Administrator
Administrator
Maaf, jika mendadak saya menjadi salah satu pendukung tuan rumah Piala Dunia 2010 Afrika Selatan (Afsel). Saya menjadi pembela timnas Afsel karena gairah pendukungnya. Bukan karena pelatihnya, Carlos Alberto Parreira atau disebabkan adanya Steven Pienaar karena saya juga bukan pencinta Everton.
Jumat (11/6) waktu Cape Town, saya termasuk wartawan yang beruntung. Meski tidak memiliki akses masuk ke stadion menyaksikan pertandingan secara langsung, bangga rasanya bisa menjadi salah satu saksi sejarah dari sebuah pesta negara bernama Afsel,
Gairah, yang belum pernah saya lihat bahkan di negara sendiri ketika menjadi tuan rumah Piala Asia. Hampir semua orang di sini mengenakan kostum kuning-kuning bertuliskan Bafana-Bafana. Semua penduduk menjadi bendera negara mereka.
Karena itu, saya tidak mau lagi berbicara masalah rasisme di sini. Pasalnya, sepanjang hari kemarin saya tidak melihatnya. Saya hanya melihat teriakan Bafana-Bafana, Ayoba. Saya hanya sam warna, yaitu warna bendera mereka.
Di Cape Town, pesta itu sudah berlangsung mulai pagi. Siangnya, di pusat kota, puluhan ribu sudah terlihat hilir mudik memadati kawasan fan fest. Sisanya, berlalu lalang di jalanan yang memang menjadi denyut kehidupan masyarakat.
Masalahnya, kawasan resmi fan fest justru baru dibuka setelah laga Afsel melawan Meksiko berakhir. Sempat terjadi insidi en dorong-mendorong antara aparat keamanan dan penonton. Sekitar 100 aparat yang berjaga di depan pinm masuk kawasan fan fest harus bekerja keras. Panitia juga menyiapkan pasukan berkuda.
“Maksudnya apa? Kami ke sini ingin menyaksikan pertandingan dari layar raksasa. Tapi, kami justru diam di sini dan tak bisa berbuat apa-apa,” kata Shaherah Christian.
Imbasnya, ribuan orang tidak bisa menyaksikan upacara pembukaan dan laga pertama tim kesayangan mereka. Kalau ada yang melihat pertandingan, justru di kafe-kafe di bar di beberapa tempat. Tapi, di sinilah saya melihat persatuan itu.
Tepatnya, saat Afsel mencetak gol perdana di Piala Dunia 2010 melalui Tsabalala pada menit ke-55. Seluruh Kota Cape Town seperti stadion besar yang bergema karena suara vuvuzela. Satu gol yang membuat para wanita dan pria menari, melonjak tanpa henti. Satu gol pembuka yang membuat seorang pria berlari sekitar 10 meter.
Gol yang membuat seorang kulit putih langsung memeluk rekan di sebelahnya yang berwarna kulit berbeda. Merinding mendengar gema vuvuzela dan menyaksikan sebuah pembauran luar biasa. Kalau kemudian pertandingan berakhir seri, toh mereka tidak menyurutkan dukungan. “Bagus, permainan sudah bagus,” kata Philippa Dunca, 30.
Ada juga memang yang mengeluh. Apalagi, timnas Afsel memiliki kesempatan memenangkan pertandingan seandainya dua peluang pada menit akhir bisa dikonversi menjadi gol.
Tapi, sama sekali tidak ada kerusuhan. Setelah pertandingan, semua masih melanjutkan pesta. Main road Cape Town macet total. Mobil harus berhenti dan memberikan jalan kepada para fans yang berlalu lalang dengan vuvuzela mereka. Polisi lalu lintas harus bekerja keras mengatur karena kemacetan terjadi di mana-mana. Bukan cuma di pusat kota. Arah ke Waterfront dan Green Point Stadium juga macet. Pesta yang sudah digelar sehari sebelumnya seperti belum cukup.
Ribuan fans yang hendak menyaksikan pertandingan Prancis versus Uruguay dipaksa berjalan kaki sejauh 3 km. Jarak itu harus ditempuh karena mobil sulit bergerak. “Semua akses ke arah stadion ditutup untuk kendaraan. Ini benar-benar gila,” kata salah satu pengendara mobil yang terjebak kemacetan.
Sumber : Sindo