nurcahyo
New member
Gerakan Puritanisme-Radikal Telah Jadi Fakta Politik di Indonesia
Kapanlagi.com - Gerakan puritanisme-radikal telah menjadi fakta politik dan kultural yang tak bisa dihindari lagi di Indonesia, kata Direktur Eksekutif Moderate Muslim Society (MMS) Zuhairi Misrawi.
"Setidaknya hal tersebut bisa djelaskan melalui fenomena gerakan keagamaan sebagai berikut : munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung gagasan puritan radikal serta munculnya peraturan-peraturan daerah (Perda) yang secara khusus disebut dengan Perda Syariat," kata intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi pada acara seminar bertemakan "Perspektif Indonesia : Pluralisme dan Demokrasi" yang diselenggarakan Komisi Eropa di Brussel, Belgia, Kamis (07/12).
Untuk fenomena gerakan keagamaan, dia mencatat sejumlah gerakan keagamaan seperti Hizbut Tahir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan sejumlah organisasi lainnya.
"Gerakan-gerakan tersebut mempunyai perangkat organisasi yang sangat kuat, dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan di tingkat desa," kata dia.
Sementara untuk fenomena munculnya perda-perda syariat, Zuhairi menunjukkan bahwa pada tingkat nasional kalangan puritan sedang berjuang untuk membuat undang-undang anti pornografi dan anti- porno aksi.
"Dalam hal otonomi khusus untuk Aceh , terutama masalah penegakan syariat Islam, hal ini telah menginspirasikan beberapa daerah untuk melakukan hal yang sama," kata dia.
Dia mengatakan bahwa Aceh, menurut beberapa kalangan puritan-radikal, dianggap sebagai model penerapan syariat di Indonesia.
"Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memberikan masukan tentang keagamaan kepada negara baru saja mengeluarkan fatwa tentang haramnya liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, disamping pengharaman terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia," kata Zuhairi.
Menurut dia, fatwa tersebut secara tidak langsung telah memberikan legitimasi dan justifikasi atas meluasnya aksi kekerasan teradap kelompok-kelompok yang mengusung isu sekularisme, liberalisme dan pluralisme termasuk juga penyerangan dan pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat.
Kapanlagi.com - Gerakan puritanisme-radikal telah menjadi fakta politik dan kultural yang tak bisa dihindari lagi di Indonesia, kata Direktur Eksekutif Moderate Muslim Society (MMS) Zuhairi Misrawi.
"Setidaknya hal tersebut bisa djelaskan melalui fenomena gerakan keagamaan sebagai berikut : munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang mengusung gagasan puritan radikal serta munculnya peraturan-peraturan daerah (Perda) yang secara khusus disebut dengan Perda Syariat," kata intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Zuhairi Misrawi pada acara seminar bertemakan "Perspektif Indonesia : Pluralisme dan Demokrasi" yang diselenggarakan Komisi Eropa di Brussel, Belgia, Kamis (07/12).
Untuk fenomena gerakan keagamaan, dia mencatat sejumlah gerakan keagamaan seperti Hizbut Tahir Indonesia (HTI), Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) dan sejumlah organisasi lainnya.
"Gerakan-gerakan tersebut mempunyai perangkat organisasi yang sangat kuat, dari tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan di tingkat desa," kata dia.
Sementara untuk fenomena munculnya perda-perda syariat, Zuhairi menunjukkan bahwa pada tingkat nasional kalangan puritan sedang berjuang untuk membuat undang-undang anti pornografi dan anti- porno aksi.
"Dalam hal otonomi khusus untuk Aceh , terutama masalah penegakan syariat Islam, hal ini telah menginspirasikan beberapa daerah untuk melakukan hal yang sama," kata dia.
Dia mengatakan bahwa Aceh, menurut beberapa kalangan puritan-radikal, dianggap sebagai model penerapan syariat di Indonesia.
"Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memberikan masukan tentang keagamaan kepada negara baru saja mengeluarkan fatwa tentang haramnya liberalisme, sekularisme, dan pluralisme, disamping pengharaman terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia," kata Zuhairi.
Menurut dia, fatwa tersebut secara tidak langsung telah memberikan legitimasi dan justifikasi atas meluasnya aksi kekerasan teradap kelompok-kelompok yang mengusung isu sekularisme, liberalisme dan pluralisme termasuk juga penyerangan dan pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat.