Bls: Film Hollywood: A NightMare on Elm Street (recomended)
'A Nightmare on Elm Street': Ketakutan yang Membosankan
Jakarta - Kenangan, mestinya, tidak membunuh. Jadi, "apa" sebenarnya Freddy Krueger, ketika dia datang (kembali) dan bertanya, "Masih ingatkah padaku?"
Kris, Dean, Jesse, Quentin dan Nancy adalah anak-anak muda yang tinggal di Elm Street. Dalam tiga hari terakhir, mereka tidak bisa tidur karena mengalami mimpi yang sama; didatangi sosok lelaki berwajah rusak mengerikan dengan salah satu setapak tangannya berjemari pisau.
Mimpi yang sama, itu saja sudah aneh. Ditambah lagi, sosok lelaki dalam mimpi itu berniat
membunuh mereka. Maka, jalan satu-satunya agar tidak didatangi --dan dibunuh-- oleh lelaki itu adalah berusaha terus terjaga. Sebab, walau datang hanya dalam mimpi, tapi hasil perbuatan lelaki misterius itu nyata! Tapi, berusaha terus terjaga, mana mungkin?
Film dibuka di sebuah bar kecil yang sepi, ketika Dean (Kellan Lutz) muncul dengan wajah kuyu, memanggil sang pramusaji. Namun, yang dipanggil malah ngeloyor begitu saja, membuat Dean mengkuti langkah perempuan itu sampai ke dapur. Dari sini, ketegangan sudah dimulai, dan untuk pertama kalinya penonton diperkenalkan dengan sosok lelaki berwajah rusak bertangan pisau.
Ketika monster itu hendak membunuh Dean, adegan dalam sekejap beralih ke kembali ke bangku bar, di mana Dean sedang meringkuk tertidur di atas meja, dan dibangunkan oleh sang pramusaji! Oke, ternyata yang tadi itu cuma mimpi, dan kita pun bisa bernafas kembali dengan lega.
Tak lama setelah ditinggal oleh pramusaji, Dean tertidur lagi (ingat, dia sudah tiga hari tidak tidur, jadi bayangkan betapa susahnya untuk berusaha terjaga) dan kembali monster tangan pisau muncul. Kali ini kita sudah tahu, itu artinya Dean sedang bermimpi. Dan, kita masih boleh kembali lega, karena lagi-lagi Dean terselamatkan karena dibangunkan oleh, kali ini, Kris (Katie
Cassidy), pacarnya yang mendadak muncul untuk mencarinya. Tapi, Kris pergi ke toilet, Dean tertidur lagi dan itulah untuk terakhir kalinya dia bertahan: dia tertidur lagi dan tanpa ampun monster tangan pisau datang menghabisinya. Kembali dari toilet, Kris cuma bisa jerit-jerit.
Sasaran berikutnya adalah Kris, dan menyusul kemudian Jesse (Thomas Dekker). Dan, melihat cara mereka mati kali ini, kita sudah mulai merasa bosan. Kita sudah hafal pola ketegangannya. Kita tahu, kapan sebuah adegan adalah mimpi dan kapan kenyataan. Ini efektif menyiksa dan membuat kita gelisah, sampai kadang tak berani bernafas, namun lama-lama kita terbiasa dengan monster bertangan pisau itu, yang, yeah, ternyata nggak serem-serem amat.
Dia hanya seperti orang marah yang sedang melancarkan aksi balas dendam. Tapi, kenapa datang lewat mimpi? Dan kenapa yang dia lakukan dalam mimpi itu dampaknya nyata? Kematian Kris membuat kita mulai berpikir, premis film ini tidak begitu meyakinkan. Tapi, baiklah, kita telanjur penasaran dengan si tangan pisau yang mulai membosankan itu.
Masih ada dua anak muda di kompleks itu yang tersisa, yakni Nancy (Rooney Mara) dan Quentin (Kyle Gallner). Bisa ditebak, merekalah yang mesti berperan sebagai detektif untuk menyelidiki mimpi kolektif yang mematikan itu. Nancy-lah yang awalnya tahu, bahwa pria berwajah rusak berjemari pisau
itu namanya Freddy Krueger. Ia pun mulai bertanya-tanya kepada ibunya mengenai masa kecilnya.
Selapis demi selapis misteri terkuak. Bahwa ternyata anak-anak itu dulu satu sekolah pra-TK. Anehnya, ibunda Nancy terkesan menutup-nutupi fakta itu. Sampai akhirnya penyelidikan Nancy dan Quentin bermuara di bangunan gedung sekolah pra-TK mereka dulu, tempat lelaki bernama Freddy Krueger itu menjadi tukang kebon, yang akrab dan menyayangi para murid, terutama Nancy!
Debut sutradara Samuel Bayer ini mengombang-ambingkan kita antara dunia mimpi dan nyata, namun sayangnya terlalu "eksak" dalam memainkan imajinasinya sendiri. Pada akhirnya kita dikunci pada jawaban yang mudah tertebak, tentang trauma masa kecil yang terus membayangi. Datang dan membunuh di dalam mimpi, namun orang yang sedang bermimpi mati "beneran", rasanya sulit diterima.
Pada akhirnya kita terintimidasi bukan karena Freddy, melainkan ilustrasi musiknya yang benar-benar menggiring dan mendikte kita kapan "harus" kaget dan menahan nafas. Jackie Earle Haley kurang berimprovisasi dalam menghidupkan sosok Freddy, kecuali mukanya yang rusak dan tawanya yang dingin, serta jemari pisaunya yang berdenting-denting di dinding-dinding gelap bawah tanah. Namun, para pemeran anak-anak muda yang tertekan oleh mimpi aneh yang mengerikan itu bermain bagus.