yang buram.
“Ya?”
Digeserlah pintu, dan manpaklah dua orang yang begitu ia cintai.
“Oookkaaaa-cchhaaaannn~!”
“Aka-chan~!” Seiichi langsung memeluk sang anak yang sudah berlari mendahului sang Ayah.
“Okaa-chan, aku membawa ini,” Akaya menunjukkan sebuket Verbenna putih kepada sang Bunda.
“Aih, Manisnyaa~ siapa yang memilihkannya?” tanya Seiichi.
“Aku~” jawab Akaya.
“Aku!” jawab Genichirou menyanggah pernyataan sang anak.
Seiichi tertawa kecil, “aih, Genichirou… kau masih saja cemburu terhadap anakmu sendiri,”
Muka Genichirou saat itu langsung memerah.
“Ne~ Aka-chan, kau bisa membantu Mama menaruhnya di vas itu, sayang?”
“Un!”
Akaya langsung memanjat bangku yang ada di samping lemari untuk menaruh buket bunga tersebut.
“Aka-chan, mau duduk dipangkuan mamah?” Seiichi melebarkan tangannya.
Akaya buru-buru menuruni kursinya.
“Seiichi, kau masih….”
“Tidak apa-apa, Genichirou… Aku kangen Aka-chan,” matanya yang teduh melirik Akaya yang masih berusaha turun dari kursi tersebut, “setidaknya, aku masih memangkunya, saat aku sudah tidak bisa membawanya bermain,”
“Kaa-chan~~” Akaya langsung naik ke atas ranjang Seiichi dengan cara ‘menaiki’ sang Papa yang sedang duduk di samping Seiichi.
Tubuhnya yang masih kecil pun langsung melingkari lengan Seiichi dan bersandar pada dadanya yang hangat. Akaya, begitu merindukan sang Mama.
Seiichi hanya tersenyum simpul melihat kelakuan sang anak, “ih~ Aka-chan makin nge-gemesin deehh~” Seiichi mencubit pipi sang anak.
“Auww~! Kaa-san, sakit~~” Akaya langsung memegangi pipinya.
Tidak biasanya Ia akan seperti itu, Akaya justru senang saat sang mamah mengajaknya bermain dan menggodanya.
Memang firasat seorang Ibu, Seiichi langsung memeriksa sesuatu yang salah. Ditemukanlah sebuah plester sedang nempel dengan manisnya di pipi kanan Akaya.
“Aka-chan, apa ini?”
Akaya hanya bisa meringis kesakitan dan melirik sang papah.
Seiichi langsung mengeluarkan aura ‘Muga no Kyouchi‘ nya, “Genichirou?”
Genichirou ngerti kalau sang istri lagi marah, dan mau ngamuk.
Namun sesaat, Seiichi langsung menguasai dirinya kembali. Ia rasa, saat-saat pertemuannya sekarang tidak pantas diwarnai dengan pertengkaran.
“Um, perawat~!” Seiichi memanggil salah seorang perawat yang kebetulan melintas di pintu kamarnya yang terbuka.
“Ya?” perawat tersebut pun memasuki kamar perawatan Seiichi.
“Tolong titip anak saya, ya… bawa Ia ke tempat bermain,” pinta Seiichi, “aku… ingin berbicara berdua dengan ayahnya…”
Dan pintu pun tertutup.
“Genichirou…” Seiichi mencari pandangan sang suami yang tertutup poninya yang mulai panjang.
“Maafkan aku, Seiiichi,” Sanada menunduk.
Kedua tangan Seiichi mengangkat pandangan Genichirou, “minta maaflah pada Aka-chan… bukan aku,” senyumnya tulus.
Genichirou menghela nafas penuh penyesalan, “aku… aku hanya tidak tau bagaimana menididik anak dengan caramu, Seiichi,”
Seiichi mengulum senyumnya. Sanada memang tidak bisa jujur jika dihadapan orang lain, “cobalah bicarakan hal ini baik-baik dengan Aka-chan… pakailah bahasa yang… Aka-chan mengerti,” saran Seiichi.
“Tapi imej ku di depan Akaya sudah buruk, Seiichi. Kuyakin Ia tidak mau diajak berbicara pelan-pelan,”
Suasana menjadi hening. Jadi repot kalau begini ceritanya.
“Andai saja… waktu itu kau tidak melahirkan ia…” gumam Genichirou.
“Genichirou!” Seiichi menghardik sang suami, “apa kau membenci Akaya?” tatapannya menjadi nanar seketika itu juga.
“Aku tidak membencinya… hanya saja… hanya saja, waktu itu kau diberikan pilihan kan, sewaktu kandunganmu masih berusia tiga bulan Seiichi.
Mengapa kau memilih untuk melahirkannya? Padahal, kau tahu kan, kalau itu akan berdampak pada kesehatanmu?”
Seiichi menatap sang suami sejenak, lalu menghela nafas. Ia kembali mengangkat pandangannya dan menyebarkannya diluar jendela sana, “aku yang memilihnya, Genichirou…”
Semilir angin menyelinap dari celah jendela yang terbuka dan menerbangkan tirai, mewarnai ruangan menjadi musim semi, “walau pun resiko melahirkan itu sendiri adalah kematian, aku akan tetap melahirkan Aka-chan…”
senyumnya nanar pada Genichirou yang tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh sang istri.
Seiichi menghela nafas sejenak – membiarkan Genichirou mencerna perkataannya.
“Karena… aku merasa telah diberi kesempatan untuk mengantarkan kelahiran anak dari orang yang kucintai…” Seiichi tersenyum sejenak lalu mencium dahi yang tertutup poni tersebut.
Genichirou terpana dengan adegan yang begitu membuat darahnya berdesir tenang.
“Aku… tidak pernah menyesal telah melahirkan Aka-chan. Karena, ada sebagian dirimu dalam Aka-chan, dan ada sebagian diriku juga,” Seiichi tersenyum karena mimik Genichirou menampakan wajah mengerti.
Genichirou beranjak dan mendekati sang istri. Didekapnya kepala Seiichi sehingga merapat ke dadanya. Dikecupnya rambut biru ikal yang tergerai itu dengan lembut. Sembari berbisik, “kau… adalah pemberian terindah dalam hidupku…”
Seiichi berbaring diatas ranjangnya, lalu kedua tangannya menarik sang suami hingga kepala mereka terbaring pada bantal yang sama.
“Aku lupa… betapa hangatnya dirimu…” Seiichi merangkul sang suami. Disesapnya aroma tubuh yang begitu ia rindukan.
Sanada membalas lingkaran tangan sang istri. Diciumnya pipi Seiichi yang dingin karena siang beranjak sore.
“Andai… waktu itu dapat kuputar kembali…”
— Kanagawa, 5 tahun lalu… —
“Seiichi!” Genichirou langsung menghampiri sang istri yang tengah mencoba untuk menjemur pakaian.
“Ah, Gen-chan sudah pulang yaa?” Seiichi langsung menampakan senyum malaikatnya pada sang Suami yang masih berbalut jas yang udah kusut karena berdesakan dengan penumpang lain di kereta.
“Kenapa kau menjemur? Jangan-jangan, kau mencuci pakaian juga ya?” Genichirou Nampak panic setengah mati.
Seiichi menampilkan wajah polosnya, “lho? Memangnya kenapa? Ini kan, pekerjaan Ibu rumah tangga,”
Genichirou mengumpulkan nafas di dadanya dan…. “kau sedang hamil, tauk! Apa kau tidak khawatir dengan kesehatanmu sendiri?”
Seiichi malah tertawa mendengarnya, “aku juga bisa sakit pinggang jika berlama-lama diam dan hanya menunggumu pulang,”
“Taruh cuciannya,”
“He?”
“Taruh!”
“Tapi~”
“Taruh! Kubilang taruh!”
Dengan ragu, Seiichi menaruh lagi baju basah tersebut diatas tiang jemuran tanpa dibeberkan.
“Lain kali, suruh saja pelayan yang melakukannya. Kau ini tinggal di kediaman Sanada tau,” Genichirou langsung membawa sang istri dalam pangkuannya.
“Kyaaa! Gen-chan! Jangan mendadak seperti itu donk!” protes Seiichi.
“Seiichi, dengarkan aku…” Sanada berlutut dihadapan sang istri yang ia taruh dipinggir ranjang mereka, “kau ingat dengan perkataan dokter kemarin?”
Seiichi menggeleng pelan.
Genichirou mengurut dada menghadapi istrinya yang sedikit tulalit ini, “kau tidak boleh kecapek’an, Secchan~~” Genichirou memencet hidung sang Istri sehingga Seiichi dengan refleks menghindar.
“Ah, menjaga kesehatan, bukan berarti dengan diam, kan?” protesnya lagi.
“Tapi kau selalu melakukan hal yang berlebihan,”
“Tidak boleh ini lah, dilarang itulah… Hufth! Aku bisa mati bosan di sini,”
Walhasil, Genichirou ngerasa kasian juga dengan sang istri yang sehari-semalam sepanjang hidupnya hanya menunggu dirinya pulang kerja saja.
