xraith
New member
Greed is good, serakah itu baik….inilah sebuah testamen kunci yang pernah disuarakan oleh Gordon Gekko - tokoh antagonis yang diperankan dengan sangat sempurna oleh aktor Michael Douglas dalam sebuah film mempesona bertajuk Wall Street. Film besutan sutradara kondang Oliver Stone ini dirilis pada tahun 1987, berkisah tentang ambisi dan drama keserakahan para investor dan pialang saham di bursa Wall Street.
Film indah itu kembali menyeruak dalam memori ingatan saya, ketika minggu-minggu ini kembali tampil eposide tragis tentang kejatuhan Lehman Brothers, sebuah firma investasi raksasa terbesar ke-4 didunia. Episode ini merupakan rangkaian dari kejatuhan banyak firma investasi sebelumnya seperti kebangkrutan Bear Stearns, kehancuran Merril Lynch dan robohnya Citibank.
Ada banyak analisa teknis ekonomis menyeruak, mencoba memberikan penjelasan mengenai kisah rentetan kejatuhan itu. Namun pada akhirnya, semua tragedi kehancuran pasar finansial itu sejatinya berakar pada dua elemen paling purba dalam jantung manusia : ego dan keserakahan. Inilah sederet narasi tentang ego untuk selalu menggegam akumulasi kapital bahkan hingga langit ketuju. Inilah sederet kisah tentang keserakahan, tentang ambisi untuk selalu menumpuk harta hingga batas-batas yang tak terpermanai.
Kisah tentang ego dan keserakahan itu mestinya juga segera menggedor kesadaran reflektif kita, sebab ia ternyata juga hadir di sekitar kita. Ya, diam-diam ia juga selalu mendengus dalam jejak keseharian kita. Maka lihatlah, parade iklan dan reklame yang setiap hari hadir menyapa di layar kaca – dan setiap waktu menyergap setiap sudut ruang keluarga kita. Ia menggedor. Ia membujuk. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan, mengajak kita berjalan-jalan dalam karnaval konsumsi tiada henti. Budaya konsumtif yang penuh kedangkalan pelan-pelan lalu mengisi setiap sudut kehidupan kita.
Lalu lihatlah pula, ketika derap konsumtifisme itu kemudian membuat dunia materi sebagai satu-satunya simbol kemenangan yang mesti dikejar dengan segenap peluh dan ambisi. Inilah jagat dengan mana derajat kesuksesan selalu ditakar dengan seberapa luas rumah yang kita miliki, seberapa kinclong mobil yang kita kendarai, dan seberapa keren smart-phone yang ada di saku baju kita. Inilah sebuah jagat dengan mana prestise dan kemegahan gaya hidup selalu menyeruak menjadi atribut yang mesti direngkuh dalam setiap dentang waktu.
Itu semua mestinya membuat kita mengajukan pertanyaan reflektif : adakah parade kesuksesan semacam itu yang mesti kita selalu kejar dalam hidup yang teramat pendek ini? Adakah ambisi dan ego untuk menderap kekayaan materi yang kian akumulatif merupakan sebuah pemberhentian yang harus selalu dituju? Adakah hidup kita harus selalu berakhir dalam narasi kesuksesan material — selarik kisah tentang rumah nan megah, mobil nan mewah dan simpanan uang miliaran rupiah?
Serangkaian pertanyaan itu mestinya selalu kita rawat dalam kesadaran batin kita, sebab kita tahu, jalan kebahagiaan hakiki mungkin tak bisa tergenggam melalui jalan penuh ambisi dan ego materi semacam itu.
Pada akhirnya, kita mungkin juga mesti selalu mengenang ajaran klasik ini : kelak ketika kita wafat, kita hanya terbujur kaku dalam selarik kain kafan diatas lubang 2×1 meter. Disana, segenap ambisi dan kekayaan material terhempas dalam kefanaan. Disana pula, segenap lukisan kemewahan dan kemegahan tersapu dalam buih fatamorgana.
