Administrator
Administrator
Salah satu upaya mendorong pertumbuhan ekonomi pada 2011 mendatang adalah mengoptimalisasikan belanja negara untuk sektor-sektor prioritas. Tahun depan, total belanja diperkirakan Rp 1.204,9 triliun atau meningkat sekitar Rp 78 triliun jika dibandingkan APBN Perubahan 2010 yang hanya Rp 1.126 triliun.
Sementara itu, target pendapatan dari hibah sebesar Rp 1.086,7 triliun. Dan jumlah itu, penerimaan perpajakan diproyeksikan sebesar Rp 839,9 triliun atau sekitar 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun depan sebesar Rp 6.958,8 triliun.
Besarnya belanja dibandingkan pendapatan membuat defisit ditetapkan menjadi 1,7 persen dari PDB atau sekitar Rp 118,3 triliun. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan defisit tahun ini sebesar 2,1 persen atau sekitar Rp 133,7 tniliun.
Kekurangan anggaran ini membuat pemerintah harus mengambil beberapa opsi. Pertama, dengan mengurangi belanja negara. Kedua, mengandalkan tambahan dan utang, baik dalam negeri maupun luarnegeri, dan opsi ketiga, yakni dengan mengoptimalkan sektor perpajakan.
Dari berbagai pilihan itu, umumnya pemenintah lebih memilih mengombinasikan antara peningkatan tax ratio dan menerbitkan surat utang serta optimalisasi belanja negara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Rahmat Waluyanto, mengatakan, pemerintah akan mengedepankan pembiayaan melalui penerbitan surat utang dalam negeri. Pembiayaan melalui utang akan diakukan secara prudent, transparan, dan akuntabel.
Namun, sejumlah anggota DPR menoak kebijakan defisit anggaran yang mengandalkan utang itu. Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Dadoes Soemarwanto, mengatakan, defisit anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 1,7 persen atau sekitar Rp 118 triliun pada 2011 hanya akan menambah beban utang negara. Apalagi, meningkatnya defisit belum disertai dengan efektivitas penggunaan anggaran. “Peningkatan ini seharusnya dimbangi dengan penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Melihat tradisi utang yang belum mampu mengurangi angka kemiskinan itu, fraksinya dengan tegas menyatakan keberatan. Menurut dia, pemerintah hanus mengupayakan surplus anggaran. Salah satunya dengan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Juga, mengurangi kebocoran-kebocoran ataupun penggelapan pajak. “Jika berhasil, tax ratio kita bisa mencapai 16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 1.080 triliun,” ujarnya.
Terlepas dari berbagai perdebatan soal utang itu, penerimaan perpajakan memang harus terus digenjot. Yang tak kalah penting adalah optimalisasi belanja negara, dengan mengurangi program-program seremonial yang tidak perlu dan mengalihkannya untuk anggaran pembangunan.
Sekadar catatan, dengan belanja negara yang meningkat menjadi Rp 1.204,9 triliun itu, secara otomatis, sektor pendidikan akan mendapat 20 persen. Begitu pula, kebijakan subsidi, juga diposkan sebesar 20 persen.
Sementara itu, anggaran infrastruktur masih sangat minim, yakni kurang dari 20 pensen. Karena itu, tak ada jalan lain bagi pemerintah, yakni mengundang investor, mengingat kebutuhan investasi Indonesia yang mencapai sekitar Rp 2.000 triliun hingga lima tahun ke depan. Kebutuhan investasi itu guna mendorong tingkat pertumbuhan hingga di atas tujuh persen.
Sumber : Republika
Sementara itu, target pendapatan dari hibah sebesar Rp 1.086,7 triliun. Dan jumlah itu, penerimaan perpajakan diproyeksikan sebesar Rp 839,9 triliun atau sekitar 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun depan sebesar Rp 6.958,8 triliun.
Besarnya belanja dibandingkan pendapatan membuat defisit ditetapkan menjadi 1,7 persen dari PDB atau sekitar Rp 118,3 triliun. Angka ini lebih kecil jika dibandingkan defisit tahun ini sebesar 2,1 persen atau sekitar Rp 133,7 tniliun.
Kekurangan anggaran ini membuat pemerintah harus mengambil beberapa opsi. Pertama, dengan mengurangi belanja negara. Kedua, mengandalkan tambahan dan utang, baik dalam negeri maupun luarnegeri, dan opsi ketiga, yakni dengan mengoptimalkan sektor perpajakan.
Dari berbagai pilihan itu, umumnya pemenintah lebih memilih mengombinasikan antara peningkatan tax ratio dan menerbitkan surat utang serta optimalisasi belanja negara.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, Rahmat Waluyanto, mengatakan, pemerintah akan mengedepankan pembiayaan melalui penerbitan surat utang dalam negeri. Pembiayaan melalui utang akan diakukan secara prudent, transparan, dan akuntabel.
Namun, sejumlah anggota DPR menoak kebijakan defisit anggaran yang mengandalkan utang itu. Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Dadoes Soemarwanto, mengatakan, defisit anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 1,7 persen atau sekitar Rp 118 triliun pada 2011 hanya akan menambah beban utang negara. Apalagi, meningkatnya defisit belum disertai dengan efektivitas penggunaan anggaran. “Peningkatan ini seharusnya dimbangi dengan penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Melihat tradisi utang yang belum mampu mengurangi angka kemiskinan itu, fraksinya dengan tegas menyatakan keberatan. Menurut dia, pemerintah hanus mengupayakan surplus anggaran. Salah satunya dengan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Juga, mengurangi kebocoran-kebocoran ataupun penggelapan pajak. “Jika berhasil, tax ratio kita bisa mencapai 16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar Rp 1.080 triliun,” ujarnya.
Terlepas dari berbagai perdebatan soal utang itu, penerimaan perpajakan memang harus terus digenjot. Yang tak kalah penting adalah optimalisasi belanja negara, dengan mengurangi program-program seremonial yang tidak perlu dan mengalihkannya untuk anggaran pembangunan.
Sekadar catatan, dengan belanja negara yang meningkat menjadi Rp 1.204,9 triliun itu, secara otomatis, sektor pendidikan akan mendapat 20 persen. Begitu pula, kebijakan subsidi, juga diposkan sebesar 20 persen.
Sementara itu, anggaran infrastruktur masih sangat minim, yakni kurang dari 20 pensen. Karena itu, tak ada jalan lain bagi pemerintah, yakni mengundang investor, mengingat kebutuhan investasi Indonesia yang mencapai sekitar Rp 2.000 triliun hingga lima tahun ke depan. Kebutuhan investasi itu guna mendorong tingkat pertumbuhan hingga di atas tujuh persen.
Sumber : Republika