“Bagaimana… kalau besok, kita pergi ke suatu tempat?” tawar Genichirou.
“He? Kemana?” dari intonasinya saja, Seiichi sudah sangat bersemangat.
“Pokonya, rahasia,” Genichirou mengecup dahi sang istri.
“Ih! Gen-chaaann~!”
—- Esoknya —-
“Daripada kau capek-capek mencuci, bagaimana kalau berkebun?”
Genichirou mengajak sang istri ke sebuah Nursery – tempat pembibitan tanaman-tanaman hias.
Semenjak pacaran, is tahu kalau sang istri paling gak tahan dengan yang namanya tanaman hias. Tangan dinginnya mampu menciptakan warna baru di pekarangan rumah mereka.
“Ah~! Gen-chan~! Kau paling baiikk~!” Seiichi mengekspresikannya dengan memeluk dan mendaratkan ciuman di pipi sang suami.
“Seiichi! Jangan di sini!”
—- Kanagawa, April—-
Sore ini, Genichirou pulang dengan wajah kusut, asem, apek, berminyak, dekil, lusuh, mbladus,…… *ditendang Sanada keluar dari cerita ini*
“Ada apa, Gen-chan?” senyum Seiichi selalu berhasil mengungkap yang disembunyikan Genichirou.
“Aku… ditugaskan di luar kota,” jawabnya singkat sambil memalingkan wajah dari sang istri.
“Wah, enaknya yang jalan-jalan…” Seiichi membereskan tebasan jas dan kaus kaki sang suami yang sudah menghiasi kamar mereka.
Sejenak Genichirou melirik sang Istri. Lalu bergumam, “hhh… Kenapa kamu harus menjadi sepolos ini sih…”
Yukimura malah memiringkan kepalanya—mencari jawaban dari kerutan alis sang suami.
“Itu tandanya aku tidak bisa menjagamu untuk beberapa waktu kedepan, Seiichi~”
“Aku bisa menjaga diriku sendiri kok,”
“Aku tidak percaya,”
“Ih, Gen-chan mulai kolot deh,”
Genichirou menghela nafas. Ia pasti kalah kalau silat lidah sama sang Istri.
Seiichi tersenyum penuh kemenangan, “kapan berangkatnya, biar kusiapkan bajunya,”
Di beranda rumahnya, Genichirou tertidur diatas pangkuan sang Istri. Memandangi kecantikan Azalea yang berselimutkan senja.
“Anak kita mungkin lahir saat bunga Ajisai ini merekah…” Seiichi memandangi bunga Hydrangea yang ada di salah satu sudut pekarangan rumahnya, “Itu mungkin… saat awal Oktober nanti,” senyum Yukimura.
Genichirou menoleh pada Hydrangea yang aru melahirkan beberapa kuncup bunga.
“Ne, Gen-chan~ Kau menginginkan anak perempuan, atau laki-laki?” tanya Seiichi.
Genichirou sejenak memandang sang Istri, lalu memeluk pinggang Seiichi dan menenggelamkan wajahnya dalam pangkuannya, “apapun, asalkan kau selamat,”
Seiichi tersenyum dengan perlakuan sang suami. Diusapnya lembut rambut Genichirou, “masuk yuk, senja sudah datang…”
“Jaa, Gen-chan, berhati-hatilah,” Seiichi mengantar sang suami sampai di depan pagar rumahnya.
“Kau yang seharusnya berhati-hati,” Genichirou mengecup kening sang istri, “aku… berangkat dulu,”
Nampak keraguan dalam langkah yang Genichirou ambil. Sayu mata Seiichi mengantar sang suami pergi.
“Kalau ada apa-apa… hubungi aku…”
“Seiichi-chaaann~~” Sanada Akiko — 15 tahun, “mana Genichirou-nii?” tanya gadis yang baru masuk SMA ini pada sang kakak ipar.
“Ah, Ia baru saja berangkat ke Aomori 2 hari yang lalu,” jawab Seiichi sembari membuka bungkusan yang adik iparnya serahkan kepadanya, “apa ini Aki-chan?”
“Ano, itu adalah sakura mochi. Okaa-san yang membuatnya,”
“Wah, bilang terima kasih untuk beliau ya,”
“Ah, Okaa-san bilang, itu spesial untuk anakmu,” Aki duduk sejajar dengan Seiichi, “kira-kira, keponakanku ini, kapan lahir ya?”
Seiichi tertawa kecil, “masih lama Aki-chan~ mungkin awal Oktober nanti,”
“Uwaaahh~~ kalau Ia cowok, mungkin aku akan menjadikannya pacar~~” ujar Aki antusias.