Maka, mari kita bersama menundukkan kepala seraya merenungi dalam-dalam : apa tujuan hidup sebenarnya yang hendak kita raih dalam kehidupan yang sementara ini?
Film indah itu kembali menyeruak dalam memori ingatan saya, ketika minggu-minggu ini kembali tampil eposide tragis tentang kejatuhan Lehman Brothers, sebuah firma investasi raksasa terbesar ke-4 didunia. Episode ini merupakan rangkaian dari kejatuhan banyak firma investasi sebelumnya seperti kebangkrutan Bear Stearns, kehancuran Merril Lynch dan robohnya Citibank.
Ada banyak analisa teknis ekonomis menyeruak, mencoba memberikan penjelasan mengenai kisah rentetan kejatuhan itu. Namun pada akhirnya, semua tragedi kehancuran pasar finansial itu sejatinya berakar pada dua elemen paling purba dalam jantung manusia : ego dan keserakahan. Inilah sederet narasi tentang ego untuk selalu menggegam akumulasi kapital bahkan hingga langit ketuju. Inilah sederet kisah tentang keserakahan, tentang ambisi untuk selalu menumpuk harta hingga batas-batas yang tak terpermanai.
Kisah tentang ego dan keserakahan itu mestinya juga segera menggedor kesadaran reflektif kita, sebab ia ternyata juga hadir di sekitar kita. Ya, diam-diam ia juga selalu mendengus dalam jejak keseharian kita. Maka lihatlah, parade iklan dan reklame yang setiap hari hadir menyapa di layar kaca – dan setiap waktu menyergap setiap sudut ruang keluarga kita. Ia menggedor. Ia membujuk. Ia tersenyum dan mengulurkan tangan, mengajak kita berjalan-jalan dalam karnaval konsumsi tiada henti. Budaya konsumtif yang penuh kedangkalan pelan-pelan lalu mengisi setiap sudut kehidupan kita.
Lalu lihatlah pula, ketika derap konsumtifisme itu kemudian membuat dunia materi sebagai satu-satunya simbol kemenangan yang mesti dikejar dengan segenap peluh dan ambisi. Inilah jagat dengan mana derajat kesuksesan selalu ditakar dengan seberapa luas rumah yang kita miliki, seberapa kinclong mobil yang kita kendarai, dan seberapa keren smart-phone yang ada di saku baju kita. Inilah sebuah jagat dengan mana prestise dan kemegahan gaya hidup selalu menyeruak menjadi atribut yang mesti direngkuh dalam setiap dentang waktu.
Itu semua mestinya membuat kita mengajukan pertanyaan reflektif : adakah parade kesuksesan semacam itu yang mesti kita selalu kejar dalam hidup yang teramat pendek ini? Adakah ambisi dan ego untuk menderap kekayaan materi yang kian akumulatif merupakan sebuah pemberhentian yang harus selalu dituju? Adakah hidup kita harus selalu berakhir dalam narasi kesuksesan material — selarik kisah tentang rumah nan megah, mobil nan mewah dan simpanan uang miliaran rupiah?
Serangkaian pertanyaan itu mestinya selalu kita rawat dalam kesadaran batin kita, sebab kita tahu, jalan kebahagiaan hakiki mungkin tak bisa tergenggam melalui jalan penuh ambisi dan ego materi semacam itu.
Pada akhirnya, kita mungkin juga mesti selalu mengenang ajaran klasik ini : kelak ketika kita wafat, kita hanya terbujur kaku dalam selarik kain kafan diatas lubang 2×1 meter. Disana, segenap ambisi dan kekayaan material terhempas dalam kefanaan. Disana pula, segenap lukisan kemewahan dan kemegahan tersapu dalam buih fatamorgana.
Maka, mari kita bersama menundukkan kepala seraya merenungi dalam-dalam : apa tujuan hidup sebenarnya yang hendak kita raih dalam kehidupan yang sementara ini?