Di balik Ada Apa dengan Cinta? Giliran Gonz jadi Perhatian
Beda sama film remaja jaman dulu, film sekarang pemerannya betulan anak SMU. Bahkan, pemain yang lain lulusan sekolah yang dijadiin setting di film. Terus apa betul buku Aku itu tinggal satu, milik Aksan Sjuman?
Bikin film memang ribet. Tapi di balik keruwetan itu selalu ada cerita menarik yang bisa diingat-ingat. Begitu juga dengan Ada Apa dengan Cinta? yang syutingnya dilakukan pas liburan kenaikan sekolah tahun lalu.
Rudi Soedjarwo mengaku banyak dibantu sama beberapa pemain yang kebetulan masih SMU. Contohnya, Sissy Priscillia, Adinia Wirasti, dan Nicholas Saputra. Mereka ini yang banyak "mengoreksi" peran sutradara, bukan dalam arti apa yang lebih update di dunia kita ketimbang dunia pak sutradara jaman '80-an dulu. Mereka lebih berperan dalam soal ngembangin karakter.
"Contohnya Nico. Dia itu suka ngasih masukan seperti, 'Kayaknya nggak mungkin deh, Rangga (bersikap) seperti itu'. Itu lebih kami perlukan," tegas Rudi.
Di luar itu, ada hal-hal lain yang masih tercecer. Mungkin ada di antara kamu yang udah tau, tapi siapa tau yang lain nggak ngeh. Jadi, baca terus deh...
Mata Nico
Pertama ngadepin Nico (Nicholas Saputra) waktu kasting, komentar yang keluar dari mulut Rudi Soedjarwo adalah, "Gila! Anj**g banget nih orang!"
Bukan, bukan karena Nico yang pelajar kelas III SMU 8 Jakarta Selatan (waktu itu masih kelas II) itu kurang ajar atau ngomong jorok. Tetapi karena sorot matanya begitu "berbicara". Mata Nico itu yang pertama kali bikin tim kasting jatuh cinta.
"(Matanya) Itu yang nggak dipunyai oleh kandidat yang lain. Plus, pas membawakan, dinginnya dapet. Dingin tapi pada saat yang sama harus intelektual, karena dia kan bacaannya lebih dewasa," seru Rudi, puas.
Padahal, awalnya Rudi berharap Rangga tampil sebagai sosok yang tampangnya biasa-biasa aja. Yang lebih penting adalah mencari karakter cowok yang cool dan misterius. Susah sekali mendapatkan calon yang memenuhi syarat ini. Apalagi tim kasting juga ngandelin feeling saat memilih pemain. Artinya, meski rasanya udah sesuai, tapi kalo belum sreg banget, nggak bakal diterima. Sampai Nico muncul dengan sepasang matanya yang anj**g tadi.
Prinsip ini juga diterapkan saat mengkasting pemeran Cinta cs. Calon lain mungkin bisa aja membawakan karakter-karakternya, tapi tetap lain hasilnya dengan saat dibawakan Titi Kamal atau Adinia Wirasti. Mereka ini masih menyisakan karakter asli, yang ternyata malah bikin tokoh yang diperani jadi lebih hidup.
Gonzaga All The Way
Bukannya mau promosi, tapi film yang skenarionya digarap Jujur Prananto (Petualangan Sherina) ini boleh dibilang serba SMU Gonzaga. Setting sekolah Rangga mengambil lokasi di SMU yang bercokol di kawasan Pejaten, Jakarta Selatan itu. Kamu bisa liat nama sekolah itu bertebaran di mana-mana. Rudi Soedjarwo adalah alumni Gonz (waktu muridnya masih cowok semua), begitu juga Dennis Adhiswara (pemeran Mamet), dan para figuran yang jumlahnya sekitar 100-an orang.
Alasan memilih sekolah ini sebenarnya teknis banget. Pertama, karena fisik gedungnya yang menarik. Nggak mewah banget, tapi juga nggak jorok. Kedua, ruangannya gede-gede, karena kru film butuh meletakkan peralatan. Kemudian pihak sekolah partisipatif dan kooperatif banget. Singkatnya, nggak ribet buat perijinan, dan anak-anaknya gampang diatur. Terakhir, lokasinya dekat dengan kantor Miles yang ada di daerah Cipete.
Meski begitu, semula Gonz bukan satu-satunya pilihan. Kandidat lain adalah SMU 1 Boedi Oetomo, dan SMU Kanisius Menteng, sodaranya Gonz juga. Belakangan, kedua gedung sekolah itu dianggap kelewat artistik untuk tampil di film.
Sementara itu buat Dennis, syuting ini banyak membawa kenangan tersendiri. Abis, detil sekolahnya diperlihatkan jelas banget. "Kayak gardu listrik di halaman depan sekolah. Tempat parkiran motor yang jadi tempat anak-anak nongkrong, diperlihatkan saat adegan Rangga biasa nongkrong. Sayangnya kantin lama udah dijadiin lab bahasa, jadi saat syuting dibikin kantin dadakan," beber cowok yang kini mahasiswa jurusan Penyiaran di Universitas Indonesia ini.
Yang kurang pas mungkin geng Cinta yang tersimak kelewat manis sebagai siswi Gonzaga. Apa bener sih, cewek Gonz cenderung gahar dan sangar? "Waduh, kalo cantik dan manis itu relatif banget. Jadi kalo ada yang nganggep kayak gitu gue nggak bisa ngasih komentar. Soalnya selama di Gonz gue diajarin buat melihat inner beauty cewek-cewek Gonz," repetnya lagi. Hm... dewasa.
Dennis Si Culun
Cowok tengil berkacamata ini jebolan pertama Workshop Film "Dunia Kami" yang digelar PopCorner. Filmnya yang dibikin bareng kelompok 16 mm, Sudah Sore! Sebentar Lagi Jam Lima! Cepat Pulang!, kemudian merebut penghargaan Film Favorit di Festival Film Video Independen Indonesia (1999) dan diputer di JiFFest 1999.
Tetapi bukan unsur perkoncoan yang bikin Dennis mendapat peran Mamet *cowok culun yang naksir Cinta. Dia harus ikut kasting dulu kayak calon pemain lain.
"Banyak yang lebih kocak daripada Dennis, tapi dia aktingnya udah lebih bener. Improvisasinya an**ng banget, gua bisa ketawa terus tuh," tutur Rudi.
Bahkan, scene yang menampilkan karakter Mamet di film ini sebenernya banyak banget. Tapi terpaksa dipotong. "Takutnya film ini entar jadi Ada Apa dengan Mamet?, bukan Ada Apa dengan Cinta?," lanjut Rudi sambil ngakak.
Sosok Dennis yang sepintas nerd dianggap cocok sama Mamet. "Saat kasting gue disuruh meranin cowok yang gugup dan nggak percaya diri. Terus tuh cowok harus kenalan sama seorang cewek yang berada di tengah teman-temannya. Biar gugup gue tetep harus still yakin," kenang kelahiran 14 September 1982 yang maniak film ini.
Berhubung ini film layar lebarnya yang pertama, saat syuting Dennis lumayan sering kena take ulang. "Adegan saat ngejar Rangga ke bandara paling sering diulang. Soalnya Sissy yang bertugas bawa mobil, baru bisa nyetir jadi masih kagok. Dia mempertaruhkan nyawa empat orang di dalem mobil. Tapi nggak apa-apa, soalnya gue juga nggak bisa nyetir," candanya.
Bermain dengan lawan main secantik Dian Sastrowardoyo jadi pengalaman tersendiri bagi Dennis. Apalagi kelima pemeran yang lain juga sama cuuuantiknya. Nggak masalah deh, siapa yang paling menarik. "Satu aja udah menarik, gimana lima orang? Semua lah, menarik perhatian gue," kilahnya.
Sebagian dari pemain juga dinilainya mirip banget sama karakter aslinya. Contohnya Ladya, yang rada lesu dan pucet melulu. "Asti kelihatannya galak, padahal aslinya nggak. Sissy malah awalnya nggak lemot, tapi kok makin ke belakang kok malah makin lemot. Terlalu menjiwai kayaknya tuh orang," bebernya, cengengesan.
"Aku" Tinggal Satu?
Buku apaan nih? Yang jelas bukan buku pelajaran, apalagi komik. "Sebenernya tuh buku merupakan skenario film, yang menceritakan tentang profil Chairil Anwar," jelas Nicholas Saputra.
Tapi jangan coba-coba nyari buku ini di toko gede, karena nggak bakalan ada. Bahkan ada yang bilang kalo tuh buku tinggal tersisa satu kopi milik Aksan Sjuman, putra (alm.) Sjumandjaya. "Sebenernya nggak begitu. Tapi yang pasti nih buku langka banget, malah kami harus mencari ijin dari berbagai pihak buat memakai buku ini dalam AAdC?," jelas mbak Mira Lesmana, produser film ini.
Kenapa sih, kayaknya perlu banget menampilkan puisi (ditulis oleh Rako Priyanto) dan sastra di film ini? Menurut mbak Mira, dalam film ini harus ada yang dikedepankan, nggak hanya menyodorkan hura-hura semata. "Apalagi jaman sekarang kayaknya banyak sekolah (dan remaja) yang udah nggak perhatian sama sastra," katanya.
Terus, buku Aku dipilih karena dianggap paling cocok buat menggambarkan karakter Rangga yang penyendiri. "Kebetulan juga judul (bukunya) sangat luar biasa, bisa dibilang bentrokan antara side stream (karakter Rangga) dengan mainstream (karakter Cinta cs.)," jelas mas Riri Riza, yang juga bertindak sebagai produser.