Fenomena La Presidenta: Di Amerika Latin Wanita Berjaya

Kalina

Moderator
117155large.jpg


Setelah Rezim Militer Tak Kunjung Hadirkan Perubahan

KALAU saja Laura Chinchilla maju ke pemilihan presiden Kosta Rika sepuluh tahun lalu, Jorge Mora sepenuhnya yakin bahwa wanita kelahiran 28 Maret 1959 itu tak akan menang. Penyebabnya bukan dia masih terlalu muda kala itu. Melainkan, ketika itu warga negeri kecil yang beribu kota di San Jose tersebut belum siap menerima wanita sebagai pemimpin.

"Tapi, Kosta Rika kini telah dewasa. Para wanita di negeri ini telah menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan yang sama dengan kaum pria," tutur Mora, direktur Pusat Studi Ilmu Sosial Amerika Latin, kepada The Christian Science Monitor.

Karena itu, tanpa kesulitan Chinchilla memenangi pemilihan presiden 7 Februari lalu. Wakil presiden era Oscar Arias yang masa jabatannya berakhir pada 8 Mei mendatang itu meraup 46,76 persen sehingga putaran kedua tak perlu digelar.

Kemenangan Chinchilla tersebut sekaligus mempersubur fenomena la presidenta atau presiden wanita di kawasan Amerika Latin. Wilayah yang selama ini identik dengan machoismo, yang ditandai dengan banyaknya kekuasaan rezim militer hingga 1990-an dan para pemimpin beraliran kiri radikal dalam satu dekade belakangan, tersebut telah melahirkan lima presiden wanita yang terpilih melalui pemilu yang fair.

Bahkan, total sebenarnya tujuh. Tapi, Ertha Pascal-Trouillot yang memimpin Haiti pada 1990-1991 dan Isabel Martinez Peron yang berkuasa di Argentina pada 1974-1976 hanya bersifat interim dan tidak dipilih melalui pemilu.

Jumlah tersebut masih berpotensi bertambah tahun ini. Sebab, di pemilu Brazil yang dihelat Oktober mendatang, kandidat yang peluangnya terus menguat belakangan adalah Dilma Rouseff. Dia adalah kepala staf kepresidenan pada era Presiden Lula Da Silva sekarang. Presiden Lula yang sangat populer dan sudah dua kali menjabat pun secara terbuka mendukung politikus Partai Pekerja itu.

Apa penyubur fenomena la presidenta itu? Banyak yang menunjuk pada pemberlakuan sistem kuota bagi wanita di lembaga politik sejak 1991. Argentina yang mengawali dan kini tercatat setidaknya sepuluh negara di kawasan Amerika menerapkan sistem serupa.

Hasilnya, di Argentina tingkat keterwakilan wanita melonjak dari 5 persen pada 1991 menjadi 30 persen saat ini. Total di seluruh Amerika Latin, representasi wanita di parlemen menembus 35 persen. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang cuma 16 persen.

Kejenuhan pada gaya kepemimpinan maskulin, yang tampak seperti meneruskan tradisi rezim militer yang kebanyakan berkuasa di sekujur Amerika Latin hingga dua dekade lalu, menjadi faktor pemicu lain. "Secara umum, publik hanya ingin perubahan. Saya, misalnya, melihat wanita memiliki visi lebih luas jika dibandingkan dengan pria. Sebab, wanita terbiasa melakukan banyak hal sekaligus," tutur Ana Esposito, seorang pekerja sosial di Buenos Aires, Argentina, kepada Washington Post.

Wanita pemimpin juga dianggap lebih luwes dalam memahami persoalan dan mencari solusi. Michelle Bachelet yang terpilih di Cile pada 2006, contohnya, meraup angka dukungan di atas 70 persen pada akhir masa jabatannya tahun ini berkat program bantuan pendidikan untuk anak-anak dan bantuan buat para ibu.

Marta Lagos, periset yang sering mengadakan jajak pendapat di kawasan Amerika Latin, juga menilai kemunculan Chinchilla, Bachelet, dan Cristina Fernandez de Kirchner di Argentina sebagai bagian dari keinginan publik akan lahirnya elite baru. "Ketika para pria yang bergantian memimpin setelah era rezim militer tak kunjung menghadirkan perubahan, tiba-tiba saja wanita menjadi opsi," papar Lagos kepada The Christian Science Monitor.

Namun, artinya tak lantas para wanita pemimpin itu tiba di mahameru kekuasaan lewat jalan tol. Meski Bachelet putri seorang jenderal dan Kirchner bersuami mantan presiden, keduanya tetap harus merangkak dari bawah. Mereka mulai bergulat dengan politik pada 1970-an. Pada 1990-an, Bachelet masuk kabinet, sementara Kirchner menjadi senator.

Itu pula yang membuat mereka matang ketika akhirnya mendarat di kursi presiden. Tapi, tentu mereka bukan tanpa cacat. Umumnya, para wanita pemimpin tersebut dikritik karena dianggap lamban. Salah seorangnya Mireya Moscoso. Presiden Panama pada 1999-2004 itu dituding boros dan bergaya hidup mewah. Selain dia, Violetta Chamorro yang tujuh tahun berkuasa di Nikaragua dianggap disetir Amerika Serikat.

Seon Duk versi Latin :)
 
Bls: Fenomena La Presidenta: Di Amerika Latin Wanita Berjaya

ahh suka begitu deh, tiap kali wanita akan memimpin pasti stigmanya negatif ke kebiasaan kewanitaan. padahal wanita kalo udah di dunia kerja konsisten dan profesional kok
 
Back
Top