Seiichi hanya tertawa mendengar ucapan sang adik, “nanti, tolong dijaga baik-baik ya,”
—- Aomori hari ke-5 —-
Siang ini, Genichirou nampak gelisah. Entah hal apa yang mengusik istirahat siangnya di beranda hotel tempatnya menginap.
Sudah lima hari ini ia meninggalkan Seiichi sendirian di Kanagawa. Sempat ia meminta Akiko — adik sepupunya, untuk menjaga sang Istri selama dirinya ada di Aomori.
“Semoga Seiichi baik-baik saja…” desahnya.
— DRRTT~ DRRTT~
Seketika itu juga, ponsel yang ia taruh di sisinya bergetar. Layarnya menampilkan nama sang adik sepupu
Sanada Akiko
[+81618xxxx]
calling….
“Ya, Aki, ada apa?” Genichirou langsung menjawab panggilan sang adik.
“Gen nii-san?” suara Aki nampak panik.
“Iya, Aki, aku disini, ada apa?” Genichirou berusaha menenangkan sang adik.
“Gen nii-san, Gen nii-san…” Aki terus memanggil namanya sampai akhirnya terdengar suara isak tangis.
“Kau kenapa Aki? Ada apa?” Genichirou mau tak mau jadi panik.
“Seiichi-chan… Seiichi-chan…” kali ini Aki menyebut nama Istrinya.
Begitu mendengar nama sang Istri, Genichirou langsung bangkit dari duduknya.
“Ada apa dengan Seiichi?”
“Seiichi-chan… tadi… Seiichi-chan…” sejenak Aki terisak, “tadi Ia collapse, dan tak sadarkan diri………”
Genichirou membelalakkan matanya. Mulutnya tak mampu berkata-kata. Sejuta bayangan buuk menghantui pikirannya.
“Gen nii chan, cepatlah pulang~” dan Aki pun menangis….
“Katakan padaku dimana Rumah Sakitnya!”
Genichirou langsung mengambil penerbangan sore itu juga tanpa mempedulikan 2 hari yang tersisa di Aomori. Pikirannya penuh dengan kekalutan yang kini memenuhi dadanya.
Sudah 5 jam berselang setelah telepon terakhir dari sang adik tertutup… Membuat Sanada semakin tidak karuan.
“Seiichi!” satu gebrakan tangannya membuka pintu kamar perawatan yang diberitahu resepsionis tadi sewaktu Ia baru memasuki Rumah Sakit ini.
“Nii-san!” Akiko yang sedang duduk di samping kakak ipar nya menghentikan langkah Genichirou dengan satu bisikkan.
“Seiichi… Ia… Bagaimana keadaannya?” Genichirou mengecilkan volume suaranya.
Akiko menoleh pada tempat dimana Seiichi berbaring, “keadaanya sudah membaik sekarang. Biarkan Ia beristirahat sekarang…” Akiko bangkit dari tempat duduknya — mempersilahkan sang kakak untuk duduk disamping istrinya.
“Bayinya?”
“Syukurlah, keduanya selamat… Bayinya tidak apa-apa…”
Genichirou mendekati sang istri dengan perlahan. Nampak jelas guratan khawatir di wajahnya. Namun selintas rasa lega ada karena Genichirou tidak kehilangan sang Istri dan buah hatinya.
“Aku keluar sebentar… Kau pasti lapar kan, setelah tergesa-gesa pulang dari Aomori..?” Akiko pergi dengan meninggalkan senyum.
Genichirou duduk di samping sang istri. Jemari besarnya menyapu rambut biru yang menutupi dahi Seiichi.
“Maafkan aku…” hanya itu yang diucapkan Genichirou berulang-ulang pada Seiichi yang masih memejamkan matanya.
Ditelungkupkan wajahnya di atas tangan Seiichi, diciuminya tangan itu.
———————————————————————————————–
Seiichi terbangun dengan sentuhan lembut angin malam di pipinya. Hari sudah senja…
Matanya terbuka dan mendapati langit-langit berwarna putih diatas kepalanya. Belum sempat ia bangkit untuk menyadari apa yang terjadi, kehangatan itu terasa di genggaman tangan kirinya. Ialah sang suami saat ia menolehkan pandangannya.
“Genichirou…” tangannya menyentuh lembut wajah sang suami yang tergurat jelas rasa kelelahan.
Genichirou tergerak, lalu terbangun.
Suasana hening sempat tercipta diantara mereka sampai…
“Gen-chan, bukannya kau sedang ada di Aomori ya?” tanya Seiichi pelan. Ia hafal tempramen Genichirou yang buruk saat baru bangun tidur.
Genichirou langsung melirik sang Istri, “aku kembali ke sini secepatnya, gara-gara kamu, tau!”
Seiichi terdiam — mencari-cari kesalahan yang menyebabkan sang suami cepat pulang, “memangnya kenapa?” tanya Seiichi seperti orang amnesia.
“Jangan-jangan, sewaktu collapse tadi, kepalamu terbentur ya?”
“He? Aku? collapse? terbentur?” Seiichi menyusun kemungkinan-kemungkinan berdasarkan kosa kata yang baru saja dilontarkan sang suami.
Tak perlu waktu se-abad untuk Seiichi menjerit atas hal yang dipikirkannya.
“Aku… Aku terjatuh? Bayi nya~!” Seiichi langsung panik dan meminta penjelasan pada Genichirou.
“Tenanglah…” Genichirou menenangkan sang istri dengan menggenggam kedua tangannya, “anak kita tidak apa-apa…” senyumnya seulas.
Seiichi langsung menghela nafas. Dalam hatinya sangat bersyukur untuk tidak kehilangan apa yang ada di dalam tubuhnya.
“Maafkan aku…” gumam Genichirou bersalah.
“He? Untuk apa?” Seiichi pun bingung jadinya.
“Untuk tidak berada di sampingmu, di saat-saat seperti ini,”
Seiichi mengangkat pandangan sang suami dengan kedua tangannya, “kau pulang ke sini dalam hitungan jam, sudah termasuk memaksakan diri, loh,” senyumnya.
Dari wajah sang suami, kedua tangannya turun ke telapak tangan Genichirou, “aku yang seharusnya minta maaf karena membuatmu khawatir, dan telah membahayakan anak kita,” Seiichi tertunduk — bersalah.
Genichirou tersenyum tipis. Dirinya bangkit dari duduknya, dan mendekap sang istri. Di sesapnya aroma malam yang menyelinap melalui rambut ikal sang istri.
“Mulai sekarang… kita akan terus bersama-sama menjaga yang berharga untuk kita….”
———————————————————————————————–
“Melihat kondisinya, sebagai dokter, saya tidak mengijinkannya untuk melahirkan anak yang ada dalam kandungannya,” jelas seorang dokter yang menangani kesehatan Seiichi.
“Mengapa begitu sensei (panggilan untuk dokter — JPN)?”
“Bisa dipastikan, kalau istri anda akan mengalami ‘postpartum depression’ — kondisi depresi setelah melahirkan,”
Genichirou memandang sang istri yang tengah sibuk merenungi perkataan sang dokter dengan ucapan hati nuraninya.
“Hanya ada satu jalan untuk menghindari ‘postpartum deperssion’,”
Seiichi langsung mengangkat pandangannya — seakan itulah harapannya.
“…. menggugurkan kandungannya,”
Genichirou langsung memandang khawatir sang istri yang menundukkan kembali pandangannya.
“Tapi… semua itu adalah keputusan anda berdua. Kami, hanya membersi saran,” dokter tersebut pun pergi, dan tinggalah mereka berdua dalam ruangan putih tersebut.
“Seiichi…” Genichirou memanggil dengan lirih.
“Aku… akan tetap melahirkan anak ini, Gen-chan~” terlihat jelas senyum ketir sang istri.
“Kau tak perlu memaksakannya,”
“Aku memang ingin kok,”
“Tapi… kesehatanmu lah yang menjadi taruhannya,”
“Dan mengorbankan anak kita yang tak tahu apa-apa ini?”
Suasana menjadi tegang.
“Tidak apa-apa, Gen-chan~ belum tentu juga aku akan mengalami depresi setelah melahirkan,” senyum lembut sang istri sedikit menenangkan hati Genichirou.
“Tapi….”
“Ini sudah ketetapan hatiku,” Seiichi meyakinkan sang suami, “hal yang terindah untukku adalah menjadi seorang Ibu. Walaupun harus mengorbankan nyawa,” senyumnya tulus.
Seiichi melingkarkan kedua tangannya di pinggang sang suami, lalu menariknya agar kedua telinganya berdempetan dengan sumber detak jatung Genichirou.
Genichirou mengusap kepala sang istri. Dagunya merapat pada rambut biru ikal tersebut. Lalu di turunkan sehingga kedua bibirnya sejajar dengan telinga kanan Seiichi, “jangan buat aku kehilanganmu,” bisiknya.
————- Tsudzuku ————-
Oleh Aiko-chan